kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Antara hedger, spekulan, dan arbitrager

oleh Budi Frensidy - Pengamat pasar modal dan pasar uang


Senin, 27 Oktober 2014 / 08:00 WIB
Antara hedger, spekulan, dan arbitrager

Reporter: Budi Frensidy | Editor: cipta.wahyana

SAAT ini, dana pihak ketiga di perbankan nasional mencapai Rp 3.800 triliun. Sementara bulan lalu, nilai kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menembus Rp 5.200 triliun.

Jika 40% kapitalisasi saham milik investor domestik, dana masyarakat Indonesia di pasar saham mencapai Rp 2.000 triliun. Ditambah dana di pasar uang dan di pasar obligasi, dana orang Indonesia lebih dari Rp 6.000 triliun. Angka ini membanggakan karena tiga kali anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan lebih dari separuh produk domestik bruto Indonesia.

Terhadap semua pemilik dana di pasar keuangan, saya membagi dalam tiga kelompok, yaitu hedger, spekulan dan arbitrager. Yang menaruh dana di deposito dan tabungan disebut hedger karena tidak menghadapi risiko. Yang berinvestasi di obligasi rupiah pemerintah juga masuk hedger. Motivasi utama hedger adalah menjaga keutuhan modal. Di kelompok spekulan, ada yang bertujuan memperoleh keuntungan dari pergerakan harga di pasar. Seperti para pengusaha dan investor dalam aset riil. Mereka ini tak ada jaminan modal awal tetap utuh, karena selalu ada kemungkinan rugi atau unsur spekulasi dari investasi saham.

Kelompok spekulan di saham dapat dibagi dua, yaitu yang takut risiko dan mencintai risiko. Yang masuk spekulan takut risiko adalah investor saham bernyali seperti hedger, yaitu melakukan diversifikasi dengan mengoleksi belasan saham berkapitalisasi besar dan masuk LQ 45. Investor kelompok ini tidak menggunakan fasilitas margin atau short sell.

Risiko saham-saham LQ45 relatif lebih rendah dibanding saham perusahaan kecil dan dengan return hanya sekitar return pasar (IHSG). Investor reksadana saham masuk kelompok ini. Sedangkan investor reksadana campuran dan pendapatan tetap di antara hedger dan spekulan takut risiko.

Di sisi lain ada investor yang menyukai risiko. Mereka umumnya tidak diversifikasi, tapi menerapkan strategi fokus memaksimalkan keuntungan. Tak jarang mereka menggunakan fasilitas margin dan short sell.

Saham-saham pilihan acap bukan saham berkapitalisasi besar atau masuk LQ-45. Data empiris di bursa menunjukkan, saham emiten kecil mendominasi 10 top gainers dengan return ratusan persen setiap tahunnya. Hanya satu-dua saham berkapitalisasi besar di LQ-45 masuk daftar itu lima tahun terakhir.
Mereka percaya dan optimistis, kombinasi strategi fokus di saham lapis kedua dan ketiga dengan volatilitas tinggi di luar LQ-45, menggunakan fasilitas margin dan short sell memberi return paling optimal, jauh di atas return pasar.

Meski demikian, investor saham pengambil risiko tak mau dipanggil penjudi, karena mengaku sudah menghitung risiko investasi dengan cermat. Penjudi tak pernah mengkalkulasi risiko sehingga realisasi return hampir pasti negatif. Di jangka panjang, return investor saham jauh di atas inflasi.

Jika penjudi kemungkinan besar kalah, kelompok ini kemungkinan besar menang dan untung. Jadi, berdasarkan risk-return tradeoff, urutan investor adalah hedger, spekulan takut risiko, dan spekulan pencari risiko. Semakin kecil risiko dan return investasi, dekat ke hedger. Semakin tinggi risiko dan return, semakin pas dijuluki spekulan pecinta risiko.

Masih ada kelompok investor lain yang disebut arbitrager. Inilah investor canggih dan sangat lihai, mampu memperoleh return tinggi dengan risiko sangat rendah. Literatur investasi mendefinisikan arbitrager sebagai investor tanpa modal yang mampu menghasilkan profit tak berisiko atau investor yang mempunyai mesin uang.

Arbitrager beroperasi saat aset keuangan diperdagangkan pada harga berbeda di dua atau lebih pasar. Arbitrager mengambil keuntungan dari setiap kesenjangan harga (mispricing). Contoh dua money changer memasang harga beli-jual USD berbeda, misalkan Rp 12.100-Rp 12.150 dan Rp 12.200-Rp 12.250 pada saat sama. Dengan membeli semua dollar dari pedagang valuta asing pertama dan langsung menjual ke pedagang kedua, keuntungan Rp 50 per dollar masuk kantong investor tanpa ada risiko sama sekali.

Di pasar saham, jika ada saham yang diperdagangkan di dua bursa atau dual listing, seperti di BEI dan New York Stock Exchange (NYSE), harga saham di dua bursa itu tak berbeda signifikan. Misalnya, saham TLKM di BEI dapat dibeli Rp 2.800 dan di NYSE dijual Rp 2.900. Asumsi biaya transaksi beli dan jual 1%. Pada perbedaan harga (mispricing) sebesar ini, investor yang memiliki akses ke dua bursa itu akan membeli seluruh saham TLKM di BEI di harga Rp 2.800 dan langsung menjual di NYSE.

Aksi beli saham untuk dijual seketika ini terus berlangsung sampai perbedaan harga di dua pasar itu tak cukup besar lagi untuk menutupi biaya transaksi. Harga TLKM di BEI akan naik dan di NYSE akan turun.

Praktiknya, kesempatan arbitrase, baik di pasar uang maupun pasar modal, jarang terjadi. Kalaupun ada, hanya perlu satu orang arbitrager mengoreksi mispricing yang timbul. Dalam hitungan detik, tidak ada lagi kesempatan arbitrase.



TERBARU

×