kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

David Moyes dan reaksi pasar

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetya Mulya Business School


Senin, 28 April 2014 / 20:12 WIB
David Moyes dan reaksi pasar

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Minggu lalu penggemar Manchester United akhirnya punya alasan untuk bersorak di musim ini. David Moyes, yang 10 bulan silam menggantikan Sir Alex Ferguson yang pensiun, akhirnya dipecat. Pengumuman lengsernya Moyes disambut gembira tidak hanya oleh para Mancunian di seluruh jagat.

Investor di bursa saham New York pun ikut bersorak. Harga saham Manchester United (MANU) yang tadinya terpuruk bersama tenggelamnya prestasi Manchester United, sontak terangkat 7% ke US$ 18,60 per saham. Ini adalah harga tertinggi saham MANU sejak Sir Alex mengundurkan diri. Dihitung dari nilai kapitalisasi pasarnya, pemecatan Moyes membuat nilai kapitalisasi pasar MANU bertambah sekitar US$ 200 juta!

Moyes memang dianggap pembawa sial. Saat pengumuman Moyes sebagai manajer Manchester United Mei tahun lalu, harga saham MANU langsung KO, dan tidak pernah bisa pulih sepanjang era Moyes.

Artinya saat itu pelaku pasar sudah khawatir bahwa Moyes tak punya “tenaga dalam” yang cukup untuk memimpin klub sebesar Manchester United. Terbukti bahwa penerawangan para pelaku pasar ternyata tajam tepercaya.

Contoh reaksi pasar di bursa saham kita cukup banyak. Baru saja kita rasakan “Jokowi Effect”, yakni saat IHSG melejit mendengar pengumuman Jokowi nyapres, dan IHSG anjlok saat hasil quick count menunjukkan PDIP mendapat suara “hanya” 19% di pemilu legislatif.

Contoh lain adalah saat Michael Ruslim, CEO PT Astra Internasional Tbk meninggal dunia di tahun 2010. Kabar meninggalnya Michael Ruslim di pagi hari memicu penurunan harga saham Astra sebesar 1,24%. Penurunan tajam saham Astra berlanjut hingga hari kelima menyentuh 8%.

Kasus lain, ketika Rachman Halim, Presiden Komisaris PT Gudang Garam, Tbk (GGRM), mendadak wafat pada tahun 2008, harga saham GGRM sontak naik 19%. Lalu melambung 23% pada hari berikutnya.

Lalu, saat tersiar kabar bahwa royalti yang harus dibayar PT Unilever Indonesia, Tbk (UNVR) ke induknya, Unilever NV, naik dari 3,5% menjadi 8% sampai 2015, harga saham UNVR merosot hingga Rp 20.350 (turun 22%) pada tahun 2012. Hal yang sama terjadi saat PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) mengungkapkan harus membayar royalti lebih tinggi, harga sahamnya sontak turun hingga Rp 2.600 (turun 20%).

Reaksi para pelaku pasar terhadap berita yang terkait dengan prospek sebuah perusahaan (market reaction) telah menjadi objek penelitian menarik bagi akademisi keuangan. Yang paling sering diteliti adalah reaksi pasar terhadap pengumuman dividen emiten. Umumnya pasar bereaksi positif terhadap pengumuman kenaikan dividen di atas yang diperkirakan karena dianggap sebagai sinyal tentang prospek perusahaan yang tepercaya.

Pasar juga bereaksi terhadap setiap aksi korporasi lainnya yang dianggap cukup material. Misalnya merger dan akuisisi.

Pada umumnya harga saham perusahaan yang menjadi target akuisisi naik nyata dan harga saham perusahaan yang mengakuisisi mengalami penurunan. Pelaku pasar khawatir harga akuisisi kemahalan sehingga merugikan perusahaan yang mengakuisisi.

Sama seperti kasus David Moyes, pasar akan beraksi positif ketika CEO yang dianggap kurang kompeten dilengserkan, dan bereaksi negatif saat CEO yang dianggap hebat mendadak pindah atau meninggal.

Dari berbagai contoh kasus di atas, bisa disimpulkan bahwa pelaku pasar pada umumnya bukan orang yang pemalu dan pasif. Mereka sangat sensitif dan tidak segan mengutarakan opini maupun isi hati mereka melalui keputusan jual atau beli.

Jika ada ungkapan bahwa bursa saham lebih kejam dari ibukota, itu benar adanya. Sejatinya, pelaku pasar tidak kejam, mereka hanya berusaha melindungi harta mereka dari kemungkinan kerugian dengan bereaksi cepat. Seperti Lucky Luke, mereka belajar "menjual atau membeli lebih cepat dari bayangan".

Apakah pelaku pasar selalu benar dalam menerawang masa depan emiten seperti dalam kasus David Moyes? Jawabnya tentu tidak. Dalam banyak kasus pelaku pasar bereaksi berlebihan, baik terhadap berita yang dianggap positif maupun negatif.

Over reaction pelaku pasar menciptakan harga yang kemahalan (over priced) dan kemurahan (underpriced). Ini memberi kesempatan bagi investor untuk membeli di harga kemurahan dan menjual di harga kemahalan.

Pada kasus Michael Ruslim, akhirnya saham Astra pulih setelah penggantinya diumumkan dan harganya saat ini telah mencapai lebih dari dua kali lipat di banding saat Michael Ruslim meninggal. Harga saham, Gudang Garam juga saat ini telah mencapai level 1,5 kali dari saat Rachman Halim meninggal.

Tipsnya adalah saat ada berita negatif dan harga turun tajam, investor bisa menunggu hingga harga saham turun cukup nyata, misalnya 20%, sebelum mulai masuk. Jangan lupa tetap memperhitungkan aspek fundamental emiten. Hasilnya lumayan.

Pada kasus Unilever, harga saham sudah mencapai level Rp 30.000, dan harga saham SMCB pernah menyentuh Rp 3.975. Jadi, saat pasar bereaksi, kita siap beraksi untuk menambah cuan.  

 



TERBARU

×