kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Spiritualitas konsumen

oleh Eka Ardianto - Faculty Member Prasetiya Mulya Business School


Senin, 22 April 2013 / 13:54 WIB
Spiritualitas konsumen

Reporter: Eka Ardianto | Editor: tri

Kepuasan pelanggan (customer satisfaction), loyalitas pelanggan (customer loyalty), dan ekuitas pelanggan (customer equity), adalah beberapa istilah yang sering dibahas terkait dengan manajemen pemasaran.

Kepuasan pelanggan merupakan indikator sejauh mana atribut produk fisik—seperti daya tahan, keandalan, dan fleksibilitas, serta atribut produk nonfisik—keramahan pegawai, kecepatan layanan, dan ketanggapan layanan, dapat dikelola baik oleh manajemen. Setidaknya berbagai atribut itu sesuai dengan harapan pelanggan sehingga pelanggan puas.

Apabila pelanggan puas, pada tahap berikutnya pelanggan mengalami suatu kondisi yang disebut loyalitas pelanggan. Pelanggan setia mengonsumsi merek tertentu. Tapi, perlu diperhatikan sejauh mana tingkat persaingan dan dinamika harapan pelanggan tersebut dapat dikelola.

Manajer pemasaran sangat tertarik dengan loyalitas pelanggan. Salah satu sebabnya adalah pelanggan yang loyal akan berdampak pada kondisi keuangan perusahaan yang semakin baik. Sebab, keterjaminan adanya penjualan dan penghematan biaya pemasaran. Hal tersebut merupakan esensi dari ekuitas pelanggan.

Perkembangan diskusi pada literatur manajemen pemasaran bergerak dari diskusi customer satisfaction, customer loyalty, dan customer equity. Semuanya dimulai dari customer menuju ke consumer spirituality. Secara etimologis, dalam bahasa Indonesia, tak mudah membedakan customer dengan consumer.

Tapi kalau kita mengacu pada bahasa Inggris, kata dasar dari customer adalah custom, yaitu kebiasaan, rutinitas. Hal tersebut merupakan penjelasan dari perilaku pembelian berulang (repeat purchase) dari pelanggan yang sudah berada dalam kondisi loyal. Adapun consumer  berasal dari  kata consume, terkait dengan consumption. Marx (dalam Clarke dkk, 2003) menyatakan, makna consumption bukanlah pasif melainkan aktif, karena mengandung pengertian productive consumption.

Aldridge (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa konsumen yang mengonsumsi adalah subjek  yang memiliki kebebasan memilih menjadi lebih manusiawi bukan sebagai objek konsumerisme. Bila dua kata tersebut membahas mengenai manusia yang melakukan pembelian produk dan mengonsumsi merek, adakah kaitan antara customer dengan consumer?

Mengacu pada penjelasan dua kata dasar itu, tentu ada kaitannya. Makna customer dalam customer loyalty menjelaskan kondisi atau status, bahwa seorang pelanggan berada dalam tahap loyalitas atau sudah melewati tahap kepuasan. Adapun makna consumer dalam kaitan konsumen sedang di tahap customer loyalty menjelaskan proses mengonsumsi suatu merek untuk menjadi lebih manusiawi.

Ada berbagai konsumsi ketika seseorang mengonsumsi merek (Ardianto, 2003), seperti consumption symbolism, consumption imagery, ideology of consumption, sacred consumption, dan nostalgic consumption.

Salah satu diskusi mengenai consumption dalam literatur manajemen pemasaran adalah spiritualitas konsumen (consumer spirituality). Beberapa artikel mengulas hal itu, seperti Consumer Spirituality and Marketing (Kale, 2006 dalam Advances Consumer Research), dan Consuming Spirituality (Shaw dan Thomson, 2013 dalam European Journal of Marketing). Spiritualitas konsumen adalah kondisi yang dialami menuju proses manusiawi. Kondisi itu adalah kebijaksanaan, pencerahan dan perasaan lebih peka (Shaw & Thomson, 2013).


Strategi pemasaran

Bagaimana menjelaskan spiritualitas konsumen terkait manajemen pemasaran? Penelitian yang dilakukan oleh Fam dan Waller (2006) mengungkap kondisi kota Jakarta menyebabkan warganya cenderung menjadi stres, penuh dengan tekanan. Implikasinya, mereka sebagai pemirsa iklan televisi mengharapkan iklan yang lebih menginspirasi untuk menjadi manusia yang dapat menurunkan kadar stres.

Penelitian dari Fam dan Waller ini menarik karena dapat menghubungkan antara kondisi suatu kota dengan harapan warganya terhadap iklan di televisi. Penelitian lain dilakukan Dewi dan Agustina (2006) terhadap warga Jakarta yang mengungkap fenomena dikejar-kejar utang kartu kredit karena selama ini menggunakan kartu kredit yang melebihi kemampuan finansialnya.

Melihat fenomena konsumen itu, khususnya di Jakarta, adakah peran pemasar yang dapat membantu mengelola spiritualitas konsumennya? Bukankah tujuan pemasaran mengkreasi nilai terbaik untuk konsumen dan masyarakat luas (American Marketing Association, 2008)? Dengan dinamika persaingan yang ketat, mengelola spiritualitas konsumen dapat menjadi salah satu strategi bersaing (Smith dan Singer, 2012).

Jadi, apa yang harus diakomodasi oleh pemasar dalam menyusun strateginya? Kebijaksanaan konsumen merupakan integrasi dari kemampuan kognitif, afektif, dan reflektif (Ardelt, 2003). Karena itu, dalam perancangan iklannya, pemasar dapat mengintegrasikan pendekatan kognitif, afektif, dan reflektif.

Kognitif adalah pengetahuan konsumen memahami kehidupannya yang berujung pada kemampuan mengambil keputusan setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Pemahaman konsumen terhadap fenomena paradoks dapat membantu konsumen semakin bijak.

Sedangkan afektif adalah sikap konsumen berhubungan dengan orang lain. Kepedulian, berbagi, dan mau belajar dari orang lain, dapat membantu konsumen makin bijak. Reflektif yaitu kemampuan mengambil hikmah sebagai pertimbangan dalam kemampuan kognitif dan afektif. Kemampuan melihat dari berbagai perspektif, empati, dan berpikir historis, dapat membantu konsumen makin bijak.

Ketiga kemampuan tersebut dapat diracik dalam iklannya, sehingga pemasar bisa menawarkan strategi baru dalam mengelola spiritualitas konsumennya menuju penawaran nilai terbaik.                   

ekaardianto@pmbs.ac.id



TERBARU

×