kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Setelah ombak surut

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Senin, 03 Oktober 2011 / 17:37 WIB
Setelah ombak surut

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Melonjaknya volatilitas harga saham dan emas belakangan ini mengundang banyak pertanyaan masuk ke email saya, prof.telo@gmail.com. Berikut dua pertanyaan yang paling umum.

Pertama, "Apakah saat ini harga emas sudah bubble?" Well, saya selalu mengingatkan bahwa kenaikan harga emas yang terlalu cepat perlu digarisbawahi sebelum kita berinvestasi di emas.

Harga emas dunia telah naik sekitar 45% dalam waktu Januari – Juli 2011. Sempat menyentuh level tertinggi USD 1.900 per ons troi pada awal September 2011, harga emas kini berkisar USD 1.625 per ons troi, alias turun 17% dalam sebulan. Jadi siapa bilang investasi atau spekulasi di emas berisiko rendah?

Minggu lalu, emas mengalami penurunan harga cukup nyata, 8,5% per minggu. Sekadar catatan, hanya ada 7 penurunan sebesar ini dalam 40 tahun terakhir. Inilah dering nyaring wake up call bagi mereka yang suka berkebun emas. Dengan metode ini kita bisa investasi/spekulasi hingga empat kali lipat dari uang sendiri. Artinya, risiko investasi jadi membengkak. Penurunan harga emas 8,5% sama saja dengan kerugian sekitar 34%, belum lagi harus membayar biaya titip.

Membeli emas pada saat harga naik secara cepat membuat probabilitas mengalami kerugian membesar, sebaliknya probabilitas mendapat keuntungan mengecil.

Saham memiliki operasi bisnis yang menciptakan pertumbuhan pendapatan dan memberikan dividen. Obligasi memberikan pembayaran bunga. Emas? Sekilo emas hari ini tetap sekilo emas 10 tahun lagi. Harga emas sangat tergantung pada opini seseorang.

So, harga emas sudah bubble? Atau justru bakal melejit dengan kekuatan penuh? Tak ada yang tahu karena, seperti kata Sir Isaac Newton, lebih mudah meramal pergerakan bintang di langit daripada menduga perilaku para investor/spekulan.

Saran saya, minimalkan aksi spekulatif. Lebih baik kehilangan kesempatan memperoleh untung besar (opportunity loss) daripada harus menanggung kerugian besar (actual loss), jika tebakan kita salah.

Pertanyaan kedua, "Saya investor berwawasan jangka panjang. Apa yang harus saya lakukan ketika harga saham turun tajam seperti minggu lalu?" Well, saya selalu mengingatkan bahwa investasi saham bukan untuk setiap orang. Mereka yang tidak tahan melihat nilai portofolionya turun 10% per hari, sebaiknya menjauh dari saham. Kesehatan lebih penting daripada uang.

Bursa Efek Indonesia adalah bursa dengan volatilitas harga yang relatif tinggi. Membeli saham blue chip, kadang tidak menolong mengurangi gejolak harga. Ambil contoh Kamis kelabu minggu lalu. Saham ASII mengalami penurunan 9%, SMGR turun 13%, BBRI amblas 12%.

Bagi daily trader, gejolak besar ini seperti pepatah "pucuk dicinta ombak tiba." Mereka adalah para surfer yang menikmati alunan ombak besar, mengambil keuntungan jangka pendek dari kepanikan di pasar. Namun bagi investor jangka panjang dengan strategi buy and hold, ombak besar ini bisa membuat mual dan mabuk. Nilai pasar portofolio mereka turun tajam. Keuntungan yang sudah terkumpul selama beberapa bulan bisa hilang dalam waktu sekejap.

Namun kerugian aktual hanya terjadi jika investor menjual saham tersebut saat harga turun tajam. Karena itu, kemampuan investor untuk tidak menjual di saat harga rendah amatlah berharga. Itu sebabnya untuk investasi jangka panjang disarankan menggunakan free cash flow alias "uang dingin", bukan utang alias "uang panas".

Berita baiknya adalah saham blue chip biasanya cepat rebound saat kepanikan mereda. Saham ASII yang terpuruk menjadi Rp 55.000 telah balik ke Rp 65.000 hanya dalam seminggu. Atau, saham INTP yang sempat  Rp 11.000, tiba-tiba sudah bertengger lagi di Rp 14.000.

Jadi, strategi do nothing saat pasar panik patut diperhitungkan, dengan catatan investor yakin dengan nilai sahamnya. Mengapa harus ikut-ikutan menjual saham jika kita yakin sudah undervalued? Justru kalau perlu membeli lagi, seperti yang dilakukan Warren Buffett minggu lalu.

Sebagian investor menerapkan strategi "sell low, buy lower." Dalam beberapa kasus, strategi ini efektif. Namun risikonya, investor bisa mengalami kondisi "sell low, buy higher." Mereka menjual sahamnya dan ragu-ragu untuk membeli kembali, di saat harga sudah turun lebih dalam. Sering terjadi harga rebound secara cepat, hingga mereka ketinggalan kereta, terpaksa membeli di harga lebih tinggi dari harga jual.

Volatilitas tinggi berarti investor perlu lebih aktif mengelola portofolionya. Saat harga cukup tinggi, ada baiknya mengecek ulang nilai saham yang dimiliki, apa sudah overvalued?

Selain itu, mengurangi persentase investasi pada saham dan memindahkannya ke alternatif investasi lain seperti obligasi bisa dipertimbangkan. Tapi tentunya, tidak menjuali saham di saat pasar sedang panik.



TERBARU

×