kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Antara salah dan jahat

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 26 Maret 2015 / 11:37 WIB
Antara salah dan jahat

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Perselisihan dua institusi penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI yang sudah berlangsung beberapa bulan, mulai membuat letih sebagian masyarakat. Keputusan tegas sang pemimpin yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan secara nyata, tampak masih jauh panggang dari api.

Tak pelak, dugaan kriminalisasi, terutama terhadap para pegiat anti-korupsi, menjalar luas di kalangan rakyat biasa. Kondisi ini, pada akhirnya membuat tokoh-tokoh masyarakat tak sanggup menanggung kegelisahan yang menghinggapi benak mereka masing-masing.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga anggota Tim-9 yang dibentuk Presiden Jokowi, Jimly Asshiddiqie, bahkan berujar: Untuk menegakkan keadilan, kita semestinya mencari orang yang jahat, bukannya orang yang berbuat salah.

Saat mengungkapkan hal ini, Jimly secara tak langsung menegaskan bahwa ada perbedaan yang jelas dan mendasar tentang kejahatan dan kesalahan.

Saat menyimak apa yang dikatakan Jimly, saya teringat dengan wacana 2F dalam konteks bisnis.

Di dalam suatu organisasi, ada 2F yang bisa dilakukan oleh karyawan. F yang pertama adalah fault (kesalahan), sementara yang kedua adalah fraud (kecurangan). Perusahaan yang sehat memberikan toleransi untuk kesalahan, sepanjang kesalahan itu mendatangkan pembelajaran. Lewat pembelajaran inilah, perbaikan dan kemajuan sebuah organisasi mulai digulirkan.

Namun, perusahaan yang menjunjung tinggi prinsip Good Corporate Governance (GCG) tidak akan memberikan tempat kepada praktik kecurangan. Mengapa? Karena fraud adalah pertanda adanya ketidakjujuran. Perusahaan yang idealistik hanya bisa dibangun di atas prinsip GCG, di mana karyawannya dituntut untuk bersikap dan berperilaku menurut nilai-nilai etis yang benar.

Perusahaan yang ingin bertumbuh secara sehat dan sustainable, pasti akan bersikap keras dengan urusan GCG. Bukankah ketentuan GCG juga salah satu prasyarat, bahkan prasyarat inti, untuk perusahaan-perusahaan yang ingin melantai di bursa efek sebagai perusahaan publik?

Sebaliknya, mengapa perusahaan cenderung lunak terhadap kesalahan? Bahkan ada perusahaan yang terkesan mendorong terciptanya satu atau beberapa kesalahan.

Sebuah perusahaan asing pernah memiliki program pembelajaran yang menarik, yang mendorong orang untuk belajar dari kesalahan. Program tersebut diberi nama IMF, namun bukan singkatan dari International Monetary Fund, melainkan adalah singkatan dari Its My Fault.

Dalam program IMF ini, seorang karyawan akan membagikan pengalaman kegagalan mereka, dengan tujuan mendatangkan insight pembelajaran bagi karyawan-karyawan lainnya. Paling tidak, karyawan lainnya akan terhindar dari lubang kesalahan yang sama, yang pernah dilakukan oleh rekan mereka sebelumnya.

Kita mungkin sedikit terhenyak dengan program pembelajaran seperti ini. Namun, pembelajaran yang efektif sesungguhnya memiliki dua dimensi, yakni belajar untuk meraih kesuksesan sekaligus belajar untuk menghindari kegagalan. Orang tak perlu diingatkan untuk belajar dari kesuksesan, namun butuh kerendahan hati yang luarbiasa untuk belajar dari kegagalan.


Nilai integritas

Kembali kepada apa yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie. Jadi, ada perbedaan mendasar antara kesalahan dan kejahatan.

Kesalahan terjadi karena ketidakmampuan seseorang menjalankan suatu fungsi (incapability), sementara kejahatan muncul karena ketidakjujuran seseorang menjalankan suatu peran (dishonesty). Jurang pembeda di antara keduanya terletak pada apa yang acapkali disebut sebagai integritas.

Dalam kajian budaya organisasi, setiap organisasi bisa memiliki nilai-nilai (values) yang berbeda dengan organisasi lain, tergantung dari hakekat, orientasi dan juga cita-cita organisasi tersebut. Ada yang menjunjung tinggi nilai-nilai, semisal kerja-sama, kompetisi, kepuasan pelanggan, keunggulan, pembelajaran, dan lain sebagainya.

Namun, di antara ragam nilai-nilai budaya organisasi tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa nilai integritas selalu muncul di setiap organisasi.

Mengapa? Karena integritas adalah nilai paling fundamental yang akan menyokong pertumbuhan nilai-nilai lainnya.

Tidaklah mengherankan juga, jika integritas seringkali disebut sebagai parent values atau nilai utama bagi perkembangan nilai-nilai lainnya.

Sama halnya dengan organisasi, pengelolaan institusi negara semestinya juga dilaksanakan di atas landasan integritas yang kuat, yang terampil untuk membedakan antara yang jahat dan baik, lebih dari sekadar urusan salah dan benar. Namun, untuk urusan ini, memang dibutuhkan keberanian seorang pemimpin untuk mengambil sikap etis, sekaligus juga bertindak secara decisive.

Presiden Abdurrachman Wahid yang akrab disapa Gus Dur pernah berujar, Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang mampu bertindak baik dan benar. Namun itu saja tidak cukup, karena selain baik dan benar, kita juga membutuhkan pemimpin yang berani.



TERBARU

×