kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Membangun opini positif

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 19 Mei 2014 / 08:00 WIB
Membangun opini positif

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

PRODUK-PRODUK otomotif roda empat yang merupakan hasil kebijakan low cost green car (LCGC) kini kembali dirundung masalah. Belum tuntas soal tagihan efisiensi bahan bakar minyak, produk LCGC kini ditengarai malah menyedot bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Tak hanya itu masalah yang menghadang. Hasil survei menunjukkan terjadinya pergeseran minat masyarakat, dari yang semula menggunakan kendaraan roda dua, untuk beralih ke mobil LCGC yang harganya relatif terjangkau dibandingkan dengan mobil jenis lain.

Kenaikan jumlah pengguna mobil yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan infrastruktur jalan raya, niscaya, akan memunculkan kemacetan di mana-mana. Dalam penelusuran lebih lanjut, ternyata nilai angsuran bulanan yang rendah serta uang muka yang relatif kecil menjadi biang kondisi di atas.
Bayangkan saja, kini angsuran kredit untuk mobil murah jenis standar hanya berbeda sekitar Rp 800.000 sampai Rp 1.000.000 dari cicilan kredit untuk kendaraan roda dua. Dengan peningkatan daya beli masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 9% per tahun, niscaya peralihan moda kendaraan akan terjadi.

Fakta bahwa masih banyak orang di sini yang memandang memiliki mobil bak "naik kelas" dalam strata ekonomi makin memperkuat prediksi tentang pertumbuhan penjualan mobil LCGC. Tak ada yang salah sebenarnya dengan hal itu. Sebab, di satu sisi kenaikan angka penjualan mobil menunjukkan gairah pertumbuhan ekonomi di skala nasional. Namun satu hal yang cukup disayangkan, hingga kini manfaat dari kebijakan mobil LCGC yang belum seimbang dengan besarnya permasalahan yang muncul.

"Bagaimana sebaiknya kita mencermati kondisi tersebut?" tanya seorang anggota Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM). Kunci dari jawaban untuk pertanyaan di atas terletak pada aktivitas komunikasi pemasaran.

Sebagai bahan refleksi, saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati awal dari kebijakan produk LCGC. Di berbagai tempat, mobil LCGC dipamerkan, seperti di pusat perbelanjaan, para staf penjualan pabrikan mobil kemungkinan besar akan mempersilakan calon konsumennya untuk mencoba, dengan kalimat, "Silakan, Pak, mobil murahnya". Ini berarti, yang dikedepankan oleh staf pemasaran pabrikan mobil adalah harga yang rendah. Padahal, harga yang murah bukanlah pesan utama yang diusung oleh mobil LCGC. Masih ada tagline "ramah lingkungan" yang lebih layak untuk diusung.

Anda tentu masih ingat dengan ide dasar yang memunculkan mobil jenis ini. Konsep low cost green car diinisiasi untuk mempercepat kegairahan industri otomotif nasional. Di tengah-tengah maraknya mobil tipe built up, pabrikan di dalam negeri dihadapkan pada perlunya sebuah produk yang memiliki daya saing yang bisa membawanya ke kancah internasional. Nah seiring dengan hal itu, banyak produsen yang memandang bahwa tren ke depan, terutama di era perdagangan bebas, adalah masyarakat akan memilih kendaraan roda empat yang ramah lingkungan.

Tak hanya itu, mengingat bahwa teknologi ini secara massal telah dipelajari oleh begitu banyak produsen, maka harga yang kompetitif merupakan sasaran utama. Salah satu bentuknya adalah memperbesar alokasi komponen lokal. Mengubah pesan Sampai di situ, kebijakan mobil LCGC seakan-akan membuka peluang bagi penyerapan tenaga kerja serta pengembangan industri komponen di dalam negeri.

Untuk membayangkan impian ini, kita dapat mengintip kinerja industri lokal di China. Begitu era Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai dijalankan awal tahun depan, perkembangan industri otomotif domestik berbasis LCGC merupakan salah satu tumpuan harapan bangsa.

Dengan menggunakan teknologi mesin yang ramah lingkungan, atau tidak terlalu boros dalam pemanfaatan energi, serta harga yang kompetitif, mobil LCGC seharusnya bisa menjadi primadona di pasar ASEAN. Dengan demikian cita-cita untuk memiliki mobil nasional dapat terwujud.

Opini itulah yang hendaknya diusung oleh setiap pemasar mobil LCGC. Sebab, dengan pemahaman tersebut, calon konsumen seakan-akan dididik untuk membeli mobil murah secara rasional. Di satu sisi, ia paham benar konsekuensi memiliki mobil tipe tersebut, seperti misalnya kewajiban menggunakan bahan bakar non-subsidi. Dengan demikian, cara pandang konsumen sudah dapat dipetakan sejak awal.

Di sisi lain, konsumen diajak untuk beralih dari kendaraan yang kurang ramah lingkungan ke mobil yang yang lebih ramah lingkungan. Peralihan tren ini tentu akan membantu menghemat penggunaan BBM. Tak hanya itu, penggunaan mobil jenis LCGC juga terhadap mampu berkontribusi pada pelestarian lingkungan sekitar.

Intinya, terletak pada pemahaman bahwa komunikasi pemasaran harus menjangkau nilai-nilai jangka panjang dari stakeholder, dan bukan semata-mata mengejar omzet ataupun profitabilitas dalam jangka pendek. "Lalu bagaimana jika opini itu yang kini dipa-hami oleh pasar?" tanya seorang anggota PPM yang lain.

Solusi jangka pendek yang dapat menjadi alternatif adalah mengubah cara pandang para pemasar, untuk selanjutnya, secara bertahap mengubah setiap pesan yang mereka angkat ketika melakukan penawaran mobil LCGC. Pastikan isu yang diangkat bukan lagi mengarah ke peningkatan konsumerisme pelanggan, melainkan pada kepentingan bersama demi kualitas hidup yang lebih baik.

Artinya, apabila isu lingkungan hidup serta penghematan BBM diyakini sebagai tujuan utama menggunakan mobil LCGC, maka pastikan produk kita akan memberi kontribusi positif terhadap pencapaian misi tersebut. Bila perubahan ini dapat dilakukan, niscaya positioning produk LCGC akan mampu mendampingi bangsa kita dalam menggapai cita-cita di era perdagangan bebas.



TERBARU

×