kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kelas dunia dengan 3P

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 14 Mei 2015 / 10:00 WIB
Kelas dunia dengan 3P

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Sang CEO legendaris, Jack Welch, sering berujar bahwa tidak ada alasan bagi sebuah perusahaan untuk eksis, kecuali ia menjadi nomor satu atau dua dalam barisan persaingan. Jika sebuah perusahaan tak mampu menjadi jawara di bidangnya, lebih baik dijual atau ditutup saja, demikian prinsip dari seorang Welch.

Tak heran, ketika memimpin perusahaan sekelas General Electric, ia banyak melakukan pembenahan yang mengantar organisasi tersebut menjadi raksasa bisnis dunia yang menakjubkan. Termasuk di dalamnya adalah melego ataupun membubarkan anak perusahaan yang tak mampu memimpin barisan kompetisi di bidangnya masing-masing. Tak heran juga, pada zaman kepemimpinannya, Welch dengan antusias dan konsisten menerapkan sistem manajemen mutu (quality management) sekelas Six Sigma, yang memang sangat penting untuk menopang keunggulan sebuah perusahaan.

Lewat sistem manajemen mutu kelas dunia itu, Welch berusaha memastikan daya saing perusahaan dengan menciptakan layanan dan produk yang nyaris sempurna. Bayangkan saja, kualifikasi Six Sigma hanya memperbolehkan maksimal 3,4 cacat atawa ketidaksempurnaan dalam setiap sejuta kemungkinan (defects per million opportunities)!

Perusahaan-perusahaan Jepang yang lebih dahulu menerapkan sistem manajemen mutu, seperti Total Quality Control, tidak memiliki definisi yang canggih dan rumit tentang kata world class company. Bagi perusahaan-perusahaan Jepang, perusahaan kelas dunia adalah perusahaan yang senantiasa membangun dirinya unggul, unggul, dan unggul, serta pada akhirnya dapat bertahan serta tumbuh secara berkelanjutan.

Ada syarat tiga P untuk menjadi sebuah perusahan kelas dunia. Pertama, mampu menghasilkan kinerja (performance) kelas dunia. Kedua, menjalankan proses bisnis atau kerja (process) kelas dunia. Ketiga, memiliki sumber daya manusia (people) berkelas dunia juga. Ketiga P tersebut merupakan elemen yang saling terkait satu sama lainnya, dan hanya bisa dipadukan dengan baik oleh sebuah sistem manajemen yang solid.

Secara ringkas, dapatlah dijelaskan bahwa performance perusahaan yang unggul, baik dalam bentuk produk ataupun layanan, hanya akan lahir dari sebuah process (produksi) yang tertata baik, dan digarap oleh people yang cakap. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti General Electric di tingkat dunia, ataupun Astra International di lingkup Indonesia, bisa mengibarkan tinggi bendera bisnisnya secara berkelanjutan, karena memiliki sistem manajemen perusahaan yang tangguh. Lewat sistem manajemen perusahaan itulah mereka membangun keunggulan produk dan layanan, efektivitas dan efisiensi proses bisnis, serta motivasi dan kecakapan pekerjanya. Dengan kata lain, membangun sistem manajemen adalah meletakkan landasan bagi organisasi yang hendak bertumbuh secara sukses dan berkesinambungan.

Secara konkret, sistem manajemen adalah serangkaian proses maupun prosedur yang terstandardisasi baik, yang menjadi acuan bersama segenap pelaku organisasi ketika mereka menjalankan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Bisa saja sistem manajemen diterapkan dengan pendekatan koersif, yakni dengan memberikan ganjaran (reward) kepada mereka yang mematuhinya, dan memberikan hukuman (punishment) kepada mereka para pelanggarnya.

Namun, studi menunjukkan bahwa hasil implementasi sebuah sistem akan menjadi optimal, jika disertai dengan sikap mental yang tepat atas sistem tersebut. Ibarat orang yang dituntut untuk menjaga kerapian dan kebersihan, selain diberlakukan sanksi pelanggaran yang keras, seyogianya pula ditumbuhkan kesadaran bahwa kerapian dan kebersihan adalah hal yang baik, mulia, dan berguna untuk manusia.

Perlu sikap mental Dengan mengacu kepada konsepsi 3 P di atas, berikut ini adalah sikap mental yang harus dimiliki sebuah organisasi jika ingin menerapkan sistem manajemen secara efektif dan hadir sebagai perusahaan unggul. Pertama, dalam konteks performance, pekerja harus membangun kesadaran bahwa pada akhirnya yang akan menentukan mati-hidupnya perusahaan adalah pelanggan. Kepedulian terhadap pelanggan adalah harga mati yang harus diperjuangkan, dan menjadi kriteria pertama dan utama bagi ukuran performance perusahaan ataupun seseorang. Sebagus apa pun produk yang dihasilkan perusahaan, jika tidak dicocokkan dengan kebutuhan dan minat pelanggan, akan sia-sialah jadinya. Sama halnya pula, sebagus apa pun hasil pekerjaan seorang karyawan, jika tidak bisa dimanfaatkan oleh atasannya atau pihak lain yang membutuhkannya, maka itu pun tak akan bermakna banyak.

Kedua, dalam konteks process, organisasi harus membentuk sikap mental yang mengutamakan azas keilmiahan dan standardisasi. Proses bisnis atau kerja yang efektif dan efisien hanya bisa dirumuskan lewat perhitungan ilmiah dan kalkulasi objektif, bukannya mengandalkan perasaan dan selera individu. Dengan standardisasi, proses tersebut juga dapat diterapkan secara teratur dan konsisten oleh setiap orang di setiap waktu. Tanpa keteraturan dan konsisten implementasi, seberapa lengkap dan tebal pun buku manual proses ataupun prosedur kerja, itu semua tak akan berarti apa-apa.

Ketiga, yang terakhir dalam konteks people, setiap individu di dalam organisasi perlu menyadari bahwa membangun organisasi unggul adalah kerja bersama segenap insan di dalamnya. Tidaklah mungkin sebuah organisasi bisa beroperasi dan bertumbuh sukses di atas kerja keras satu individu saja. Karena itu, seorang pekerja harus menempatkan dirinya lebih dari sekadar seorang individual employee (individu karyawan), namun terlebih adalah seorang team contributor alias kontributor aktif bagi kesuksesan sebuah tim.



TERBARU

×