kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Sulitnya valuasi saham

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 22 April 2013 / 19:41 WIB
Sulitnya valuasi saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Tidak ada yang dapat membantah jika analisis yang lebih mendominasi bursa saham kita adalah analisis teknikal. Dalam pandangan analisis teknikal, analisis fundamental mengandung kelemahan utama, yaitu mengabaikan psikologi investor atau sentimen pasar. Menurut teknikalis, jangan takut untuk membeli saham pada harga tinggi jika kita dapat menjualnya lebih tinggi lagi.

Masalahnya, ketika Anda sudah membeli sebuah saham kemahalan, menurut kriteria analisis fundamental seperti PER atau PEG dan sentimen investor tiba-tiba sirna, harga menjadi susah naik lagi. Anda pun akan menyesal dan tersadar telah bertindak bodoh karena telah ikut-ikutan membeli di harga yang sudah tidak wajar lagi. Dalam kondisi seperti ini, Anda akan terus berdoa, “Semoga saja ada orang yang lebih bodoh yang bersedia membeli saham saya pada harga lebih tinggi.” Sesekali mungkin masih ada investor seperti itu. Namun, lebih sering investor lebih bodoh yang ditunggu-tunggu itu tidak muncul.

Investor mestinya menyadari prinsip dasar investasi dalam semua aset itu sebenarnya sama yaitu membandingkan nilai dan harga. Nilai adalah what we get atau worth, sementara harga what we pay atau cost. Prinsip ini berlaku universal untuk siapa pun, di mana pun, kapan pun, dan untuk semua aset. Masalahnya, tidak seperti harga yang ada di depan kita, nilai bersifat unobservable dan harus dihitung, tepatnya diestimasi.  Kita pun mengenal valuasi obligasi yang mudah dan valuasi saham yang sulit. Mengapa valuasi saham lebih sulit ketimbang obligasi?

Pertama, karena saham tidak memiliki tanggal jatuh tempo seperti obligasi. Kedua, jika kupon obligasi angkanya pasti, besaran dividen tidak pasti dan tidak mudah diprediksi karena tergantung laba bersih  perusahaan dan kebijakan dividen yang diambil.

Ketiga, tidak seperti kupon obligasi yang bersifat wajib untuk obligasi berbunga, dividen bukan kewajiban untuk emiten. Jika perusahaan tidak memperoleh laba, dividen juga akan tidak ada. Sebaliknya, jika ada laba, besar dividen masih harus diputuskan dalam RUPS. Keempat, hanya ada satu model valuasi obligasi, sementara valuasi saham dapat menggunakan belasan model.

Dalam valuasi obligasi, kita memerlukan empat variabel yaitu kupon (dan periode pembayarannya yang biasanya enam bulanan), tanggal jatuh tempo, nilai nominal yang biasanya diasumsikan 100% atau 100, dan yield yang diinginkan investor. Tiga dari empat variabel itu diberikan untuk setiap obligasi.

Karenanya, hanya yield saja yang berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan ekspektasi inflasi. Kenyataannya, yield yang diinginkan investor untuk obligasi yang sama tidak banyak bervariasi antara satu investor dengan investor lainnya karena didasarkan atas acuan yang sama, yaitu ekspektasi inflasi dan rating. Implikasinya, valuasi obligasi akan konvergen ke satu nilai tertentu dan transaksi obligasi pun menjadi sepi, monoton, dan tidak likuid. Mereka yang membeli obligasi karena kelebihan likuiditas dan yang menjual karena sedang membutuhkan likuiditas.

Memahami hanya ada satu model valuasi dengan faktor penentu yield yang bergerak mengikuti inflasi, strategi berinvestasi dalam obligasi pun menjadi mudah. Belilah obligasi, terutama yang bertenor panjang, saat inflasi tinggi dan diprediksi akan turun serta juallah obligasi saat inflasi diprediksi akan melesat.

Dalam menghadapi ancaman tingginya inflasi saat ini, contohnya, banyak investor institusi ramai-ramai menjual obligasi mereka  yang bertenor panjang dan memindahkan ke obligasi bertenor pendek, yaitu satu hingga dua tahun. Akibatnya, yield obligasi bertenor pendek justru menurun karena banyaknya perusahaan asuransi dan reksadana pendapatan tetap yang melakukan switching ini untuk meminimumkan capital loss.

Intinya, dalam valuasi obligasi, selama kita mampu memperkirakan inflasi beberapa bulan hingga satu tahun ke depan dengan tepat, memprediksi pergerakan harga obligasi pun menjadi mudah. Harga obligasi berbanding terbalik dengan inflasi. Inilah sebabnya, saya beberapa kali memburu obligasi saat inflasi sedang tinggi atau sentimen investor sedang negatif dan selalu mendapatkan capital gain itu dalam hitungan beberapa bulan. Saya pernah memiliki obligasi General Electric, ORI 1 pada Juli 2006, obligasi pemerintah AS, dan obligasi global pemerintah RI di Maret 2009.

Berbeda dengan obligasi, valuasi saham mengenal banyak metode. Ada yang berdasarkan arus kas, kelipatan harga, residual income, dan adjusted book value. Arus kas yang menjadi acuan bisa dividen, arus kas untuk perusahaan, atau arus kas untuk ekuitas.

Metode kelipatan harga pun ada beberapa yaitu berdasarkan laba bersih, nilai buku, EBITDA, laba bersih & pertumbuhan, dan penjualan. Model yang sama tidak menjamin hasil valuasi juga sama. Model pendiskontoan dividen, misalnya, masih tergantung variabel tingkat diskonto dan tingkat pertumbuhan. Penggunaan tingkat diskonto atau pertumbuhan yang berbeda akan menghasilkan valuasi yang berbeda juga.

Tidak adanya konsensus nilai saham di antara para investor ini membawa berkah tersendiri. Ada yang memandang harga sebuah saham masih murah sementara investor lain dengan menggunakan model atau tingkat diskonto atau pertumbuhan berbeda justru berpendapat sebaliknya. Transaksi pun menjadi ramai karena ada yang merekomendasikan ”Beli” dan juga ”Jual” pada saat yang sama. 



TERBARU

×