kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Kontroversi Teori Kapital Piketty

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Selasa, 26 Agustus 2014 / 12:01 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta.wahyana

KESUKSESAN sebuah buku dapat dilihat dari kontroversi yang ditimbulkannya. Setidaknya hal itu berlaku untuk buku "Capital in the Twenty-First Century" karya ekonom Prancis, Thomas Piketty.

Buku itu menuai reaksi. Sebagian berpendapat bahwa Piketty menggembar–gemborkan perubahan paradigma dalam ilmu ekonomi. Sementara, surat kabar ternama Financial Times (FT) telah mengkampanyekan buku setebal 685 halaman ini secara virtual beserta penulisnya. FT mengungkap kesalahan beberapa gambar yang mengilustrasikan grafik utama buku, sehingga menyebabkan keraguan terhadap validitasnya. Meskipun itu dibantah Piketty.

Buku ini mengulas tentang ketimpangan pendapatan pascaindustrialisasi. Piketty berpendapat, jika tingkat pengembalian modal lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan terus meningkat. Dia menulis: "...kapitalisme secara otomatis mengakibatkan kesenjangan sewenang-wenang dan tidak berkelanjutan yang secara radikal merusak nilai-nilai meritokrasi sebagai dasar dari masyarakat demokratis."

Luas dan skala data ekonomi yang disajikan oleh Piketty dalam buku ini sangat mengesankan. Dia membandingkan tren ketidaksetaraan antarnegara dari tahun 1910 sampai abad ke-21. Contohnya, desil teratas pendapatan nasional Amerika anjlok hingga kurang dari 35% pada 1950-an, kemudian melonjak hingga di atas 45% pada pertengahan 2000-an.

Sementara itu, desil teratas pendapatan Prancis lebih fluktuatif, kemudian mulai terlihat stabil pada posisi 33% pada tahun 1990-an dan setelahnya. Indeks ini mampu menerangkan kondisi ketimpangan secara lebih baik dibandingkan dengan koefisien Gini pada isolasi.

Piketty pun mendapat sebutan sebagai Marx baru, ia mengatakan bahwa konsep kapitalisme dengan segala kekurangannya masih tetap menjadi satu-satunya bentuk orientasi ekonomi yang layak. Tetapi seperti kutipan di atas, ia juga mengingatkan bahwa kapitalisme yang tak terkendali merupakan ancaman bagi demokrasi.

Tetap saja ada keterbatasan. Teori modal Milieu erat dengan ekonomi Barat, khususnya Perancis dan Amerika Serikat. Teorinya belum tentu relevan bagi ekonomi berkembang, di mana kesenjangan pendapatan umumnya terjadi lebih besar.

Tentu ada hal-hal yang dapat kita pelajari dari sana. Piketty menguatkan dugaan bahwa hanya orang kaya yang lebih kaya. Dia menulis, "... kesenjangan meningkat di fase awal industrialisasi karena hanya minoritas yang siap untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang dibawa oleh era industrialisasi."

Solusi Piketty mungkin menjadi bagian paling kontroversial buku ini, yakni melalui pemberlakuan pajak kekayaan global di seluruh pusat modal individual. Namun, Piketty mengakui konsepnya ini "... akan membutuhkan level kerjasama internasional yang sangat tinggi dengan integritas yang tidak diragukan".

Memang, solusi pajak kekayaan global memerlukan keterlibatan negara dalam pengumpulan pajak dan redistribusi pendapatan dalam bentuk prasarana publik. Ini jalan jika pendapatan dikelola dengan baik oleh pemerintah, sepanjang waktu.

Isu ketimpangan tentu menjadi perhatian utama di Indonesia. Memburuknya koefisien Gini dari 0,37 pada 2012 menjadi 0,41 pada 2013 menggambarkan kegagalan pemerintah dalam menangani masalah ini. Jika dibiarkan, kesenjangan kekayaan di Indonesia bisa memicu kebencian sosial. Masyarakat Indonesia juga seperti masyarakat di seluruh dunia, akan semakin cemas terhadap keamanan dan perlindungan di tengah ketidakpastian ekonomi.

Berikut kutipan dari Piketty yang layak direnungkan, "Ketimpangan tidak dihasilkan dari kekuatan alam atau pilihan individu, tetapi dari kurangnya intervensi pemerintah."

Indonesia jelas membutuhkan perbaikan besar dalam kebijakannya. Bisa dikatakan sejauh ini, pengeluaran pemerintah khususnya subsidi BBM, telah banyak bermanfaat bagi orang kaya ketimbang orang miskin.

Selain membasmi korupsi dan meningkatkan infrastruktur, bantuan sosial harus digunakan untuk membangun kapasitas masyarakat miskin dan yang rentan. Masyarakat miskin harus diberikan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, agar mereka mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan mobilitas sosial.

Pemerintah baru tidak boleh menutup mata terhadap masalah serius ini. Masih ada waktu, bagi Indonesia untuk mengambil tindakan, meskipun tinggal sedikit.



TERBARU

×