kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Racikan Jitu Bisnis Kreatif

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 07 Juli 2014 / 08:00 WIB
Racikan Jitu Bisnis Kreatif

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

APA yang harus dikerjakan terlebih dulu: memikirkan masak-masak tentang kinerja produk yang akan dihasilkan atau menentukan target pasarnya? Itulah pertanyaan yang umum diungkapkan rekan-rekan pebisnis muda yang baru mengawali debutnya dalam industri kuliner.

Diskusi tersebut bak menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dahulu ada: telur atau ayam? Dalam pola pemikiran tertentu, ayam yang lebih dulu ada. Namun atas pertanyaan dari mana ayam pertama berasal, telur-lah yang diyakini sebagai jawaban yang sahih.

Hal senada juga kita dapati saat berbicara mana yang lebih dulu ada: produksi atau pemasaran, khususnya dalam sektor kreatif. Banyak orang memandang bahwa kekuatan sektor kreatif terletak pada orisinalitas dan keunikan ide produk yang diusung. Semakin orisinal ide yang tampak secara eksplisit, semakin besar peluang produk terjual pada harga yang tinggi.

Demikian pula sebaliknya, semakin "umum" harga suatu ide, harga jual produk tidak akan setinggi yang diperkirakan. Nah, jika demikian lalu bagaimana rumusan yang tepat untuk mengawali bisnis ini? Kunci dasarnya hanya satu, yaitu bagaimana pelaku bisnis menciptakan ide inovatif yang tak hanya kreatif dan unik, namun juga memiliki "nilai jual". Jangan lupa memastikan ide itu dapat dipahami pasar dengan mudah.

Saya teringat kisah seorang kolega yang berprofesi sebagai pelukis. Pada kapasitasnya sebagai seniman, ia memiliki idealisme yang sangat tinggi. Ungkapan "Saya hanya akan menciptakan karya seni bernilai tinggi" mungkin dapat mudah dipahami oleh sesama pelukis. Namun apakah kita paham bahwa definisi "karya seni bernilai tinggi" akan sangat berbeda antara paradigma seorang seniman dengan para pemerhati seni atau mereka yang berpotensi menjadi konsumen atas karya itu.

Tak jarang di situ terjadi benturan antara idealisme dan nilai-nilai ekonomi. Karenanya, ketika sang maestro bertanya "Mengapa lukisan yang sangat indah ini tidak dapat terjual dengan mudah?", maka jawabannya ada pada apakah keindahan itu mempunyai nilai pasar yang sesuai dengan harapan sang pelukis. Alhasil, kemampuan seniman belum cukup jika hanya mumpuni di bidang seninya saja.

Kekuatan membaca arah kebutuhan pasar tetap diperlukan agar terjadi penjualan. Pada kesempatan lain, saya mencoba mencermati fenomena banyaknya usaha batik tulis di Yogyakarta yang gulung tikar. Dalam sebuah diskusi dengan seorang pengusaha batik tulis, terungkap fakta bahwa batik-batik itu kini tak mampu bersaing dengan batik cetakan atau batik print serta produk impor dari China.

Rendahnya harga batik print disebut-sebut sebagai penyebab perpindahan kebutuhan pasar dari batik tulis. "Karena biaya produksi yang tinggi, harga jual mahal tak terhindarkan lagi," ujar seorang perajin batik di daerah Notoprajan. Kondisi itu membuat batik tulis menjadi produk premium, tak cuma di Jawa Tengah, tapi juga di tempat-tempat lain.

Bagaimana kita mencermati realitas tersebut? Sama seperti refleksi sebelumnya, kuncinya ada pada kemampuan pengusaha untuk mengomunikasikan produknya ke pasar dengan bahasa yang sederhana. Artinya, jika pasar belum memahami tingginya sebuah karya seni, bisa jadi pebisnis harus mampu memberikan edukasi khusus kepada pasar.

Untuk itu, kerjasama antara pengusaha dengan komunitas pencinta sebuah karya seni menjadi hal yang cukup krusial. Melalui sinergi itulah, sebuah karya seni secara perlahan-lahan akan mampu menempati posisi sesuai harapan.

Meski terkesan sederhana, upaya tersebut tidaklah mudah. Tak jarang, bahkan, para pebisnis berhadapan dengan segmen pasar yang memiliki bahasa berbeda.

Coba tengok fenomena batik tulis saat ini. Di pasar anak-anak muda yang cenderung sensitif terhadap harga, memperkenalkan batik tulis tidak bisa dilakukan hanya dengan mengajarkan filosofis dasar dari sebuah motif. Langkah itu diyakini belum mampu menciptakan minat pasar untuk membeli.

Hallo effect

Studi di lapangan menunjukkan pemasaran di kelas tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan pebisnis dalam menggelitik sisi psikologis konsumen, misalnya dengan menyentuh rasa nasionalisme generasi muda. Artinya, pola edukasi dilakukan dengan mengangkat tema "mengenakan batik tulis demi legitimasi harga diri bangsa".

Bisa jadi maraknya klaim dari negara tetangga terhadap karya seni warisan leluhur negeri ini akan memunculkan banyak komunitas anak muda pencinta batik asli Indonesia. Nah, dengan jumlah penduduk muda yang berlimpah, pola tersebut secara tidak langsung akan menciptakan duta-duta produk sektor kreatif masa depan.

Tak hanya itu, dengan kebiasaan hidup mereka yang berbasis internet serta media sosial, besar kemungkinan halo effect yang tercipta, bergaung tidak hanya di skala nasional, tapi juga tingkat internasional. Dengan demikian, semakin besar pula potensi keuntungannya.

Lalu bagaimana dengan tuntutan biaya ekonomi yang tinggi? Di sini pebisnis harus berani melakukan subsidi silang antara produk-produk yang dijual di pasar domestik dengan pasar global. Untuk produk domestik, terkadang kita harus berani menetapkan harga yang sedikit lebih rendah daripada produk yang berorientasi ke pasar ekspor.

Selanjutnya, kejelian pebisnis dalam mengonversi pendapatannya dalam valuta asing ke rupiah akan menentukan profitabilitas dalam jangka menengah. Seperti misalnya mengonversi penghasilan dalam US$ ketika rupiah sedang melemah, dan menyimpannya tetap dalam dominasi US$, ketika rupiah diprediksi menguat.

Di sini semakin terlihat jelas bahwa kekuatan pebisnis dalam mengelola usaha akan menentukan tingginya harga karya seni yang dihasilkan. Jika kemampuan ini sudah dimiliki, inilah saatnya mengoperasikan bisnis kreatif.



TERBARU

×