kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Rapor bursa saham 2013

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetya Mulya Business School


Selasa, 24 Desember 2013 / 15:58 WIB
Rapor bursa saham 2013

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Tahun 2013 adalah tahun yang layak dilupakan oleh para investor saham. Mengacu data statistik dari www.idx.co.id, hingga 20 Desember 2013, year to date, imbal hasil atau perubahan indeks saham di Bursa Efek Indonesia mayoritas berwarna merah. Misalnya, imbal hasil Indeks Harga Saham

Gabungan (IHSG) adalah -2,81%. Dilihat dari saham likuid dan memiliki market capitalization besar, kinerja bursa adalah -5,01% (LQ45), -4,46% (IDX30) dan -5,51% (Kompas 100).

Dilihat dari saham yang memenuhi kriteria memperhatikan konsep “triple bottom line” (profit, planet and people), kinerja bursa lebih bagus meski juga negatif, yakni  -1,42% (Indeks Srikehati). Untuk saham berkapitalisasi kecil dan menengah (market cap kurang dari Rp 5 triliun), kinerjanya paling memprihatinkan, yakni sebesar -24,49% (Pefindo25).

Dilihat dari sektor industrinya, hanya ada empat sektor yang rapornya tidak merah, yakni sektor barang konsumsi (36 emiten) yang indeksnya naik 12,37%. Diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa (102 emiten) yang indeksnya naik 4%. Sektor properti dan real estate (53 emiten), yang tahun 2012 jadi primadona, indeksnya hanya naik 1,93%. Kemudian, ada sektor Infrastruktur (42 emiten) yang indeksnya naik 0,95%.

Indeks enam sektor lain memerah, dipimpin oleh pertambangan (36 emiten) yang terjun 22,95%. Diikuti oleh sektor aneka industri (41 emiten) yang amblas 14,54%. Sektor industri dasar dan kimia, dibebani kinerja buruk perusahaan semen, mencatat penurunan 9,54%. Kemudian sektor keuangan (73 emiten) menukik 3,95%. Sektor pertanian (17 emiten) dan sektor manufaktur (136 emiten) masing-masing turun 2,71% dan 2,02%.

Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa buruknya kinerja IHSG sepanjang 2013 lebih banyak disumbang oleh emiten di sektor industri yang menggunakan materi impor serta harga jual produknya dipengaruhi faktor global. Sedangkan sektor defensif seperti barang konsumsi menolong menahan kejatuhan indeks. Kinerja buruk IHSG juga antara lain dibebani oleh emiten ber-market cap relatif kecil, mengonfirmasi adanya risiko investasi lebih besar di saham perusahaan kecil dan menengah.

Sebenarnya, kinerja bursa saham Indonesia sempat sangat bagus di lima bulan pertama. IHSG naik dari 4.322 di awal 2013 hingga 5.251 di akhir Mei 2013. Kenaikan 21,5% dalam waktu lima bulan atau setara dengan imbal hasil 52% per tahun! Namun sayangnya kenaikan tersebut tidak menggambarkan aspek fundamental emiten yang sebenarnya. Reli tersebut lebih banyak dipicu oleh masuknya “uang panas” dari investor asing akibat kelebihan likuiditas dari gelontoran program stimulus ekonomi Amerika Serikat (AS). 

Program ini berawal dari krisis subprime mortgage di Wall Street pada September 2008. Saat itu Pemerintah AS berusaha memberi stimulus melalui jalur moneter dengan menurunkan suku bunga secara bertahap. Selain itu, dilakukan pencetakan uang untuk membeli surat-surat berharga berbasis kredit perumahan maupun obligasi Pemerintah AS yang berjangka pendek (treasury bills) yang saat itu berguguran.

Pada November 2010, Bank Sentral AS (The Fed) meluncurkan program membeli surat berharga senilai USD 600 miliar. Program operasi ini disebut quantitative easing (QE-1) atau kebijakan uang longgar. Program ini berlanjut di 2011 dengan nilai US$ 600 miliar juga (QE-2). Pada September 2012, The Fed meluncurkan QE-3 dengan volume US$ 40 miliar per bulan, dan kemudian direvisi menjadi US$ 85 miliar per bulan pada Desember 2012.

Pertengahan 2013, ketika ada tanda-tanda bahwa perekonomian AS membaik, Ben Bernanke, Kepala The Fed, mengumumkan rencana untuk mengurangi jumlah QE sebesar US$ 10 miliar (tapering off). Wacana ini memicu kenaikan kurs dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang mata uangnya terdepresiasi paling dalam.

Akibatnya cukup fatal bagi harga saham di BEI. Melemahnya rupiah membuat biaya produksi sebagian besar emiten, terutama yang bahan bakunya masih impor, meningkat tajam. Hal ini tentunya menggerus margin laba emiten, atau memicu kenaikan harga produk. Untuk mengendalikan inflasi dan defisit neraca berjalan alias menahan jatuhnya rupiah, Bank Indonesia secara bertahap menaikkan suku bunga. BI rate telah naik 175 basis poin sejak Juni 2013. Anjloknya nilai rupiah membuat investor asing mulai keluar dari BEI karena imbal hasil investasi yang dihitung dalam mata uang negara mereka jadi berkurang.

Faktor memudarnya prospek ekonomi Indonesia, melemahnya rupiah dan kekhawatiran terhadap tapering off menghantam kinerja bursa saham. Harga saham terjun dari level tertinggi 5.251 ke level terendah 3.837 atau 27% hanya dalam waktu dua bulan.

Data di atas mengingatkan kepada kita dua hal: kinerja bursa saham kita lebih banyak dipengaruhi oleh faktor global seperti program QE di AS daripada lokal, dan hati-hati jika ingin membeli saham saat harganya sudah melambung tinggi karena lebih dipicu oleh faktor spekulasi dan ikut-ikutan (herding). Semoga 2014 menjadi tahun yang lebih baik bagi investor saham. 



TERBARU

×