kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Disfungsi Demokrasi

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Kamis, 02 Januari 2014 / 09:48 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta

DALAM artikel saya terdahulu (Menjelang Akhir SBY), saya menulis tentang skenario masa depan yang sangat positif bagi Indonesia dalam risiko politik. Saya berpendapat, dengan menugaskan para teknokrat handal di kementerian utama, perekonomian Indonesia berada di tangan orang yang tepat.

Dalam artikel kali ini, saya hanya ingin mengingatkan kembali bahwa dalam demokrasi terbuka, rencana yang sudah dirancang dengan baik bisa saja meleset. Kebetulan, tahun depan, negara demokrasi terbesar kedua dan ketiga di dunia, yakni India dan Indonesia, akan mengadakan pemilihan umum (pemilu) yang akan menimbulkan gelombang risiko politik di Asia.

Ketika dua negara besar sedang menghadapi tantangan ekonomi yang sama (defisit neraca transaksi berjalan dan mata uang melemah), kita harus bertanya: apakah sistem politik kedua negara tersebut diprogram untuk merusak diri sendiri ala Washington?

Kenapa ini menjadi masalah? India dan Indonesia adalah dua negara raksasa regional dan juga anggota G20. Masalah besar yang dihadapi salah satu negara ini bisa menjadi masalah bagi negara lainnya. Seperti halnya keberatan India--yang dimotivasi oleh kepentingan politik Partai Kongres yang memerintah--terhadap perundingan terbaru Organisasi Perdagangan Dunia di Bali pekan lalu telah menghambat kemajuan masa depan subsidi pangan.

Menariknya, hubungan investasi dan perdagangan bilateral antara kedua negara sangat dinamis. Pada 2012, perdagangan bilateral antara India dan Indonesia mencapai US$ 21,3 miliar. India sebenarnya adalah konsumen terbesar minyak sawit Indonesia yang menyumbang 46% dari perdagangan dua arah. Tidak hanya itu, sekitar 76% impor batubara India juga berasal dari Indonesia.

Namun, kedua negara sedang mengalami defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan India diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi sebesar 3,8% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara, neraca pembayaran Indonesia telah bergerak dari surplus transaksi berjalan sebesar US$ 1,7 miliar pada 2011, menjadi defisit yang diperkirakan sekitar 3,4% terhadap PDB tahun ini.

Kondisi ini ditambah lagi dengan mata uang masing-masing negara yang melemah telah mendorong para pembuat kebijakan untuk berjuang mempertahankan perekonomian mereka. Sejak menjabat pada 23 Mei 2013, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak tujuh kali senilai 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5% saat ini.

Demikian pula Gubernur Reserve Bank of India (RBI) Raghuram Rajan juga melakukan hal sama. Pada Oktober 2013, suku bunga acuan telah dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% untuk mengatasi kenaikan inflasi dan menstabilkan perekonomian.

Jalan menuju pemulihan ekonomi akan menjadi salah satu gejolak bagi kedua negara ini, terutama bahwa Federal Reserve (Bank Sentral AS) akhirnya mulai memangkas quantitative easing bulanan sebesar US$ 85 miliar karena kondisi pasar di AS mulai membaik. Perkembangan terakhir ini merupakan mimpi buruk bagi India dan Indonesia lantaran mengalami defisit transaksi berjalan yang besar dibiayai oleh aliran portofolio.

Selain itu, risiko politik yang relatif lebih tinggi di kedua negara menjelang pemilu dapat menghambat laju investasi. Secara politis, sama halnya dengan Indonesia, tampaknya persaingan untuk menjadi pemimpin berikutnya di India sangat terbuka lebar. Dalam pemilihan di tingkat negara bagian, partai yang berkuasa kalah dalam empat negara penting, termasuk di ibukota New Delhi.

Keputusan pemilih menggambarkan besarnya gelombang anti Partai Kongres. Kegagalan kepemimpinan Partai Kongres ini telah mendorong munculnya Ketua Menteri Gujarat Narendra Modi yang merupakan ketua tim pemenangan partai oposisi Bharatiya Janaya Party (BJP).

Modi telah mengubah ekonomi Gujarat dengan membuat PDB Gujarat berkembang jauh di atas indeks rata-rata nasional. Kebijakannya yang ramah terhadap kegiatan bisnis membuatnya dihargai oleh komunitas bisnis. Tapi Modi juga memiliki sisi gelap. Tak lama setelah menjabat, ia dituduh mendalangi kerusuhan berdarah anti-muslim tahun 2002 yang mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas dan puluhan ribu orang mengungsi.Jika ia terpilih, akan terjadi hal-hal yang tidak hanya berdampak buruk bagi minoritas, tetapi juga menjadi pertanda hilangnya reputasi keragaman dan toleransi.

Tahun 2014 pasti akan menjadi tahun yang sangat menantang bagi kedua negara ini. Kebangkitan ekonomi bisa sangat baik, tergantung hasil demokrasi.



TERBARU

×