kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menyikapi optimisme Joko Widodo

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance And Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 15 April 2015 / 13:33 WIB
Menyikapi optimisme Joko Widodo

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: tri.adi

Selasa, 7 April 2015 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada hari itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, yakni di 5.523,29.

Jokowi menyambut baik rekor IHSG tersebut. "Kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia jelas terlihat dari kenaikan IHSG saat ini," ujar Jokowi. Menurut Presiden, IHSG tumbuh sangat baik sepanjang tahun ini. "Optimistis, ya bisa ke 6.000," lanjut Jokowi.

Ia juga mengatakan, untuk mendorong minat investasi, pemerintah melakukan sejumlah upaya. Di antaranya, penyederhanaan perizinan dan memperbaiki kebijakan (www.Kontan.co.id, 7 April 2015).

Tentu ini merupakan hembusan angin mamiri bagi investor saham Indonesia. Saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, penulis mengungkapkan tentang kemungkinan IHSG menyentuh level 10.000 pada lima tahun mendatang.

Jika hal tersebut bisa terwujud, rata-rata pertumbuhan IHSG selama pemerintahan Presiden Jokowi adalah 15% per tahun (Harian KONTAN, 20 Oktober 2014). Sebuah target yang tidak terlalu berlebihan.

Di awal tahun ini IHSG berada di angka 5.223. Jika pada akhir 2015 IHSG bisa menyentuh level 6.000, berarti IHSG di tahun 2015 telah naik sekitar 14,6%.

Saat itu penulis mencatat beberapa hal penting yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi. Misalnya, pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan tepat untuk menstabilkan nilai rupiah, hal yang amat penting bagi dunia usaha maupun investasi di pasar modal.

Melemahnya rupiah disebabkan defisit transaksi berjalan, peningkatan utang luar negeri dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang besar.

Periode Oktober 2014 sampai Maret 2015 tercatat gejolak nilai tukar rupiah yang cukup tinggi. Bahkan 9 Maret lalu, untuk pertama kali rupiah ditutup di atas Rp 13.000 per dollar Amerika Serikat (AS), rekor paling rendah sejak tahun 1998. Jika rupiah terus melemah, maka optimisme IHSG menembus 6.000 di akhir tahun 2015 bisa berakhir dengan kekecewaan.

Data Bank Indonesia (BI) per Januari 2015 menunjukkan, utang luar negeri swasta, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sudah menyentuh US$ 163 miliar. Utang tersebut terdiri dari utang jangka panjang sekitar US$ 115,86 miliar dan utang jangka pendek senilai US$ 47,04 miliar.

Kabar buruknya, dari total utang tersebut, hanya sekitar 26% yang telah di-hedging (lindung nilai). Sisanya berpotensi membengkak saat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS semakin melemah.

Menyadari seriusnya masalah ini, Kementerian BUMN telah melakukan inisiatif mendesak perusahaan pelat merah untuk segera melakukan mitigasi terhadap risiko nilai tukar (Harian KONTAN, 11 April 2015).

Pilihan untuk menaikkan harga BBM November tahun lalu cukup bijak dan ternyata penolakan serta gejolak sosial juga relatif kecil. Meskipun bisa berdampak negatif secara jangka pendek karena inflasi bakal naik, secara jangka menengah berkurangnya subsidi BBM akan mengurangi defisit transaksi berjalan dan memberikan ruang gerak fiskal yang lebih luas bagi pemerintah.

Pemerintah diharapkan bisa menghemat dana dari subsidi BBM untuk disalurkan ke kegiatan produktif, misalnya membangun infrastruktur. Kondisi ideal adalah BBM bebas subsidi sehingga ruang fiskal semakin lebar untuk program pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah sebaiknya merancang kenaikan harga BBM secara bertahap. Selain itu, untuk memperbesar ruang anggaran, pemerintah bisa lebih kreatif meningkatkan pendapatan pajak dengan memperhatikan asas keadilan dalam membayar pajak.

Target IHSG di angka 6.000 pada akhir tahun 2015 bisa diamankan dengan upaya peningkatan kualitas praktik-praktik good corporate governance (GCG), baik dari perusahaan publik yang terdaftar di bursa maupun anggota bursa.

Para investor tidak akan ragu menanamkan dana mereka di saham jika mereka percaya pada perusahaan publik.

Lebih dari itu, survei opini investor global yang dilakukan McKinsey mengindikasikan bahwa investor menghargai lebih tinggi saham perusahaan Indonesia yang memiliki praktik corporate governance yang berkualitas. Selain itu, GCG juga berkorelasi positif dengan efisiensi operasional dan berkoralesi negatif dengan biaya modal. Jadi, peningkatan GCG di Indonesia diharapkan bisa mendorong pertumbuhan IHSG.

Bank Pembangunan Asia alias Asian Development Bank (ADB) mengindikasikan bahwa nilai praktik tata kelola perusahaan publik di Indonesia selama ini masih ketinggalan dibandingkan kompetitor mereka di Thailand, Singapura, Malaysia dan Filipina. Dari enam negara ASEAN, nilai GCG perusahaan publik Indonesia (diukur dengan ASEAN Corporate Governance Scorecard) hanya menang atas Vietnam.

Peran aktif regulator, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta otoritas bursa sangat dibutuhkan, baik melalui peraturan-peraturan maupun sosialisasi tentang pentingnya GCG.

Selain itu, perusahaan publik juga perlu kian menyadari pentingnya praktik-praktik GCG untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Dalam hal ini, komitmen komisaris dan direksi perusahaan publik sangat berperan.

Mari kita bantu optimisme Jokowi untuk menggapai IHSG menyentuh 6.000 di akhir tahun ini.



TERBARU

×