kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Ketahanan sistem keuangan

oleh Y. Arief Rijanto - Center for Finance & Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Senin, 17 Februari 2014 / 14:01 WIB
Ketahanan sistem keuangan

Reporter: Y. Arief Rijanto | Editor: tri

Rupiah turun! Hati-hati, dan tetap tenang! Demikian kira-kira teriakan Paul Krugman di New York Times edisi Agustus 2013. Melalui media massa tersebut, pemenang penghargaan Nobel Ekonomi 2008 ini memperingatkan bahaya krisis global.

Sistem keuangan global saat ini telah gagal mengantisipasi terjadinya krisis. Bahkan, krisis itu cenderung menular ke negara lain di kawasan Eropa, yang dulunya perkasa. Penyebab utama krisis di Asia tahun 1998, krisis Yunani dan Spanyol dalam beberapa tahun terakhir, adalah optimisme berlebihan terhadap utang luar negeri swasta. Alhasil, terjadi kebutuhan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.

Drama krisis keuangan berganti-ganti lokasi. Indonesia dianggap aktor utama krisis keuangan 1998 dengan kontraksi penurunan kinerja ekonomi hingga 13%. Adapun  Yunani merupakan aktor utama krisis Eropa dengan penurunan laju ekonomi sekitar 20%. Indonesia dianggap berhasil bangun dari krisis 1998, dan tumbuh 72% lebih tinggi dari kinerja ekonomi 1998. Kemampuan Indonesia menjaga stabilitas rupiah menjadi faktor penting pertumbuhan ekonomi negara ini.

Namun, euro sebagai mata uang bersama kawasan menjadikan Yunani sulit mengendalikan volatilitas pasar uang Eropa. Dampaknya, terjadi penularan krisis Yunani ke negara Eropa lain, sehingga menyeret mata uang kawasan ke episode krisis keuangan.

Bagaimana dampak krisis keuangan Eropa ke Indonesia? Sistem pasar keuangan terintegrasi menyebabkan kontraksi keuangan Eropa berdampak ke seluruh dunia. Terjadi ketidakseimbangan ekonomi antarnegara. Amerika mengalami masalah pengangguran dan belum sepenuhnya pulih dari krisis 2008.

Aktivitas Quantitative Easing dan tapering off Amerika menyebabkan dana asing yang beredar di pasar negara-negara berkembang tersedot kembali ke negeri Paman Sam. Pembelian sekuritas berbasis perumahan, dilakukan untuk menjaga suku bunga rendah, menyebabkan hipotek perumahan yang bernilai buruk saat krisis 2008 makin berkurang. Pertumbuhan aset milik pemerintah Amerika meningkat. Total kapitalisasi pasar saham Amerika kembali ke posisi sebelum krisis 2008. Artinya, ekonomi Amerika membaik. Otomatis, dana yang dulu bercucuran ke pasar berkembang ditarik lagi.

Penarikan dana asing terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Mei–Juni 2013 tercatat US$ 3,6 miliar keluar dari Bursa Efek Indonesia dan terus berlanjut. Pada September 2013, lembaga keuangan internasional merevisi prakiraan indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Dunia merevisi PDB Indonesia 2013 dari 6,2% menjadi 5,9%.

Tahun 2014, Indonesia diramalkan mengalami pelambatan ekonomi, investasi, bisnis, ekspor, dan terimbas dampak penurunan harga komoditas. Risiko pelambatan ekonomi dipicu pelemahan permintaan dalam negeri akibat kenaikan harga BBM, gas, inflasi dan suku bunga, ditambah risiko fluktuasi nilai tukar rupiah yang menembus level Rp 12.000 per dollar AS meski Bank Indonesia melakukan intervensi. Cadangan devisa di bawah US$ 100 miliar. Surplus neraca perdagangan Desember 2013 tak dapat menahan laju penurunan rupiah.

Negara berkembang lain ikut kena dampak, seperti India mengalami defisit anggaran dan penurunan mata uang rupee sebesar 16,5%. Turki menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5% jadi 8% guna menghindari krisis keuangan.


Faktor politik

Bagaimana ketahanan keuangan Indonesia saat ini? Tingkat utang luar negeri Indonesia berbeda dengan krisis 1998, yang sekarang relatif lebih kecil. Cadangan devisa pun berbeda dengan 1998. Akhir Januari 2014 mencapai US$ 99 miliar. Kebijakan Indonesia pasca krisis 1998 dianggap mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi menjadi positif. Dibandingkan Yunani, Indonesia lebih rendah risikonya. Krugman (2013) berpendapat kemungkinan Indonesia kembali mengalami krisis keuangan relatif kecil.

Namun, tepatkah prediksi tersebut? Perlu dicatat, akhir Januari 2014, nilai tukar dollar naik ke level Rp 12.000,  tertinggi sejak Mei 2009. Tahun ini juga ada pemilu. Maka, pola masalah yang akan dihadapi serupa dengan krisis 1998, yakni masalah keuangan dan politik.

Risiko keuangan dan politik berkaitan erat. Krisis keuangan 1998 dibarengi dengan krisis politik yang memicu Reformasi Mei 1998. Sedangkan krisis 2008, politik Indonesia relatif stabil meski ada kasus Bank Century. Ketidakpastian calon presiden 2014 akan meningkatkan risiko politik Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara berkembang berisiko politik tinggi. Maplecroft’s (Political Risk Atlas, 2014) menggolongkan pemilu Indonesia berisiko meningkatkan retorika dan kebijakan nasionalisme. Investor asing cenderung menambahkan nilai premi risiko politik dalam ekspektasi imbal hasil investasinya di Indonesia.

Akankah pertarungan politik 2014 berjalan damai? Ketahanan sistem keuangan berperan penting menjaga stabilitas keuangan Indonesia. Sejarah dunia menunjukkan keruntuhan rezim politik sering dimulai dari keruntuhan ekonomi dan sistem keuangan. Krisis keuangan Yunani memicu pergolakan politik dan kerusuhan. Bila ketahanan sistem keuangan Indonesia 2014 tangguh: rupiah stabil, pasar modal berkembang dan transaksi berjalan positif, maka faktor politik menjadi aktor utama dalam menentukan arah Indonesia.

Kombinasi kestabilan keuangan dan politik menjadi modal bagi Indonesia melewati drama krisis keuangan global di tengah kontraksi ekonomi dunia yang tidak seimbang. Seperti pertunjukan drama, bila aktor utama protagonis (antagonis) naik ke panggung, peran manakah yang akan dimainkan? Calon pimpinan Indonesia 2014 memiliki peran penting menentukan arah Indonesia: ikut terjebak drama krisis keuangan global atau tidak. Semoga Presiden Indonesia 2014 berhati-hati dalam mengambil kebijakan keuangan Indonesia.                          








TERBARU

×