kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

"Midnight Sale" di Bursa Efek Indonesia?

oleh Lukas Setia Atmaja - Center for Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Senin, 10 Juni 2013 / 13:44 WIB

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Sepuluh hari terakhir ini, Bursa Efek Indonesia  (BEI) merah membara. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) longsor dari rekor tertinggi 5.225 (29 Mei 2013) ke 4.865 (7 Juni 2013), sekitar 7,5%. Apakah ini sebuah “program midnight sale” yang baru saja dimulai di bursa? Ataukah penurunan harga akan berlanjut terus ke level lebih rendah?

Berbagai alasan dikemukakan untuk menjelaskan penurunan tajam tersebut. Salah satunya adalah IHSG naik terlalu cepat sehingga wajar jika terkoreksi. Seperti kita ketahui, masuknya dana asing yang cukup besar ke BEI sejak awal tahun merupakan bahan bakar pendorong laju IHSG. Ketika hot money milik trader asing tersebut keluar, wajar jika IHSG terkoreksi cepat. Apalagi biasanya perilaku trader asing ini diikuti trader domestik.

Kalau kita cermati sejak awal tahun, IHSG memang naik sangat cepat. Coba kita simak kaleidoskop IHSG sejak awal tahun hingga awal Juni.  Tanggal 2 Januari (IHSG = 4.322), 4 Februari (4.406), 7 Februari (4.501), 15 Februari (4.609), 28 Februari (4.739), 7 Maret (4.823), 28 Maret (4.921), 18 April (5.012), 10 Mei (5.100), 20 Mei (5.200), 24 Mei (5.225). Akselerasi IHSG ibarat mobil balap Formula 1. Dalam tempo 5 bulan, IHSG naik 21%.

Bagi investor jangka panjang, timbul pertanyaan: apakah sudah saatnya mengoleksi saham yang fundamentalnya bagus? Atau menunggu hingga harga jatuh lebih dalam dengan risiko kehilangan kesempatan membeli karena harga malah naik kembali? Investor pasti tergoda untuk membeli saham ketika harganya sudah terpangkas banyak.

Ambil contoh beberapa saham unggulan. Saham PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang pada 17 April 2013 masih berharga Rp 19.000, pada 7 Juni 2013 tinggal Rp 16.000, alias ada diskon 16%. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) pada 1 Mei 2013 berharga Rp 9.650, pada 7 Juni 2013 sudah turun jadi Rp 8.250, menawarkan diskon 15%. Saham PT Astra Internasional Tbk (ASII) tidak mau kalah. Jika pada 8 Maret harganya masih Rp 8.300, pekan lalu sudah didiskon 22% menjadi Rp 6.800.

Saham di sektor properti yang sedang popular pun tak mau kalah menawarkan diskon. Saham PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) menawarkan diskon hingga 22% dalam waktu kurang dari 3 bulan. Saham PT Total Bangun Persada, Tbk (TOTL) lebih hebat lagi, harga pada 31 Mei 2013 sebesar Rp 1.600 langsung didiskon menjadi Rp 1.190 (7 Juni 2013).

Bagi investor, idealnya adalah membeli pada harga terendah sebelum rebound. Tapi, mustahil untuk mengetahui kapan harga sudah tergeletak di lantai. Hingga kini belum ada metode atau alat, termasuk juga technical analysis, yang bisa menebak dengan benar dan konsisten di mana titik terendah sebelum harga saham balik arah.

Titik terendah tersebut lebih banyak ditemukan secara kebetulan. Sir John Templeton, investor legendaris yang terkenal dengan strategi “buy low, sell high”, berterus terang bahwa dia membeli saham tidak di harga terendah, dan menjual saham juga tidak di harga tertinggi. Warren Buffett-pun pernah berkhotbah, “It’s impossible to time the market.”

Harga saham yang sedang jatuh bisa sangat kejam terhadap investor yang kurang hati-hati. Ingat nasib saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) tahun 2008? Mirip dengan saham properti kini sedang menjadi saham “panas”, saat itu saham batubara, terutama BUMI menjadi primadona. Harga saham BUMI mencetak rekor Rp 8.650 di Juni 2008. Sebulan kemudian terdiskon menjadi Rp 6.500, dan investor semakin bernafsu mengoleksinya. September, harga turun lagi menjadi Rp 4.000, alias diskon lebih dari 50%. Bagi investor atau trader yang masuk karena mengira harga sudah mencapai titik terendah, mereka salah. Januari 2009, harga BUMI tinggal Rp 460, alias terdiskon 95%!

Memang tidak mudah membedakan saham bagus yang harganya undervalued dengan saham perusahaan yang sedang bermasalah. Ada beberapa pertimbangan sebelum kita memutuskan untuk membeli saham yang menawarkan diskon harga.

Kita sebaiknya mencari tahu mengapa harga saham turun begitu tajam. Harga barang diskon belum tentu semuanya murah. Siapa tahu harga sebelumnya memang sudah kemahalan? Bisa juga barang yang kita beli bermasalah. Sebaiknya dianalisis, apakah penurunan harga saham disebabkan oleh fundamental perusahaan yang menurun? Apakah terjadi skandal di perusahaan? Apakah kinerja kompetitor meningkat pesat? Apakah ada perubahan kondisi ekonomi makro dan industri yang berdampak negatif terhadap prospek kinerja perusahaan?

Hindari membeli saham bermasalah meskipun harganya terlihat murah. Lakukan analisis sebelum membuat keputusan yang berdampak jangka panjang.

Penurunan harga saham yang nyata selalu member kita peluang untuk memiliki saham dengan fundamental kuat dengan harga di bawah seharusnya (murah). Namun di dalamnya terkandung risiko yang cukup besar. Ingat nasihat Peter Lynch, fund manager legendaris, “Just because a stock goes down doesn’t mean it can’t go lower.”   



TERBARU

×