kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Perilaku membebek di bursa

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetya Mulya Business School


Senin, 06 Februari 2012 / 00:00 WIB
Perilaku membebek di bursa

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Pernah melihat perilaku sekumpulan binatang seperti bebek, domba, burung dan ikan? Mereka bisa bergerak teratur bersamaan ke berbagai arah. Perilaku ini dinamakan herding. Asal katanya adalah herd (bahasa Inggris), yang berarti sekumpulan binatang atau manusia.

Adalah fakta hidup bahwa manusia juga cenderung melakukan herding. Kita cenderung melakukan sesuatu yang dilakukan kebanyakan orang. Misalnya, kita kena demam iPod, Facebook, virus BlackBerry dan PC Tablet.

Perilaku herding sering dianggap tidak rasional. Itu adalah kondisi psikologis, saat investor mengabaikan keyakinan pribadi mereka dan mengikuti keyakinan orang lain tanpa berpikir panjang (Devenow dan Welch, 1996).

Namun herding bisa pula dianggap rasional. Menurut Aswath Damodaran, pakar keuangan dari New York University, ada beberapa alasan mengapa manusia menyukai herding.

Pertama, naluri evolusi (evolution instinct). Manusia purba mempertahankan hidup dengan mengikuti apa yang dilakukan mayoritas. Bayangkan, seorang manusia purba yang bertemu sekelompok orang yang lari dari arah berlawanan. Tanpa pikir panjang ia segera balik arah dan mengikuti kelompok tersebut. Nalurinya mengatakan mereka sedang dikejar gajah purba.

Saat bursa sedang crash, investor berebutan menjuali sahamnya (panic selling). Saat bursa boom, investor berebutan membeli saham (panic buying).

Kedua, keamanan dalam jumlah (safety in numbers). Ketika kita membuat suatu kesalahan, lebih mudah mencari alasan, jika kebanyakan orang juga membuat kesalahan yang sama. Investor yang membeli saham BUMI pada harga tertinggi (Rp 8.550) pada Juni 2008 tidak tampak idiot. Mengapa? Ada ratusan ribu investor lain yang membeli saham serupa. Bahkan, para analis saham yang merekomendasi “beli” untuk saham Lehman Brothers pada 2007, hingga hari ini masih berprofesi sebagai analis saham. Mereka diselamatkan oleh hukum jumlah besar.

Ketiga, informasi. Bayangkan saat kita bingung harus memilih dokter bedah tanpa memiliki referensi sama sekali. Apa yang akan kita lakukan? Kita cenderung memilih dokter yang paling banyak pasiennya! Jika investor tidak punya cukup banyak informasi mengenai saham yang bagus di sebuah bursa, masuk akal jika ia membeli saham yang jadi pilihan mayoritas investor.

Keempat, ketiadaan keunggulan bersaing (absence of competitive edge). Mudah bagi kita untuk tampil beda jika kita mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Tanpa competitive edge, pengetahuan atau keterampilan yang superior, kita cenderung mengekor orang lain, yang dianggap lebih unggul.

Sebuah artikel di Wall Street Journal (14 Januari 2011) mengulas tentang perilaku herding di industri reksadana berisiko tinggi (hedge funds). Inti tulisan itu, manajer hedge funds cenderung membeli dan menjual saham yang sama, pada waktu yang sama dan saling mengintai strategi investasi di antara mereka. Korelasi imbal hasil antara hedge funds juga meningkat dari waktu ke waktu, menunjukkan bahwa manajer hedge funds makin bersemangat dalam hal copy dan paste strategi investasi.

Berbagai serpihan empiris menunjukkan perilaku herding di kalangan investor saham di berbagai negara termasuk di Indonesia. Bonsear-Near, dan kawan-kawan (2002), Bowe dan Domuta (2004) dan Agarwal, dan kawan-kawan (2011) menemukan bahwa investor di Bursa Efek Indonesia, baik domestik maupun asing, juga melakukan herding. Yang menarik, kebalikan dari dugaan umum, investor asing lebih sering berperilaku herding daripada investor lokal.

Perilaku herding dalam membeli dan menjual saham menciptakan harga saham “yang salah” (mispriced). Ini membuka kesempatan untuk menangguk untung dalam jangka pendek.

Apakah kita bisa mengambil keuntungan dari perilaku herding? Banyak restoran yang menjual ayam goreng, tetapi KFC adalah “jagonya ayam”. Kuncinya sederhana, kita harus lebih jago daripada investor atau trader saham lain. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Prinsipnya, kita memainkan momentum game, yakni mengambil keuntungan dari perilaku herding namun bisa keluar pada waktu yang tepat, yakni sebelum atau saat koreksi mulai terjadi.

Bahaya perilaku herding adalah munculnya gelembung harga, yang akan disertai koreksi harga yang ekstrem. Koreksi ini bisa menghanyutkan untung dari strategi momentum jika trader terlambat keluar. Istilahnya, “menang ceceng (Rp 1.000), kalah noceng (Rp 2.000).”

Ingat bahwa keberhasilan trading saham ditentukan tiga faktor. Masing-masing adalah memprediksi arah harga saham dalam jangka pendek, kedisiplinan dalam membeli dan menjual saham, serta pengendalian emosi. Dua faktor terakhir justru yang paling sulit dikuasai.

Maka, tidak mudah untuk cepat kaya dari perilaku membebek di bursa efek, karena kita harus  benar-benar menjadi “rajanya bebek”.                                



TERBARU

×