kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Model bisnis ritel organik ala Whole Foods Market

oleh Jennie M. Xue - Digital Entrepreneur dan Penulis Internasional Berbasis di Amerika Serikat dan Jakarta


Senin, 11 Mei 2015 / 13:23 WIB
Model bisnis ritel organik ala Whole Foods Market

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: tri.adi

Makanan organik segar dan yang telah diproses semakin digemari di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Para konsumen yang menghargai kesehatan dan kebugaran, pasti setuju dengan cara pengolahan makanan organik yang ditanam, diternak, dan diolah tanpa zat-zat kimia seperti pestisida, insektisida, hormon pertumbuhan  (growth hormone), serta antibiotik.

Tak heran bila salah satu supermarket organik ternama di dunia, Whole Foods Market, Inc (NASDAQ: WFM) digandrungi di 40 negara bagian Amerika Serikat, Kanada, serta Inggris Raya.

Meski peritel ini masih belum punya rencana bisnis melebarkan sayap hingga pasar Indonesia, ada baiknya bila para pengusaha organik lokal mempelajari rahasia sukses perusahaan tersebut.

Dua tahun lalu, tepatnya di tahun fiskal 2013, Whole Foods memecahkan rekor bisnis setelah mengantongi omzet sekitar US$ 13 miliar, dengan omzet rata-rata per kaki persegi sebanyak US$ 972. Sudah begitu, margin keuntungan supermarket organik lebih tinggi ketimbang pemain supermarket lain yang cuma 1% sampai 3% saja.

Padahal, Whole Foods pernah mengalami pertumbuhan minus 4% di tahun 2009 lantaran krisis ekonomi kala itu baru dimulai.

Nah, hasil yang terbilang positif ini membuat institusi yang berdiri pada 1980 ini menduduki peringkat ke delapan terbagik sebagai perusahaan terbuka di bidang ritel makanan. Selain itu, Whole Foods dua tahun lalu, menduduki peringkat ke 232 di Fortune 500.

Maklum saja, saat ini, Whole Foods sudah mempunyai tujuh juta pelanggan yang tersebar di 367 lokasi gerai yang berbeda. Sekitar 50 gerai peritel ini punya omzet sekitar lebih dari US$ 1 juta per minggu. Perusahaan ini pun masih berambisi bisa memiliki hingga 500 gerai lagi di 2017.

Michael Lindstorm penulis buku best-seller Buyology: Truth and Lies about Why We Buy memberikan pandangan bahwa setiap supermarket dirancang dan direncanakan sedemikian rupa dengan menggunakan prinsip-prinsip neurosains untuk memaksimalkan omzet per kaki persegi lokasi penjualan.

Nah, Whole Foods menawarkan bahan pangan organik eksklusif. Setiap lokasi supermarket ini mencerminkan perpaduan Farmers Market, pasar tradisional (flea market), serta diklaim punya produk berkualitas serta higienis.

Beragam cerita asal muasal produk yang dijajakan seperti sumber pasokan, proses penanaman/peternakan, dan pengepakan disampaikan dalam bentuk storytelling. Cara ini tidak cuma ada di toko tapi juga di situs online mereka. Tujuannya adalah supaya konsumen bisa mengetahui sumber produk yang dijual.

Uniknya, bila selama ini ritel produk dan bahan makanan organik di Indonesia menyasar segmen kelas menengah atas, Whole Foods justru membidik konsumen dari berbagai kelas sosial dan ekonomi. Bedanya, dengan cara promosi storytelling, peritel ini mengedukasi target pasar.

Langkah ini membuat Whole Foods bisa memposisikan diri di antara konsumen generasi milenial yang mempunyai penghasilan dan daya beli lebih.

Hasilnya, bisnis Wal-Mart terpuruk dengan berbagai berita negatif peritel ini yang diklaim tidak memperhatikan kesejahteraan pegawai. Lantas model bisnis superstore yang mematikan toko kecil, serta produk yang rendah kualitas meski berharga murah. Hal ini menunjukan Whole Foods merupakan antitesis Wal-Mart.

Whole Foods menghidupkan para pemasok lokal. Mereka juga mendapat respon bagus dari generasi milenial yang peduli lingkungan dan tertarik dengan pencitraan peritel ini yang memperlakukan pekerja dengan baik.

Sejatinya, Wal-Mart Super store sendiri memberikan pengalaman berbelanja yang spekatakuler. Beragam produk dan barang di peritel ini ditawarkan dengan harga miring. Seperti bahan pangan, pakaian, produk luar ruangan, otomotif, dan berbagai produk musiman. Namun pengalaman ini bisa jadi hanya chore saja alias sudah menjadi hal yang rutin.

Adapun Whole Foods memposisikan diri sebagai tujuan belanja. Di sana, konsumen bisa menikmati makanan organik siap saji yang bergizi dan sehat. Sambil berbelanja, konsumen juga bisa belajar mengenai pengolahan makanan organik dan gaya hidup sehat melalui berbagai literatur yang disediakan. Sampai ada kemasan minuman anggur organik yang cantik. Siap dijadikan hadiah bagi handai taulan.

Rupanya, Whole Foods menerapkan konsep storeflow setiap lokasi dengan tujuan supaya konsumen bisa berlama-lama di lokasi. Peritel ini berusaha mengoptimalkan perilaku konsumen di setiap produk yang dijajakan supaya gairah terhadap hidup organik yang sehat kental terasa.

Bagi pebisnis makanan organik Indonesia, first mover advantage dilakukan saat ekspansi awal. Namun kunci sebetulnya adalah kualitas dan konsistensi. Untuk ritel sejenis, kisah sukses Kem Chicks layak ditiru.

 



TERBARU

×