kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Analisis berkebun emas

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Jumat, 05 Agustus 2011 / 16:17 WIB
Analisis berkebun emas

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Kebanyakan investor saham tentu pernah menyesal ketika bursa bullish. "Seandainya saya punya uang lebih banyak untuk membeli saham ASII. Lihat sekarang harganya sudah berlipat ganda."

Dana investasi merupakan kendala bagi investor konservatif. Bagaimana kalau kita meminjam uang untuk dibelikan saham? Jadi, kita bisa berinvestasi (atau berspekulasi) dengan jumlah lebih banyak? Idealnya, saham itu bisa digadaikan untuk mendapat uang, lalu dipakai untuk membeli saham yang kemudian digadaikan lagi. Demikian seterusnya.

Namun saham sulit untuk digadaikan. Bagaimana kalau emas? Nah, inilah yang melahirkan ide "berkebun emas" karena emas bisa digadaikan di bank syariah atau pegadaian.

Yang membuat saya khawatir adalah sebagian masyarakat belum benar-benar paham mengenai "berkebun emas." Padahal, strategi ini termasuk kategori investasi kelas berat karena menggunakan bantuan pengungkit (leverage) alias pinjaman yang meningkatkan risiko.

Bagi Anda yang belum memahami strategi ini, saya akan menjelaskannya berdasarkan artikel di Tabloid KONTAN (14-20 Desember 2009). Misal, uang kita hanya cukup membeli sebatang emas lebih sedikit. Setelah membeli batang emas pertama, kita bisa menggadaikannya ke bank syariah atau pegadaian. Setelah menggadaikan emas, kita mendapat dana segar untuk dibelikan emas kedua.

Jika jumlah emas yang dibeli harus sama, kita bisa gunakan dana awal yang tersisa karena dana dari bank hanya setara dengan 60%-80% dari nilai emas yang digadaikan. Kita tidak boleh menggadaikan emas terakhir, yang merupakan modal untuk menebus. Jadi, kita bisa memiliki dua batang emas karena diberi "pinjaman" oleh bank.

Langkah beli-gadai-beli-gadai ini bisa dilakukan berulang-ulang sesuai keinginan dan modal awal yang dimiliki. Saat memanen emas di saat harganya naik, kita tinggal melakukan hal yang terbalik, menjual emas terakhir. Hasil penjualan dipakai untuk menebus emas yang digadaikan.

Kita bisa menuai untung berlipat karena kita punya dua batang emas, bukan hanya satu. Namun ingat kita harus membayar biaya titip yang berkisar 15% dari pinjaman (nilai gadai) per tahun. Ini berarti, kenaikan harga emas harus lebih tinggi daripada biaya titip.

Agar lebih jelas, kita asumsikan harga emas di saat ini Rp 360.000 per gram. Lalu, modal kita Rp 156 juta. Jika seluruh uang itu dibelikan emas, yang didapat adalah 433,33 gram.

Jika harga emas naik 30%, kita menikmati keuntungan 30% dikalikan dengan modal. Jika ingin mendapat keuntungan lebih dari 30%, maka kita harus berkebun emas.

Misalnya, kita membeli 100 gram emas senilai Rp 36 juta, yang segera digadaikan. Bank hanya bersedia memberikan pinjaman setara dua per tiga dari nilai emas atau Rp 24 juta. Sebagai imbalan, bank menerima biaya titip 0.04% per gram per hari.

Dengan pinjaman senilai Rp 24 juta, kita harus merogoh kocek lagi Rp 12 juta untuk membeli emas 100 gram yang kedua. Sampai di titik ini, maka dengan modal Rp 48 juta kita bisa memiliki 200 gram emas, plus punya utang Rp 24 juta.

Proses ini bisa dilanjutkan: emas kedua juga digadaikan, mendapat Rp 24 juta, ditambahi Rp 12 juta untuk membeli emas ketiga. Misalkan kita melakukan ini hingga 10 kali (sehingga perlu dana tambahan Rp 120 juta) dan emas terakhir dipegang. Maka posisi akhir adalah kita memiliki aset berupa 11 batang emas, seberat masing-masing 100 gram. Total modal yang dikeluarkan Rp 156 juta (yaitu Rp 36 juta plus Rp 120 juta) dan nilai pinjaman kita ke bank Rp 240 juta (hasil perkalian Rp 24 juta dengan 10).

Andai setahun berlalu dan harga emas naik 30% menjadi Rp 468.000 per gram, kita bisa memanen. Dengan proses yang dijelaskan di atas, kita bisa mengantongi untung Rp 10,8 juta per 100 gram emas. Dengan memiliki 1.100 gram emas, kita bakal menikmati keuntungan Rp 118,8 juta.

Setelah membayar biaya titip sekitar Rp 35 juta untuk semua emas yang digadaikan, keuntungan bersih adalah Rp 83,76 juta atau 54% dari modal Rp 156 juta, melebihi skenario beli emas tanpa gadai yang hanya Rp 46,8 juta atau 30% dari modal 156 juta.

Bagaimana bila harga emas turun 30%? Kita akan rugi Rp 118,8 juta untuk 1.100 gram emas yang kita miliki. Ditambah biaya titip Rp 35 juta, total kerugian menjadi Rp 153,84 juta. Kerugiannya 98% dari modal Rp 156 juta, jauh di atas skenario beli emas tanpa gadai yang hanya 30% dari modal Rp 156 juta. Ini bukti bahwa "leverage", walau bisa mendongkrak ekspektasi imbal hasil, meningkatkan risiko investasi secara dramatis.

Bukankah kita bisa menunggu harga emas naik kembali? Risikonya, kita harus menunggu terlalu lama hingga modal kita nyangkut dan juga harus menanggung biaya titip dari tahun ke tahun. Perlu dicatat bahwa harga emas pernah stagnan selama 20 hingga 30 tahun di masa lalu.

Jadi, pikirkan 13 kali sebelum menyangkuli kebun untuk ditanami emas.

 



TERBARU

×