kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Dari pasar modar ke pasar modal

oleh Lukas Setia Atmaja - Center for Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Senin, 19 Agustus 2013 / 21:26 WIB
Dari pasar modar ke pasar modal

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Bursa Efek Indonesia memainkan peranan penting dalam upaya menggapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 68, mari kita menapak tilas sejarah pasar modal Indonesia sebagai inspirasi untuk lompatan ke masa depan.

Cikal bakal Bursa Efek Indonesia adalah Vereniging voor de Effectenhandel yang berdiri tahun 1912 di Batavia, cabang dari bursa Belanda, Amsterdamse Effectenbueurs. Bursa Efek Batavia tersebut memperjualbelikan saham dan obligasi perusahaan Belanda di Indonesia. Amsterdamse Effectenbueurs juga mendirikan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya. Pada saat Perang Dunia ke II, bursa-bursa ini ditutup.

Bursa Efek Jakarta (BEJ) dibuka kembali pada 1952. Tapi, akibat kebijakan politik dan ekonomi yang konfrontatif terhadap pihak Barat, nasionalisasi perusahaan Belanda serta buruknya kondisi ekonomi di mana inflasi pernah menyentuh 650% setahun, BEJ kembali tidur panjang.

BEJ baru buka lagi pada 15 Agustus 1977. PT Semen Cibinong merupakan perusahaan pertama yang tercatat di BEJ. Namun jangan dibayangkan BEJ langsung melaju dengan gigi lima. Periode 1977 hingga 1987, bursa mengalami kevakuman perdagangan.

Selama periode itu hanya ada 24 emiten tercatat di bursa. Selama 1984-1987, tidak ada satu pun perusahaan yang go public!

Penyebabnya antara lain persyaratan yang cukup berat bagi perusahaan yang akan go public, investor asing tidak diizinkan untuk bertransaksi di bursa, batasan fluktuasi harga hanya 4% per hari, dan bunga deposito tidak dikenai pajak sedangkan dividen dipajaki. Tak heran jika ada yang berseloroh bahwa pasar modal Indonesia lebih tepat disebut “pasar modar” alias pasar mati.

Paket kebijakan Desember 1987, atau lebih dikenal sebagai Pakdes 1987 merupakan awal dari transformasi “pasar modar” ke pasar modal. Pakdes 1987 menyederhanakan proses emisi saham dan obligasi, membuka kesempatan bagi investor asing untuk membeli saham maksimal 49% dari total emisi serta menghapus batasan fluktuasi harga saham harian.

Pakdes 1987 kemudian disusul Pakto 1988 yang memajaki bunga deposito, serta Pakdes 1988 yang memberi peluang pihak swasta untuk menyelenggarakan bursa. Lahirlah kembali Bursa Efek Surabaya (BES) pada 1989, dan berdiri PT Bursa Efek Jakarta pada 1992 yang menggantikan peran BAPEPAM sebagai pelaksana bursa.

Hasilnya luar biasa. Dari 1988 hingga 1990, jumlah perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat menjadi 127. Total nilai perdagangan saham meningkat dari hanya Rp 30 miliar di 1988 menjadi Rp 7 triliun di tahun 1990. Pada akhir 1994, sudah tercatat 225 perusahaan yang melantai di bursa. Tahun 1995 menjadi penting karena lahirnya Undang-Undang tentang Pasar Modal (UU No 8 tahun 1995) serta otomatisasi transaksi di bursa. Pemutakhiran sistem transaksi berlanjut dengan perdagangan tanpa warkat (script less trading) pada tahun 2000. Pada tahun 2007, BEJ dan BES bergabung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).

Meskipun dihantam dua badai krisis keuangan pada 1998 dan 2008, pasar modal Indonesia berkembang cukup pesat. Hingga akhir Juli 2013, jumlah emiten yang melantai di BEI adalah 476, dan jumlah investor (single investor identification) adalah 301.021. Beralihnya pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank ke tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), disusul perbankan pada tahun 2014, menjadi fenomena penting. Diharapkan OJK bisa menjalankan dengan lebih baik peran sebagai pendorong kemajuan pasar modal Indonesia. Berbagai tantangan dan peluang besar menunggu di depan, seperti misalnya rencana integrasi pasar modal ASEAN pada tahun 2015.

Ada dua agenda penting. Pertama, meningkatkan kualitas praktik-praktik corporate governance di pasar modal secara komprehensif, meliputi semua partisipan seperti emiten, anggota bursa, lembaga asuransi, reksadana, dan lain-lain. Sebuah cetak biru solid untuk peningkatan corporate governance pasar modal Indonesia amat diperlukan, dengan target jangka pendek maupun panjang yang realistis. Selain itu, perlu peningkatan kualitas regulasi, yang bisa dimulai dengan revisi UU Pasar Modal hingga peraturan bursa.

Kedua, meningkatkan jumlah dan kualitas perusahaan yang terdaftar di bursa serta investor. Untuk itu, BEI membuat transaksi di bursa menjadi transaksi aman, nyaman, efisien dan wajar. Perlindungan terhadap investor dari berbagai upaya penipuan dan manipulasi harus diupayakan dengan serius. Rencana penurunan jumlah satuan lot saham menjadi 100 saham per lot bisa mendorong peningkatan jumlah investor domestik.

Selain itu, diperlukan program terobosan yang serius dan inovatif dalam hal sosialisasi dan edukasi pasar modal kepada masyarakat. Fakta jumlah investor di BEI yang hanya 0,15% dari jumlah penduduk Indonesia cukup memprihatinkan, namun sekaligus menjadi peluang besar bagi BEI untuk quantum leap menjadi bursa efek terbesar di Asia Tenggara. Merdeka!



TERBARU

×