kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Kebijakan beras Indonesia

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Rabu, 21 Mei 2014 / 10:22 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta

KEBIJAKAN pertanian di Indonesia, terutama penanganan produksi beras oleh pemerintah, turut menentukan identitas Indonesia. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia dengan 70,9 juta ton beras tanpa giling yang diproduksi tahun lalu. Apakah Indonesia merupakan bangsa petani? Atau bangsa yang tumbuh dari sektor manufaktur dan jasa karena semakin banyak orang tinggal di kota, termasuk daerah Jabodetabek yang saat ini memiliki populasi sebanyak 28 juta orang?

Pada dasarnya ada pertanyaan penting yang perlu diajukan: Lebih baik memihak pada produsen atau konsumen? Dalam upaya menjawab tantangan mendasar ini, Presiden Indonesia berikutnya harus menunjuk seorang profesional untuk Kementerian Pertanian.

Sementara fluktuasi harga beras membuat petani untung, penduduk kota menderita. Harga beras kiloan telah naik dari Rp 6.800 pada September 2010 menjadi Rp 8.400 pada Juli 2013 atau lebih mahal 23,5% kurang dari tiga tahun. Ini adalah tren yang mengkhawatirkan, bukan hanya karena 90% penduduk Indonesia makan nasi. Beras mahal adalah beban yang berat bagi setiap orang, terutama masyarakat miskin.

Hal yang lebih buruk ialah kebutuhan pokok seperti daging sapi dan bawang juga menjadi lebih mahal. Kenaikan harga-harga ini menghambat upaya Indonesia dalam menurunkan angka kemiskinan. Seperti diketahui, kenaikan angka kemiskinan sebesar 33,38% disebabkan oleh mahalnya harga beras.

Mengapa hal ini terjadi? Sebagian besar kesalahan ada pada kebijakan pertanian Indonesia. Pertanian Indonesia selalu memandang ke arah dalam. Penekanannya hanya memihak dan mempromosikan pertumbuhan produsen lokal. Pembatasan impor, dan dalam kasus tertentu pelarangan impor yang ketat menjadi andalan, dan terus terang ini menjadi alat dari kebijakan.

Misalnya, impor beras telah dilarang sejak tahun 2004, meski impor dengan besaran tertentu diizinkan masuk secara berkala. Kementerian Pertanian pada 2013 memutuskan kuota impor bawang (onions) sebanyak 24.000 ton, bawang merah (shallots) sebanyak 13.000 ton, dan bawang putih (garlics) 184.000 ton.

Pada situasi yang ideal, mengurangi pasokan impor akan memacu petani lokal untuk meningkatkan produksi. Namun, sayangnya ini tidak terjadi, dan meskipun berbagai pembatasan impor dilakukan, petani lokal telah gagal untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga, ketidakseimbangan dalam supply dan demand mengakibatkan kekurangan dan tekanan terhadap harga, serta membuat konsumen berang.

Fakta menyebutkan, kenaikan inflasi sebesar 11,35% pada 2013 didorong oleh kenaikan harga makanan pokok, termasuk beras. Ada risiko bahwa kemungkinan harga akan terus melonjak tak terkendali.

Sesungguhnya pertanian padi di Indonesia ini merupakan skala kecil. Lahan pertanian padi di Indonesia hanya tersedia 13,76 juta hektare. Indonesia juga harus bergantung pada 26,13 juta rumahtangga petani untuk memberi makan seluruh penduduknya. Selain itu, hasil produksi padi di Indonesia sebesar 5,01 ton per hektare itu sebenarnya masih rendah, meskipun lebih tinggi dari Thailand (4,5 ton) dan Vietnam (3,7 ton).

Negara ini juga sedang menghadapi masalah di sisi penawaran. Para pembuat kebijakan harus fokus pada pengembangan irigasi dan bendungan yang akan menaikkan tingkat produksi. Bantuan pembiayaan harus disediakan bagi petani yang memenuhi syarat demi membantu meningkatkan kapasitas produksi.

Investasi tambahan diperlukan dalam inovasi teknologi. Misalnya, Indonesia perlu penelitian yang dapat meningkatkan irigasi dan hasil produksi. Subsidi pupuk atau insentif akan membantu tetapi harus bebas dari korupsi dan pemborosan.

Walau inisiatif lama seperti "satu hari tanpa nasi" setiap minggu akan membantu mengubah perilaku konsumen dalam jangka panjang, pemerintah juga harus menyadari dan perlu menjawab pertanyaan di awal: Apakah Indonesia masih bangsa petani dan apakah di sisi konsumen atau produsen kebijakan dibuat? Retorika emosional lama sama sekali tidak memecahkan tantangan pangan Indonesia. Sudah seharusnya Kementerian Pertanian perlu dipimpin oleh seorang profesional, seseorang yang dapat berpikir di luar kotak daripada yang hanya mengulang kebijakan lama yang terbukti gagal. Tanpa perubahan tersebut, mangkuk nasi Indonesia mungkin segera kosong!



TERBARU

×