kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Membenahi kompetensi dan independensi perencana keuangan

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 21 April 2014 / 13:31 WIB
Membenahi kompetensi dan independensi perencana keuangan

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati.partawidjaja

Seorang selebritis melaporkan perencana keuangan kepercayaannya karena mengikuti rekomendasi investasi darinya, dia merugi miliaran rupiah. Profesi perencana keuangan pun dipertanyakan karena tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti agen asuransi dan manajer investasi ataupun di Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) seperti akuntan publik dan appraiser. Sangat disayangkan jika otoritas berwenang belum mengatur kode etik dan standar profesi baru yang berkembang pesat di industri keuangan dan dibutuhkan masyarakat ini.

Perencana keuangan sejatinya terbagi dua kelompok yaitu yang bekerja pada lembaga keuangan yang biasanya menawarkan produk asuransi dan reksadana perusahaannya dan yang independen. Jumlah yang independen ini hanya sekitar puluhan orang yang bekerja dalam belasan firma yang tergabung dalam Independent Financial Planners Club (IFPC).

Independen berarti tidak terikat dengan institusi tertentu, apakah itu perusahaan asuransi atau sekuritas. Definisi lain, seperti yang berlaku di negara-negara maju, adalah perencana keuangan yang tidak mendapatkan komisi dari produk investasi yang disarankannya, untuk memastikan keberpihakan dan tanggung jawab mereka kepada kliennya. Berdasarkan definisi terakhir, perencana keuangan yang membatasi rekomendasinya hanya pada satu atau dua produk perusahaan yang telah menjalin kerjasama dengannya, tidak layak disebut independen.      

Komisi dari perusahaan asuransi atau penjual reksadana untuk perencana keuangan adalah nyata, meskipun tidak transparan. Sama seperti komisi dari perusahaan asuransi dan bank/perusahaan pembiayaan kepada staf penjualan kendaraan secara kredit.

Karenanya, yang cerdas finansial tidak menerima begitu saja jika disodorkan perusahaan asuransi dan pembiayaan yang direkomendasikan tenaga penjualan. Mereka dapat mencari sendiri untuk mendapatkan yang terbaik.

Anda akan spontan bilang, “Idealnya memang seperti itu tetapi praktiknya hampir tidak ada yang melakukan perbandingan dengan cerdas.” Saya sangat setuju dengan pendapat ini mengingat literasi keuangan di negeri ini berada di peringkat dua paling bawah dari 28 negara yang disurvei.

Untuk meningkatkan literasi finansial ini dan membantu masyarakat mencapai kecerdasan finansial, saya menulis dua buku yaitu "Cerdas Menghadapi Trik Bank", dan "Lihai sebagai Investor". Valuasi aset, alokasi aset, menilai kewajaran sebuah tawaran investasi, dan perencanaan keuangan menjadi begitu mudah jika Anda cerdas finansial.

Jika terhadap staf penjualan kendaraan atau tenaga sales KPR sebuah bank, kita umumnya percaya, demikian juga para klien terhadap perencana keuangan pilihannya yang rata-rata berpendidikan tinggi. Apalagi jika mereka sering dimuat harian nasional terkemuka dan tampil di layar kaca.

Ini dikenal dengan framing, bias anchoring, dan bias availability dalam behavioral finance. Idealnya, para pemilik dana mengevaluasi semua rekomendasi yang diberikan perencana keuangannya dengan cerdas. Praktiknya, jangankan yang awam, investor berpengalaman sekalipun sulit menghindari framing dan bias behavioral seperti bias anchoring, overconfidence, regret aversion, optimistis, ilusi kontrol, dan bias familiaritas. Tidak bijak jika OJK menimpakan semua kesalahan pada pemilik uang.

Sebelumnya, sebuah bank asing terkemuka di Indonesia juga pernah dituntut nasabahnya karena telah merekomendasikan obligasi korporasi Amerika (AS) yang kemudian default. Padahal bank itu sudah menyeleksi cukup ketat dengan menawarkan hanya belasan obligasi korporasi AS dengan rating minimal A kepada nasabah utamanya, bukan investasi abal-abal dengan return yang tidak masuk akal.

Contoh lain, sebagai investor saham langsung, saya mengoleksi beberapa saham tidak likuid dari perusahaan berkapitalisasi rendah serta tidak diversifikasi. Namun, sebagai penasihat investasi, saya tidak berani merekomendasikan strategi itu.

Rekomendasi saham saya pastinya adalah saham-saham likuid berkapitalisasi besar. Saham-saham berkapitalisasi kecil dan tidak likuid serta tidak diversifikasi terlalu berisiko untuk dilakukan perusahaan asuransi dan dana pensiun meskipun semua saham itu listed di BEI. Saya akan jauh lebih ekstra hati-hati lagi tentunya, dan sampai saat ini belum pernah, merekomendasikan investasi di perusahaan-perusahaan privat (tertutup).

Imbauan OJK yang melarang perencana keuangan bertindak sebagai manajer investasi tanpa lisensi pengelola dana adalah tepat. Akan lebih baik lagi jika mereka dipersyaratkan memiliki kompetensi keuangan minimal setara dengan level 1 CFA. Ke depan, otoritas berwenang harus mendefinisikan kriteria independen dan memisahkan perencana keuangan yang independen (IFP) ini dari yang hanya bersertifikasi (CFP, CWM, RFC, QWP, RFA).

Regulasi dan kode etik harus ditegakkan untuk yang independen (IFP) karena merekalah yang akan dipercaya masyarakat mengelola dananya sekaligus mitra pemerintah dalam meningkatkan literasi keuangan.

Untuk meningkatkan profesionalismenya agar tidak mudah digantikan dengan software pintar “perencanaan keuangan bebas biaya” yang sekarang marak ditawarkan, perencana keuangan independen perlu melengkapi dirinya dengan behavioral finance, salah satu ilmu utama dalam pengelolaan kekayaan. Semoga OJK mendengar usulan ini dan serius membenahi profesi ini.               



TERBARU

×