kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Isu-isu rights issue

oleh Lukas Setia Atmaja - Center for Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Senin, 21 Oktober 2013 / 14:31 WIB
Isu-isu rights issue

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Pohon yang bagus adalah yang selalu bertumbuh. Idealnya, pohon bertumbuh terus hingga ke langit seperti pohon kacang di dongeng “Jack dan Pohon Kacang Ajaib”. Demikian juga dengan perusahaan, jika tak tumbuh maka akan menjadi bonsai, cantik tetapi mini. Untuk bertumbuh, perusahaan membutuhkan pendanaan.

Ada 3 sumber pendanaan: dari laba bersih yang tidak dibagikan ke pemegang saham (laba ditahan), berutang, dan  menambah modal ekuitas.

Bagi perusahaan publik, cara menambah modal ekuitas bisa melalui sistematika dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).

Jika menambah modal dengan HMETD, perusahaan memberikan hak kepada seluruh pemegang saham saat ini untuk membeli saham baru secara proporsional. Misalnya, Mr. Gemblung adalah pemegang 50% saham, maka ia berhak membeli 50% dari saham baru yang ditawarkan. Proses ini sering disebut rights issue atau rights offering. Jika menambah modal tanpa HMETD, perusahaan menawarkan saham barunya kepada publik atau sering disebut secondary public offering (SPO).

Menambah modal ekuitas merupakan aksi korporasi yang penting sehingga perlu persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK) dan pemegang saham perusahaan melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).

Investor atau pemegang saham  perlu mencermati beberapa isu penting dalam rights issue agar tak rugi. Rights issue bisa menimbulkan dua macam dilusi (pengenceran) yang dialami pemegang saham, yakni dilusi kepemilikan (dilution of control) dan dilusi kekayaan (dilution of value). Analoginya, jika 1 liter teh manis ditambahkan 1 liter air tanpa menambah gula, maka akan diperoleh 2 liter teh yang kurang manis.

Pada proses rights issue, satu saham baru biasanya dijual di bawah harga pasar. Misal saja, harga pelaksanaan rights issue Rp 1.500, padahal harga pasar Rp 2.000. Jika ada tambahan saham baru tetapi uang yang masuk ke perusahaan di bawah harga pasar, nilai dan harga per saham otomatis turun. Selain itu, persentase kepemilikan seorang pemegang saham akan berkurang jika ia diam saja.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan memiliki 1.000 saham beredar dengan harga pasar Rp 1.000, sehingga memiliki kapitalisasi pasar Rp 1.000.000. Si Polan memiliki 500 saham atau 50% kepemilikan. Maka, total nilai pasar Polan adalah Rp 500.000. Lalu, perusahaan menerbitkan 1.000 saham baru melalui rights issue dengan harga diskon, yakni Rp 800 per saham. Artinya bakal ada tambahan Rp 800.000 ke aset perusahaan.

Jika Polan tidak membeli saham baru, maka kepemilikannya di perusahaan itu akan turun menjadi 25% (dari 500 dibagi 2.000 saham). Harga per saham akan otomatis turun menjadi Rp 900 (dari Rp 1.000.000 ditambah Rp 800.000 kemudian dibagi 2.000 saham). Polan akan mengalami dilusi kekayaan sebesar Rp 50.000 karena total nilai sahamnya kini hanya Rp 450.000 (dari 500 saham dikali Rp 900).

Pemegang saham harus membeli saham baru secara proporsional jika tak mau rugi. Bila Polan membeli 50% dari saham baru, yaitu 500 saham, maka ia tetap memiliki 50% dari saham perusahaan (dari 1.000 dibagi 2.000 saham). Kekayaannya  tak berkurang karena ia kini memiliki 1.000 saham bernilai Rp 900.000. Angka ini setara dengan kekayaannya semula, yakni Rp 500.000 ditambah Rp 400.000 untuk beli 500 saham baru.

Bagaimana jika pemegang saham tak memiliki dana untuk membeli saham baru atau jika ia tak bersedia menambah persentase kepemilikan? Ada mekanisme pengalihan hak, yakni HMETD bisa dijual ke investor lain yang mau menjadi pemegang saham.

Hal ini, misalnya, pernah dilakukan pemerintah sebagai pemegang mayoritas saham Bank Mandiri. Saat rights issue Bank Mandiri awal 2011, pemerintah sengaja menurunkan kepemilikan dari 67% menjadi 60%.

Isu penting lain adalah pemegang saham sebaiknya mencermati tujuan dari penambahan modal ekuitas. Pada umumnya, perusahaan menggunakan dana dari rights issue untuk membiayai investasi atau akuisisi, memperkuat permodalan (khususnya untuk bank), dan memperbaiki struktur modal (mengurangi utang). Tujuan untuk menambah investasi adalah yang terbaik karena mendukung strategi pertumbuhan perusahaan, tentu dengan mencermati jenis investasi yang diambil.

Jangan anggap enteng isu-isu seputaran rights issue. Aksi korporasi ini bisa bikin harga saham kelimpungan. Misalnya, pertengahan 2010, harga saham PT Bumi Resources, Tbk (BUMI) turun tajam gara-gara rencana rights issue. Ternyata, sebagian investor BUMI galau karena harus menyuntikkan dana baru guna menghindari dilusi besar serta mempertanyakan efektivitas penggunaan dana dari rights issue tersebut.      



TERBARU

×