kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Belajar dari masa lalu

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 04 Juni 2015 / 13:43 WIB
Belajar dari masa lalu

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Salah satu tugas seorang pemimpin yang paling utama adalah mengambil keputusan. Tak bisa membayangkan bagaimana jadinya seorang pemimpin bila tak pintar mengambil keputusan.

Itu sama artinya memberikan samurai kepada orang yang gagap memegang senjata tajam. Pemimpin mendapatkan mandat resmi untuk mengambil keputusan bagi warga, organisasi dan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, jika ada pemimpin yang tak siap untuk mengambil keputusan, pada dasarnya orang tersebut tak lebih dari seorang petugas dalam sebuah organisasi.

Memang mengambil keputusan bagi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang paling sulit. Mengapa? Karena setiap keputusan yang diambil oleh sang pemimpin akan berdampak kepada lingkungan sekitarnya. Semakin tinggi posisi si pemimpin maka semakin luas pula dampak yang akan ditimbulkannya.

Jika keputusan itu tepat, maka akan mendatangkan maslahat bagi banyak orang. Sebaliknya, jika keputusan itu keliru, maka ada penderitaan dan bencana yang akan dirasakan.

Karena proses itu penting, maka di sekolah-sekolah kepemimpinan dan bisnis, ilmu pengambilan keputusan (science of decision making) diteliti secara seksama dan diajarkan secara intensif. Demikian pula, sarana dan metode pengambilan-keputusan (decision making analytics) dikembangkan secara komprehensif. Sehingga para calon pemimpin yang ikut belajar di sekolah itu dapat membantu proses pengambilan keputusan secara efektif.

Namun, ada studi yang menunjukkan bahwa kegagalan seseorang mengambil keputusan yang tepat, seringkali bukan disebabkan oleh kebodohan intelegensia. Justru, para pemimpin pengambil keputusan tersebut adalah orang-orang pintar dengan kemampuan berpikir yang hebat.

Alih-alih urusan intelegensi, justru faktor bias kognitiflah yang seringkali membuat orang gagal mengambil keputusan yang tepat. Bias kognitif yang dimaksud di sini adalah kecenderungan seseorang untuk memahami dan menafsirkan sesuatu yang mempunyai kecenderungan tertentu.

Misalnya, seburuk-buruknya perilaku seorang anak, sang orangtua cenderung memiliki bias kognitif. Orangtua yang sayang terhadap anaknya itu akan menafsirkan perilaku buruk tersebut namun dari sisi yang positif. Sama halnya juga, sejelek-jeleknya sifat seorang gadis remaja, sang pacar cenderung akan memberikan tafsir positif atas sifat jelek tersebut.

 

Pakai masa lalu

Itulah bias kognitif yang muncul akibat pengkondisian pola pikir yang berjalan sedemikian rupa, yang seringkali tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Begitu juga dengan pemimpin pada saat menggunakan faktor bias kognitif membuat dirinya tak sanggup melihat persoalan secara jernih, jelas dan lengkap. Terkadang bisa mengakibatkan pengambilan keputusan yang tidak tepat.

Salah-satu faktor yang acapkali menimbulkan bias kognitif dalam proses pengambilan keputusan adalah menggunakan pengalaman. Sedari dulu, kita cenderung diindoktrinasi bahwa pengalaman adalah guru kehidupan yang terbaik.

Kita percaya bahwa pengalaman akan mengantar kita pada proses pembelajaran yang efektif. Bahkan, untuk mengambil sebuah keputusan yang terkait dengan masa depan, orang banyak berkaca kepada pengalaman di masa lampau.

Pada saat menghadapi sebuah persoalan dan hendak mengambil keputusan, bukankah kita sering mendengar pertanyaan berbunyi , Dulu seperti apa?

Proses pengambilan keputusan dengan proses ini digambarkan oleh Emre Soyer dan Robin M. Hogarth, lewat publikasinya yang bertajuk Fooled by Experience (HBR, May 2015). Ia mengingatkan, dengan menggunakan pengalaman bisa menciptakan bias kognitif. Sehingga orang tak dapat memahami persoalan secara jernih dan mengambil keputusan dengan tepat.

Berikut beberapa proses pengambilan keputusan yang diwarnai faktor-faktor tertentu. Pertama, kita cenderung terpaut kepada pengalaman sukses. Tanpa bersusah-payah menelisik dinamika dan proses yang menyertainya. Padahal, tak ada hasil akhir yang baik tanpa proses dan usaha yang setimpal pula.

Kedua, kita juga cenderung fokus kepada pengalaman-pengalaman yang searah dengan keyakinan pribadi kita. Pengalaman-pengalaman yang tak seiring dengan keyakinan (belief) kita, seringkali tersensor secara tak sadar di dalam pikiran. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa bias kognitif adalah sebuah preferensi yang seringkali bekerja di bawah alam sadar pikiran.

Ketiga, fokus pada masa depan adalah sebuah cerita baru. Yang sebenarnya tak terkoneksi secara langsung dan utuh dengan masa-lalu. Dalam beberapa hal, masa depan bukanlah sekadar kesinambungan dari masa lampau.

Dengan demikian menggunakan pengalaman masa lampau dengan kecendrungan bias kognitif adalah cara pandang yang tidak sepenuhnya tepat. Pada akhirnya, mengambil keputusan tetap harus dengan sikap yang bijak.

 



TERBARU

×