kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Apa yang salah dengan Cipaganti?

oleh Budi Frensidy - Pengamat pasar modal dan pasar uang


Rabu, 23 Juli 2014 / 11:30 WIB
Apa yang salah dengan Cipaganti?

Reporter: Budi Frensidy | Editor: cipta.wahyana

APA susahnya mengenali penipuan berkedok investasi? Mulai dari tidak ada izin menghimpun dana, usaha baru berdiri, hingga menjanjikan imbal hasil bombastis.

Ada empat karakteristik yang melekat pada produk keuangan bermasalah. Pertama, izin penyelenggara biasanya hanya izin usaha dagang biasa. Anehnya, karena faktor keserakahan dan ketidaktahuan, investor mudah percaya, tanpa mempertimbangkan legalitas pengelola dana.

Kedua, soal perusahaan atau koperasi atau apapun namanya yang menghimpun dana masyarakat itu biasanya baru berumur pendek, yaitu beberapa bulan hingga 1 tahun-2 tahun. Sudah tidak memiliki izin resmi, rekam jejak juga tidak jelas. Yang memiliki rekam jejak bagus saja masih ada kemungkinan bermasalah di kemudian hari, akibat terlalu optimistis atau spekulatif, apalagi yang belum teruji. Sedihnya, ada saja yang masih tidak sadar dengan risiko.

Ketiga, bentuk investasi tidak jelas, bukan efek ekuitas dan bukan efek utang. Sesuai regulasi, tidak ada efek ekuitas yang boleh menjanjikan return. Sementara, efek utang selalu mempunyai tanggal pelunasan. Di pasar keuangan, tak ada surat utang yang tak punya tanggal jatuh tempo. Di faktor ketiga ini, hanya orang cerdas finansial yang kritis menanyakan dan mengklarifikasi ini. Sebagian besar tidak melihat kejanggalan ini dan langsung tertarik.

Terakhir, tentang imbal hasil tinggi yang dijanjikan. Berapakah sebenarnya imbal hasil wajar sebuah investasi? Mengingat, ke depan pertumbuhan tahunan indeks saham kita berkisar belasan persen dan bunga bebas risiko hanya sekitar 6% per tahun, return tahunan di atas 18% per tahun atau 1,5% per bulan sudah sangat pantas dicurigai.

Bisnis apapun juga, yang bukan monopoli, maksimal hanya mendapat keuntungan 20%. Industri atau perusahaan yang konsisten memperoleh keuntungan di atas itu akan mengundang pemain baru masuk, sehingga meningkatkan persaingan dan akhirnya menurunkan laba bersih kembali ke belasan persen.

Dengan keuntungan normal maksimal 20% per tahun, siapapun yang berani menjanjikan 18% terlalu optimistis dan cenderung spekulatif. Intinya, imbal hasil 12%-18% bersih setahun bukan bebas risiko, tapi penuh risiko. Semakin tinggi yang dijanjikan, semakin besar kemungkinan gagal bayar.

Kasus penawaran produk investasi dengan return yang tidak masuk akal didokumentasikan pertama kali tahun 1919, ketika Carlo Ponzi menjual surat promes berbunga 50% dalam 90 hari. Hanya dalam beberapa pekan, Ponzi menjadi orang kaya baru. Hasil penjualan surat utang itu tidak ia tanam kembali, tapi untuk membayar bunga 50% itu. Pada 26 Juli 1920 skema penipuan ini berakhir, karena dana untuk membayar bunga melampaui jumlah dana yang diterima. Sejak saat itu, penipuan berkedok produk investasi seperti ini disebut skema Ponzi.

Bagaimana dengan kasus Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada (KCKGP)? Apakah juga skema Ponzi? Sebagai koperasi, KCKGP tak boleh menawarkan imbal hasil pasti. Bos KCKGP menolak menyebutkan alternatif pendanaan ini sebagai tawaran investasi. Menurutnya, yang ditawarkan adalah kemitraan bisnis, karena investor dapat menitipkan mobil untuk disewakan.

Dalam praktiknya, operasional kerjasama bisnis penitipan mobil relatif sulit, sehingga investor lebih tertarik pada penitipan uang yang jumlahnya menembus Rp 3,2 triliun dari 8.000 orang lebih. Investor percaya, karena bisnis penyewaan mobil dan transportasi Cipaganti sudah ada sejak tahun 1980-an.

Masalah muncul ketika KCKGP mulai melirik bisnis lain, seperti alat berat dan batubara sejak dua tahun lalu. Bukannya memberikan keuntungan, dua bisnis baru ini justru mendatangkan kerugian.

Padahal, dengan janji imbal hasil 1,5% per bulan saja, biaya dana KCKGP minimal 18% setahun. Tidak perlu menunggu lama, KCKGP mulai kesulitan membayar imbal hasil kepada investor sejak Maret lalu.
Berbeda dengan penipuan berkedok investasi yang banyak ditawarkan, saya tidak melihat niat KCKGP membawa lari uang para mitranya.

Gagal bayar terjadi lebih karena kerugian investasi yang KCKGP. Mestinya KCKGP menyetop penerimaan dana saat tidak ada lagi kebutuhan dana untuk bisnis utamanya. Bukan malah memasuki bisnis baru yang tidak dikuasai dan tidak prospektif.

Meskipun tidak ada penggelapan, realistisnya kini investor harus siap rugi jika memaksa pengembalian dananya. Mitra bisnis KCKGP wajarnya hanya memperoleh sekitar sepertiga uang investasi mereka, mengingat nilai buku total aset kurang dari Rp 2 triliun, sementara kewajiban Rp 3,2 triliun. Dengan nilai buku kurang dari Rp 2 triliun, nilai pasarnya tentu lebih rendah. Apalagi jika kita menghitung nilai likuidasi.

KCKGP bukanlah skema Ponzi atau sejenisnya, tetapi terlalu optimistis dan terakhir menjadi spekulatif dalam berinvestasi.



TERBARU

×