kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Overweight & bias favoritisme

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 06 Januari 2014 / 20:08 WIB
Overweight & bias favoritisme

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Tahun 2013 baru saja kita lalui dengan kinerja IHSG yang kurang menggembirakan yaitu -1% dibandingkan indeks awal tahun. Apakah ini berarti kerugian sekitar 1% dialami seluruh investor saham di BEI? Mestinya tidak karena pertumbuhan IHSG hanya  menggambarkan capital gain dari sebuah portofolio saham. Masih ada dividen yang diterima investor saham langsung yang besarnya kurang lebih 2% untuk saham-saham LQ-45. Reksadana saham juga menerima dividen ini meskipun tidak dibagikan ke nasabahnya. Jika dividen ini dimasukkan, portofolio saham yang terdiversifikasi wajarnya mendapatkan return 1% untuk tahun lalu.

Dua asumsi diperlukan untuk sampai kepada angka ini. Pertama, portofolio saham yang dibentuk harus menyerupai portofolio pasar yang menjadi acuan IHSG atau untuk mudahnya, portofolio mesti mengandung sedikitnya belasan hingga puluhan saham lintas sektoral. Asumsi ini realistis untuk investor institusi seperti reksadana, asuransi, dan dana pensiun, namun tidak realistis untuk investor saham ritel yang hanya memegang rerata 4 saham.

Kedua, strategi yang diterapkan adalah buy and hold alias tidak ada transaksi beli dan jual sepanjang tahun 2013. Asumsi ini lebih sulit terjadi karena hampir tidak ada investor saham, baik institusi maupun ritel, yang sama sekali tidak melakukan transaksi saham selama setahun. Karenanya, wajar jika return portofolio saham tahun lalu banyak yang jauh di atas atau di bawah 1%.

Tiga jawara reksadana saham di Indonesia tahun lalu membukukan kenaikan nilai aktiva bersih (NAB) sampai puluhan persen. Di bawahnya masih ada empat reksadana saham yang mampu memberikan return belasan persen dan 19 lainnya yang masih positif dengan return 0,1% hingga 7,1%. Kecuali 26 yang berkinerja positif untuk tahun 2013, 100 lebih reksadana saham lainnya mencatatkan kerugian. Bagaimana mungkin, return reksadana saham sangat bervariasi dan mengapa lebih banyak yang NAB-nya turun?

Strategi yang diterapkan manajer investasi reksadana saham konvensional adalah strategi aktif. Hampir tidak ada hari bursa berlalu tanpa transaksi beli atau jual. Dengan strategi ini, manajer investasi berharap dapat memperoleh keuntungan bukan saja dari pemilihan saham (stock selection) yang tepat tetapi juga dari timing yang pas. Dua kompetensi inilah yang membedakan kinerja satu reksadana dari reksadana lainnya. Dalam analisis fundamental, pemilihan saham umumnya diturunkan dari analisis industri atau analisis sektoral.

Reksadana saham yang memberikan bobot lebih besar (overweight) pada sektor konsumsi dalam portofolionya tahun lalu dapat dipastikan masih memperoleh return positif. Sementara yang underweight terhadap sektor ini tetapi overweight di sektor yang kebetulan melempem sepanjang tahun lalu seperti pertambangan, aneka industri, dan industri dasar akan jeblok kinerjanya.

Tiga industri di atas mengalami rapor terjelek tahun lalu dengan penurunan -23,3%, -9,8%, dan -8,7% berturut-turut. Sedangkan indeks sektor konsumsi menjulang sebagai yang terbaik dengan kenaikan 13,8% diikuti indeks sektor perdagangan, pertanian & perkebunan, properti, dan infrastruktur yang masing-masing naik 4,8%, 3,7%, 3,2%, dan 2,5%.

Untuk kompetensi yang kedua yaitu market timing, keunggulan yang sempurna adalah investor saham yang keluar saat IHSG sedang tinggi-tingginya yaitu sekitar 5.200 di akhir Mei lalu dan masuk sebanyak-banyaknya saat IHSG berada di area 4.000 akhir Agustus lalu. 

Manajer investasi reksadana saham sulit mempunyai kemampuan ini karena keharusan untuk selalu menaruh minimal 80% portofolionya dalam saham. Akibat dari strategi agresif dan kewajiban ini adalah tingginya biaya transaksi yang harus dibayarkan dan tidak adanya opsi keluar seluruhnya dari pasar dalam mengantisipasi kejatuhan indeks.

Jika pun tidak ada keharusan ini, mengharapkan return di atas pasar hanya dengan mengandalkan timing sejatinya masih sangat sulit. Para investor saham ritel contohnya. Apakah return mereka rata-rata di atas 1% atau justru lebih buruk? Kita sulit mendapatkan datanya tetapi prediksi saya kinerja mereka lebih jelek.

Alasannya, banyak yang menggunakan fasilitas margin yang berarti terkena biaya bunga dari perusahaan sekuritasnya dan juga forced sale jika tidak mampu menyetor saat jatuh tempo.

Sementara, mereka yang bermain dengan kekuatan sendiri dan tidak dengan margin, sangat mungkin terkena sindrom tidak bersedia cut loss. Biaya bunga, forced sale, dan sikap membiarkan kerugian mengalir ini tidak dialami manajer investasi.

Berbeda dengan gaya investor institusi yang diversifikasi lintas sektor, investor ritel umumnya tidak diversifikasi dan mengalami bias favoritisme terhadap konglomerat tertentu. Mereka yang favorit terhadap saham-saham Grup Lippo, Ciputra, dan Panin akan tetap meraup return positif karena rata-rata return emiten kelompok itu adalah masing-masing 150%, 34%, dan 18%.

Sementara investor yang menyukai saham-saham Grup MNC, Bakrie, Salim, dan BUMN dapat dipastikan harus menghitung kerugian karena harganya turun -23%, -19%, -8%, dan -7% berturut-turut.    

 

 



TERBARU

×