kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Siasat jitu hadapi ekonomi biaya tinggi

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 20 Januari 2014 / 08:30 WIB
Siasat jitu hadapi ekonomi biaya tinggi

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

JIKA ada pertanyaan tentang apa saja yang mengancam perekonomian domestik di tahun kuda ini, jawaban yang banyak terdengar antara lain adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Selain itu, ada yang menyebut infl asi tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar non-subsidi seperti harga elpiji, kenaikan bunga acuan Bank Indonesia yang berefek sundulan ke bunga berbagai kredit, termasuk kredit usaha.

Ekonomi domestik juga berada di bawah bayang-bayang deindustrialisasi, yang biasanya berujung ke pemutusan hubungan kerja. Bila tidak segera diantisipasi, berbagai faktor tersebut mampu mengarahkan perusahaan ke ekonomi biaya tinggi. Saat kenaikan biaya produksi tidak lagi dapat dielakkan, maka pilihan yang dimiliki perusahaan tinggal dua: membebankan biaya itu ke konsumen melalui kenaikan harga atau memikul sendiri kenaikan itu, dengan konsekuensi perusahaan terancam menderita penurunan laba.
Sungguh, situasi yang menyerupai buah simalakama, bukan? Di pengujung tahun lalu, Yehuda Ardhito, seorang anggota Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM) yang juga pembudidaya ayam kampung, menjelaskan bahwa satu faktor yang membuat harga ayam melambung di atas Rp 40.000 per ekor adalah harga pakan yang naik hingga lebih dari 20%. "Awal kenaikan harga terjadi menjelang Lebaran. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, permintaan dipastikan akan melonjak drastis. Tinggal, bagaimana produsen mempertahankan jumlah pasokan," tutur dia.

Jika kita belajar dari pengalaman di masa itu, permintaan terhadap ayam memang meningkat seiring dengan pergeseran konsumen dari daging sapi yang harganya ketika itu terbang hingga Rp. 100.000 per kilogram (kg). "Saat harga jual naik namun tetap terserap pasar, akan tercipta harga baru," tutur Yehuda. Di situ terjadi ekuilibrium (keseimbangan pasar) harga. Itulah titik pertemuan antara penawaran dengan permintaan.

Meski terlihat aneh, satu hal yang membuatnya wajar adalah adanya tuntutan konsumen terhadap kebutuhan tersebut, hingga kenaikan harga dipandang sebagai hal yang wajar. Selanjutnya, opini wajar ini pula yang menciptakan zona nyaman pada harga baru tersebut, alias tidak akan pernah turun.

Anda mungkin akan bertanya bagaimana bisa konsumen memandang hal itu sebagai sebuah kewajaran? Keterampilan hedging Jawabannya cukup bervariasi. Pertama, kini muncul banyak konsumen rasional, yang memahami benar posisinya sebagai price taker. Sehingga saat dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi, secara otomatis, ia akan berupaya meningkatkan pendapatannya. Memang secara matematis, bisa jadi ia tidak mengalami peningkatan kekayaan. Namun, dari kacamata ekonomi, kebutuhan hidupnya terpenuhi hingga ia masih layak disebut sejahtera.

Kedua, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dewasa ini dukungan teknologi informasi telah membawa konsumen ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Baik dalam kategori rumah tangga maupun industri, konsumen telah mampu berinovasi untuk senantiasa menciptakan efisiensi.

Mereka tidak lagi memandang ekonomi biaya tinggi sebagai suatu kendala, melainkan melihatnya sebagai peluang untuk berinovasi. Tengoklah kini bagaimana kalangan rumahtangga domestik menyiapkan anggaran belanja yang sangat terencana. Mereka tidak lagi berbelanja secara spontan karena pola ini akan mengarahkannya ke pengeluaran ekstra.

"Browsing dulu sebelum berbelanja" kini menjadi moto di kalangan mereka yang berusia produktif. Setelah puas membanding-bandingkan produk antar merek, baru proses konsumsi dilakukan. Lewat cara ini, jutaan rumahtangga mampu meningkatkan kesejahteraannya di kala perekonomian domestik sedang kurang mendukung.

Di sisi perusahaan, penggunaan flexible budget juga semakin marak. Perusahaan-perusahaan di Tanah Air tidak lagi menggunakan model yang konservatif saat melakukan penganggaran. Mereka telah memahami nilai relativitas dari setiap asumsi yang digunakan. Penggunaan sistem ini secara tidak langsung telah mendekatkan manajemen, pada mengendalikan anggaran yang lebih efektif. Jadi, perusahaan akan mampu menjalankan prinsip-prinsip kepatuhan, seperti corporate governance dengan lebih baik.

Kenyataan lain yang tercipta dari perluasan pengetahuan konsumen adalah praktik hedging. Melemahnya nilai tukar mata uang kita hingga menembus Rp 12.000 per US$ merupakan pelajaran terbaik. Meski sempat memicu shock, kalangan industri dan rumahtangga kini mahir memanfaatkan mekanisme lindung nilai (hedging).

Prinsip "tuntutan membayar dalam dollar harus dibarengi dengan pemasukan dalam valuta yang sama", setidaknya, menjadi malaikat penyelamat bagi perekonomian domestik. Besar harapan ke depan akan bangkitnya pasar bagi produk-produk instrumen untuk keperluan hedging di Tanah Air.

Tak cuma itu, maraknya wacana hedging ternyata berhasil membuka mata para pebisnis kecil dan menengah di tanah air tentang luasnya peluang ekspor pasca perdagangan bebas. Melalui pemanfaatan media sosial dan internet, kini pebisnis muda Indonesia khususnya di industri kreatif mulai merambah negara-negara tetangga.

Saat pasar lokal lesu, tetap ada pasar di luar negeri yang bersemangat untuk berbelanja. Di situlah peluang tercipta. Kendati tidak mudah, namun kemampuan untuk menciptakan produk yang memiliki kualitas ekspor merupakan modal awal yang kuat untuk menjaring dollar masuk di masa depan.

Alhasil, saat industri lain lesu akibat hantaman kurs, industri kreatif yang mengusung nilai unik sebagai sebuah faktor pembeda, mampu menikmati keuntungan dari melemahnya Rupiah. "Apalagi jika semua faktor produksinya terbebas dari produk impor, maka penerimaan dollar yang diikuti dengan pengeluaran dalam rupiah akan mengarahkan bisnis pada keuntungan besar," demikian kesimpulan Yehuda.

Di situasi semacam itu, pebisnis akan terbebas dari jebakan ekonomi biaya tinggi. Tertarik untuk mengetahui kisah selanjutnya? Ikuti terus artikel Diary PPM.



TERBARU

×