kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / diaryppm

Plus Minus Bisnis Bermodal Utang

oleh Aries Heru Prasetyo - Ketua Program Sarjana PPM School Of Management


Senin, 21 Juli 2014 / 08:00 WIB
Plus Minus Bisnis Bermodal Utang

Reporter: Aries Heru Prasetyo | Editor: cipta.wahyana

SALAH satu pertanyaan yang lazim terungkap di sela-sela pelatihan manajemen bisnis adalah: "Apakah kita boleh menggunakan modal utang sebagai suntikan awal bisnis?" Pertanyaan itu muncul ketika investasi dipandang sebagai hal nomor satu saat mengimplementasikan ide bisnis.

Sebagai contoh, seorang pebisnis ingin mengawali usaha di bidang perhotelan. Pada fase perencanaan awal, ia telah memiliki sebidang tanah yang luasnya 3.000 meter persegi (m2). Di atas lahan itulah, hotel akan didirikan.

Nah, ketika kita menggunakan paradigma investasi sebagai pemicu keputusan keuangan, hampir dapat dipastikan bahwa identifikasi total kebutuhan danalah yang menjadi langkah selanjutnya. Pada langkah ini, para mentor bisnis sering mengajak kita untuk memasukkan setiap alokasi biaya demi kelancaran bisnis.

Tak jarang, bahkan, besaran dana yang dialokasikan itu jauh di atas dana yang tersedia saat ini. Alhasil, selisih kebutuhan dana itu yang akan ditutup dengan utang.

Menggunakan utang sebagai salah satu sumber dana pada fase awal bisnis sebenarnya bukan hal yang tabu untuk beberapa alasan. Pertama, terkait dengan prinsip bahwa keterbatasan modal jangan sampai mengerdilkan ide besar dari sebuah bisnis.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kini terdapat dua tipe pebisnis: mereka yang memandang modal sebagai sebuah keterbatasan; dan mereka yang memandang tuntutan kebutuhan modal sebagai sebuah pemicu keberanian dalam menjalankan usaha.

Bagi kebanyakan pebisnis tipe pertama, apa yang akan dilakukan adalah menyesuaikan kapasitas operasi bisnisnya dengan modal yang dimiliki sekarang. Jika ide besar yang ingin diciptakan adalah hotel bintang dua, bisa jadi pada fase awal ia akan mendirikan sebuah losmen terlebih dahulu. Selang beberapa tahun kemudian, setelah modal yang nilainya jauh lebih besar diperoleh, baru si pebisnis berani merealisasikan ide awalnya.

Memang, tidak ada yang salah dengan pola tersebut. Selama pebisnis memandang itu sebagai hal yang wajar, maka membangun bisnis melalui skema leveling dapat dinilai sebagai langkah yang tepat.

Namun hal tersebut tidak berlaku bagi tipe pebisnis kedua. Jika hotel bintang dua yang menjadi ide besarnya, maka cara pandang bahwa keterbatasan modal merupakan pemicu kesuksesan akan diterjemahkan dalam beberapa tahapan strategi operasi.

Pada fase pembangunan, pebisnis akan menyiapkan segala sesuatu untuk membangun sebuah hotel berbintang dua, mulai dari tuntutan bisnis hingga faktor legal usaha jasa perhotelan. Lalu bagaimana jika dalam kondisi tersebut mereka masih kekurangan dana? Jawabannya adalah dengan memanfaatkan fasilitas utang yang memiliki jaminan aset berupa surat tanah.

Cambuk perusahaan

Sadar atau tidak, pola tersebut kini telah dipandang sebagai langkah taktis dalam meluluskan ide besar sang pebisnis. Menggunakan utang sebagai sumber dana secara finansial memang memberikan sejumlah keuntungan. Satu di antaranya adalah pengurangan biaya yang wajib dibayar dalam bentuk pajak. Beban bunga yang timbul akibat konsekuensi penggunaan utang dalam perhitungan laba rugi merupakan komponen pengurang pendapatan bersih. Ketika perusahaan memilih untuk tidak menggunakan utang, hampir dapat dipastikan bahwa angka pengurang beban pajak ini akan hilang.

Meski terkesan sangat ideal namun menggunakan utang pada fase awal bisnis tidak berarti tanpa tantangan. Keterbatasan histori kinerja perusahaan sering menjadi alasan institusi pembiayaan menolak proposal permohonan kredit yang diajukan si pebisnis.

Realitas ini cukup beralasan. Bagi lembaga pendanaan, membiayai investasi yang secara eksplisit belum menunjukkan kinerja nyata sangatlah berisiko. Semakin tinggi risiko yang ditanggung, lembaga pendanaan akan membebankan bunga yang cukup tinggi untuk pinjaman. Di situlah terjadi kesetaraan antara besaran risiko yang ditanggung dengan bunga yang diterima.

Tantangan berikutnya adalah adanya kewajiban bagi perusahaan untuk membayar angsuran utang, yang terdiri atas pokok utang plus bunga, di setiap periode. Fakta lain yang sering ditemui di lapangan adalah ketika kas, yang bersumber dari utang, masih digunakan untuk membiayai kegiatan produksi, tagihan pembayaran angsuran utang telah tiba. Dalam beberapa kasus, situasi semacam itu akan menyudutkan pebisnis ke jurang kesulitan likuiditas akibat ia tidak mampu melunasi setiap tagihan yang ada. Bila dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin bisnis itu akan gulung tikar di usianya yang masih muda.

Karena itu, jika memang utang diposisikan sebagai satu-satunya sumber dana maka pebisnis harus benar-benar memaknainya sebagai sebuah kewajiban, atau bahkan, amanah. Melalui cara pandang tersebut, penggunaan utang akan dinilai sebagai "cambuk" bagi perusahaan untuk meningkatkan kemampulabaan serta likuiditasnya. Ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat kemampuan perusahaan membayar angsuran, namun juga sebagai penyemangat agar manajemen memperoleh selisih yang positif dari penggunaan utang.
Bagi pemilik, semangat tersebut muncul sebab utang sama sekali tidak menimbulkan konsekuensi perubahan komposisi kepemilikan. Sehingga di satu sisi, kebutuhan dana tercukupi, di sisi lain kepemilikan tetap berada di tangan si pemilik. Dengan kata lain, kegiatan operasional perusahaan dapat terjamin berkat stabilitas pasokan modal, sedangkan di sisi lain utang memberikan "ketenangan" kepada pemilik usaha.

Akhirnya, dari paparan tersebut terlihat bahwa peluang usaha untuk memanfaatkan dana dalam bentuk utang masih terbuka luas. Kini tinggal bagaimana kemampuan manajemen untuk menjalankan amanah dari para pemodal. Semakin tinggi komitmen yang ditunjukkan, semakin besar peluang perusahaan untuk bertumbuh secara lebih cepat dari pemain lain.



TERBARU

×