kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Akuisisi dan nilai perusahaan

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 14 April 2014 / 08:00 WIB
Akuisisi dan nilai perusahaan

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

MARAKNYA pemberitaan tentang aksi penolakan karyawan Bank Tabungan Negara (BTN) terhadap rencana akuisisi yang digulirkan pemerintah, beberapa waktu terakhir, cukup menyita perhatian Pebisnis Pengkolan Menteng. Yang menjadi perhatian mereka adalah betapa strategi keuangan berbentuk akuisisi, ternyata, menyimpan sejumlah kekhawatiran, terutama rencana downsizing perusahaan.

Alhasil, Alfad Mishal dan Mohammad Azlan yang merupakan dedengkot dari ORO, salah satu produsen mens apparel berbahan kulit, berniat memikirkan ulang rencananya. Semula, mereka ingin mengakuisisi usaha pesaing. "Apakah efek yang ditimbulkan ke karyawan dari bisnis yang diakuisisi malah menjadi pertimbangan yang lebih penting daripada keuntungan di atas kertas dari pembelian itu, Pak?", tanya Alfad.

Realitas yang terjadi di BTN, setidaknya, melengkapi deretan contoh aksi penolakan saat rencana penggabungan digulirkan. Sampai dengan akhir 2013, studi di lapangan menunjukkan bahwa hampir 80% masalah terbesar yang muncul dari rencana akuisisi adalah bagaimana menjaga stabilitas operasi dari aksi penolakan yang terjadi. "Apakah itu mampu membatalkan rencana, Pak?", tanya Azlan.

Jawaban dari pertanyaan itu sangat tergantung dari seberapa matang rencana dilakukan. Semakin matang rencananya, boleh dikatakan bahwa aksi penolakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keputusan yang sudah diambil.

"Lalu apa ada cara untuk membuat akuisisi berjalan lancar?", lanjut dia. Ketika akuisisi diposisikan pada konteks teori, tujuan utama strategi ini adalah terciptanya efisiensi, sehingga produktivitas meningkat. Umumnya, proses akuisisi terjadi karena adanya keinginan dari salah satu perusahaan untuk mendampingi perusahaan lain agar mengalami pertumbuhan secara signifikan, atau sebaliknya. Pemilik mayoritas perusahaan memandang perlunya manajemen diarahkan oleh pemilik baru yang lebih berkompeten.
Tak ayal, hitung-hitungan bisnis juga turut mewarnai transaksi tersebut. Ketika kondisi ekonomi sedang membaik, harga yang tercipta dari transaksi dimungkinkan lebih tinggi dari kondisi sebaliknya. Kini, tinggal bagaimana menjaga agar proses transisi peralihan kepemilikan tidak menimbulkan gejolak yang cukup signifikan.

Fenomena di lapangan sering mengaitkan akuisisi dengan efisiensi biaya, khususnya beban gaji. Banyak kalangan percaya bahwa langkah lanjutan pasca transaksi terjadi adalah downsizing atau perampingan organisasi.

Seleksi alam

Meski studi mengarahkan kita ke kesimpulan itu, namun beberapa penelitian malah menunjukkan perubahan kinerja yang cukup signifikan.

Kunci pokok terletak pada treatment terhadap segenap anggota organisasi, khususnya untuk mengajak mereka yang "terseleksi" meningkatkan produktivitas kinerjanya. Beberapa alternatif yang sering dikelompokkan ke dalam cara yang "halus" seperti: pertama, memberikan izin kepada karyawan untuk mengambil jatah cuti di luar tanggungan selama periode jangka pendek (dalam hitungan bulan). Pola ini mampu menciptakan penghematan biaya gaji (mengingat cuti di luar tanggungan tidak mewajibkan manajemen untuk membayar gaji karyawan).

Pada sejumlah kasus, pola ini malah dianggap adil. Sebab selama masa cuti itu, manajemen perusahaan seakan-akan mengizinkan karyawannya untuk mencari alternatif tempat berkarier yang lain.

"Tapi bukannya itu ujung-ujungnya lay off, Pak? Jika demikian, kasihan, dong, karyawan yang lama," ucap Alfad. Pernyataan itu ada benarnya. Jika nurani mengarahkan kita demikian, coba mencermati alternatif kedua, yaitu memotong gaji eksekutif dan karyawan dalam persentase tertentu.

Sejumlah perusahaan besar seperti Hewlett Packard mampu bertahan melewati masa-masa sulit dengan prinsip ini. Para chief executive officer (CEO) dan level manajerial bawah rela memotong sekian persen dari gaji yang diperoleh untuk menyuntikkan permodalan perusahaan selama beberapa periode tertentu (biasanya, jangka pendek). Momen itu biasanya juga diikuti dengan upaya pembaruan strategi penguasaan pasar.

Alhasil, komitmen untuk mempertahankan perusahaan dengan anggota yang sudah ada mampu menciptakan sebuah daya juang untuk disinergikan dengan pemilik baru. Di situ pengurangan tenaga kerja secara massal dapat ditekan. Setelah pulih, barulah semua berjalan seperti adanya.

"Namun bagaimana kita bisa memandang akuisisi sebagai strategi untuk membuat kehidupan kedua belah pihak jauh lebih baik?," imbuh dia. Cara yang ideal terletak pada efektivitas komunikasi yang dibangun.

Pemilik lama harus benar-benar menyiapkan secara matang rencana pelepasan haknya ke pemilik baru. Di situlah, pemilik baru dapat mengungkapkan setiap komitmennya kepada seluruh anggota perusahaan tentang rencana strategi pengembangan setelah akuisisi terjadi.

Harapan yang muncul dari pola tersebut, kedua belah pihak secara adil menunjukkan target-target baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi pribadi setiap karyawan. Sadar atau tidak, mekanisme tersebut akan berfungsi sebagai alat seleksi otomatis, atau yang dikenal dengan istilah seleksi alam. Mereka yang tidak puas atau kurang setuju dengan rencana yang ada, secara langsung, mundur dari perusahaan.
Alhasil, tersisalah mereka yang siap untuk membangun perusahaan bersama pemilik baru. Inilah yang saya sebut sebagai new energy injection, cikal bakal keberhasilan organisasi di masa depan. Tak jarang, bahkan, anggota perusahaan mau membaharui komitmen kinerja terhadap organisasi. Jadi, di satu sisi potensi arus kas masuk meningkat, di sisi lain peningkatan efisiensi berarti penurunan biaya. Jadi, nilai perusahaan meningkat.

Kini, tampak jelas bahwa akuisisi memberikan dampak positif ke peningkatan nilai perusahaan. Ujung-ujungnya, ada pada kesejahteraan stakeholder secara keseluruhan.



TERBARU

×