kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

MEA dan core-competence

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 23 April 2015 / 13:34 WIB
MEA dan core-competence

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Apa perbedaan nyata antara abad 21 dan abad-abad sebelumnya? Tentu banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. Mulai dari wacana digitalisasi teknologi, internasionalisasi perdagangan, maupun demokratisasi peradaban. Bila dirangkum dalam satu kata, istilah yang tepat untuk merepresentasikan segenap wacana tersebut adalah globalisasi.

Memang demikianlah halnya kenyataan tentang globalisasi, yang dilukiskan oleh kolumnis kondang Thomas L. Friedman, sebagai takdir zaman yang tak terelakkan di abad 21. Friedman sudah menginisiasi gagasan globalisasi lewat bukunya bertajuk Lexus and the Olive Tree (2000), dan kemudian mengeksplorasinya secara secara provokatif dalam buku best seller-nya berjudul The World is Flat : A Brief History of the 21st Century (2005).

Friedman membayangkan bahwa dunia, khususnya dalam konteks perdagangan, abad 21 tidaklah berbentuk bundar melingkar, namun rata mendatar. Implikasinya, semua pelaku usaha memiliki level playing field alias arena kompetisi yang sama, dan batasan geografis menjadi tidak relevan lagi. Dunia tak lagi berwujud kumpulan negara-negara dengan sekat batasan wilayah yang jelas, namun telah berubah menjadi sebuah global village yang bersifat lintas batas.

Sebagian kita pasti sudah merasakan dampak fenomena globalisasi, tapi dengan tingkatan dan konteks yang berbeda-beda. Ada yang baru merasakan globalisasi sebagai fenomena pergaulan, karena semakin hari semakin banyak berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari mancanegara. Ada juga yang menghayati globalisasi sebagai bagian dari pekerjaan, tatkala harus lebih sering melakukan perjalanan bisnis melintasi banyak negara.

Akan tetapi, bagi Friedman, sesungguhnya yang terpenting adalah kita musti menyadari globalisasi sebagai sebuah sistem internasional, dengan aturan main dan alur logikanya sendiri, yang akan mempengaruhi dinamika geopolitik dan ekonomi setiap negara di dunia. Tak perlu terlalu rumit membayangkan apa yang disampaikan oleh Friedman karena sebentar lagi kita akan masuk ke dalam sistem internasional yang paling dekat dengan kita: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

MEA yang segera diberlakukan pada akhir tahun 2015, akan menghadirkan sebuah kampung ASEAN sebagai pasar tunggal bersama bagi negara-negara yang bergabung di dalamnya, termasuk Indonesia. Pembentukan MEA ini tak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, namun juga pasar tenaga kerja profesional. Dengan demikian, nantinya satu negara relatif bebas menjual produk dan jasanya sekaligus mentransfer para profesionalnya ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara, dengan pembatasan dan sistem tarif yang sangat minimal.

Pertanyaannya, apakah sebagai individu, korporasi ataupun bangsa, kita sudah siap menghadapi keniscayaan bernama MEA tersebut?

 

Hukum besi kompetisi

Beberapa gagasan strategis menghadapi fenomena kampung global perdagangan sudah dilontarkan oleh para petinggi republik ini. Dari wacana pelaksanaan hilirisasi industri (utamanya yang berbasis sumber daya alam), kerjasama dengan negeri jiran dalam urusan produksi mobil untuk keperluan domestik, hingga juga penghentian pengiriman tenaga kerja setingkat asisten rumah tangga ke luar negeri.

Pada intinya, semua gagasan tersebut bermuara kepada cita-cita proteksi kepentingan nasional bangsa kita. Pemerintah berusaha memastikan bahwa kepentingan domestik negara kita, terutama ekonomi dan perdagangan, sungguh-sungguh terlindungi, dan 250 juta populasi negara ini tak sekadar menjadi pasar yang empuk bagi negara-negara tetangga.

Persoalannya, apakah gagasan untuk menjadi negara berdikari penuh, yang mampu swasembada untuk seluruh kebutuhan domestik, adalah cita-cita yang realistik pada masa kini? Apakah gagasan proteksionisme di tengah keterbukaan global adalah ide yang seiring dengan kehendak zaman?

Di dalam bisnis, berlaku hukum besi yang bernama kompetisi. Jika ingin menjadi pelaku bisnis yang nyata, satu-satunya pilihan yang harus ditempuh adalah menghadapi dan menjalani kompetisi. Tak ada pilihan untuk menghindari, apalagi mengabaikan kompetisi. Entah itu dengan cara memberlakukan proteksi, monopoli ataupun praktik sejenisnya. Dan, untuk memenangkan persaingan, tak ada pilihan lain kecuali perusahaan tersebut harus mewujudkan dirinya menjadi organisasi yang unggul atawa excellent.

Dua guru manajemen bernama C. K. Prahalad dan Gary Hamel pernah mengatakan bahwa, lebih dari sekadar kehebatan strategi dan keunikan taktik bisnis, ada unsur penting lainnya yang membuat sebuah perusahaan menjadi excellent. Mereka menyebut unsur tersebut sebagai core-competence, yakni kekuatan utama yang menjadi pembeda nyata antara sebuah organisasi dengan organisasi-organisasi lainnya.

Lazimnya, sebuah organisasi akan memiliki core-competence yang spesifik, unik dan berbeda dari organisasi lainnya. Jarang sekali ada organisasi yang bisa unggul dalam segala hal, bidang dan aspek. Justru, perusahaan yang bermimpi untuk unggul dalam segala hal seringkali tersandung menjadi organisasi yang tak mampu unggul, bahkan dalam satu hal saja. Kata orang bijak, if you want to get everything, you will finally find nothing.

Ada contoh menarik yang dapat dipetik dari salah satu negara Skandinavia, yakni Finlandia. Walaupun dianugerahi kekayaan hutan yang subur dan produktif, negara tersebut tak serta merta melakukan hilirisasi dengan membangun industri mebel, furniture dan sejenisnya. Sebaliknya, negara tersebut menemukan core competence-nya di sektor industri telekomunikasi dan teknologi informasi, yang pada gilirannya menghasilkan produk-produk, seperti Nokia dan Angry Birds.

Pertanyaannya, Apakah kita sudah memikirkan dan menetapkan secara seksama core competence kita sebagai bangsa?

 



TERBARU

×