kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Belajar dari Philip Fisher

oleh Lukas Setia Atmaja - Center for Finance & Investment Research PMBS


Selasa, 19 Agustus 2014 / 11:16 WIB
Belajar dari Philip Fisher

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: cipta.wahyana

TAHUN 1969, Warren Buffett pernah berkata, “I am 15% Philip Fisher and 85% Benjamin Graham.” Philip Fisher adalah seorang investor saham yang mengarang buku best seller Common Stocks and Uncommon Profits. Buku yang menjadi “kitab suci” para investor saham sejak 1958.

Karir Fisher di pasar modal dimulai pada 1928 ketika ia drop out dari Stanford Graduate School of Business. Ia bekerja sebagai analis saham di San Francisco, sebelum membuka perusahaan pengelolaan dana terkenal, Fisher & Co, pada 1931. Ia mengelola Fisher & Co hingga pensiun pada usia 91 di tahun 1999.

Fisher mempraktikkan strategi investasi jangka panjang dengan membeli perusahaan bagus pada harga yang wajar. Jauh sebelum ada Silicon Valley, Fisher sudah fokus pada pencarian perusahaan inovatif yang didorong oleh R&D. Salah satu investasinya yang terkenal adalah saat membeli saham Motorola pada 1955, yang saat itu memproduksi radio. Ia memegang saham ini hingga meninggal.

Perbedaan gaya investasi Philip Fisher dan Benjamin Graham amat nyata. Graham lebih menekankan analisis kuantitatif, fokus pada faktor yang terukur, seperti aset, laba bersih, dan dividen. Riset dilakukan terbatas pada laporan tahunan perusahaan dan aksi korporasi. Dia jarang mewawancara manajemen, pelanggan, dan pesaing perusahaan.

Pendekatan Fisher adalah antitesis pendekatan Graham. Fisher lebih banyak memakai analisis kualitatif, menekankan faktor prospek perusahaan dan kapabilitas manajemen. Dia suka interview mendalam terhadap pemangku kepentingan perusahaan yang diincar, berusaha mencari informasi yang bisa meningkatkan proses seleksi sahamnya.

Jika Graham dikenal sebagai investor strategi atau gaya investasi “Value Investing”, maka Fisher adalah penemu “Growth Investing.” Berbeda dari strategi value investing yang mencari saham bagus yang murah, growth investing berusaha menemukan saham yang berpotensi tumbuh tinggi. Saham pertumbuhan (growth stock) didefinisikan perusahaan yang laba bersihnya tumbuh di atas rata-rata dibandingkan industrinya atau bahkan seluruh saham di bursa.

Meski pendekatannya berbeda, Warren Buffett belajar dari keduanya. Dia menganggap kedua pendekatan itu adalah paralel dalam dunia investasi. Pendekatan investasi Buffett menggabungkan keduanya. Dia belajar pemahaman kualitatif tentang bisnis dan manajemen perusahaan dari Fisher dan pemahaman kuantitatif mengenai harga dan nilai saham dari Graham. Jika awalnya Buffet lebih condong ke pendekatan Graham, perlahan ia bergeser ke pendekatan Fisher.

Dari buku best seller-nya, Fisher mengajarkan beberapa panduan kualitatif yang terkenal sebagai "Fifteen Points to Look for in a Common Stock." Menurut Fisher, sebuah perusahaan harus memenuhi 15 kriteria untuk dianggap sebagai investasi bagus.

Misalnya, apakah perusahaan punya produk atau jasa dengan potensi pasar cukup besar untuk mencetak kenaikan penjualan dalam beberapa tahun? Misalnya, Samsung sebelum mulai merajai pasar smartphone.

Kemudian, apakah manajemen punya determinasi untuk terus mengembangkan produk dan proses yang terus mendorong lonjakan penjualan? Apakah Samsung bisa terus bertumbuh? Ataukah nasibnya akan seperti BlackBerry yang kehabisan tenaga untuk bertumbuh?

Seberapa efektif dan efisien upaya R&D perusahaan? Seberapa hebat tim penjualan dan marketing perusahaan? Ingat, hanya sedikit produk yang bisa menjual dirinya sendiri.

Apakah perusahaan memiliki profit margin bagus? Tingkat profitabilitas penting karena pertumbuhan penjualan harus diikuti pertumbuhan laba. Apa strategi perusahaan untuk menjaga dan mengerek profit margin? Ingat, inflasi akan menekan biaya dan kompetitor akan menggerus profitabilitas.

Apakah perusahaan memiliki hubungan industrial baik? Logikanya, suasana kerja harmonis dan karyawan yang bahagia biasanya lebih produktif. Apakah eksekutif perusahaan kompak dan solid? Tak hanya karyawan yang harus harmonis dan kompak, mereka yang di ruang direksi juga demikian.

Seberapa bagus pengawasan akuntansi dan analisis biaya? Apakah perusahaan memiliki wawasan jangka panjang dalam mencetak laba? Hindari perusahaan yang hanya fokus pada peningkatan laba kuartalan dan mengabaikan pertumbuhan laba jangka panjang.

Apakah perusahaan memiliki kas dan kapasitas berutang cukup besar untuk mendanai pertumbuhan? Apakah manajemen cukup transparan, terutama saat menghadapi masa sulit? Terakhir, apakah manajemen memiliki integritas tinggi?

Dalam memilih saham, pertanyaan-pertanyaan kualitatif tersebut sama pentingnya dengan informasi kuantitatif di laporan keuangan. Selamat mempraktikkan ilmu dari Uncle Fisher.



TERBARU

×