kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menyesal itu biasa bagi investor saham

oleh Budi Frensidy - Staf pengajar FEUI dan pengamat pasar modal


Rabu, 10 Juni 2015 / 12:29 WIB
Menyesal itu biasa bagi investor saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: tri.adi

Apa mau dikata jika pasar saham berbalik bearish setelah sempat ditutup di rekor tertinggi 5.523 pada 7 April lalu.

Sejatinya, tanda-tanda pasar mulai kehabisan tenaga sudah terlihat ketika kurs dolar Amerika Serikat sulit turun di bawah Rp 13.000. Akibatnya, net buy investor asing pun berbalik menjadi net sell sejak medio Mei lalu dan kinerja bursa kita terpuruk ke posisi paling bawah dibandingkan bursa-bursa saham lainnya untuk tahun ini. Para investor saham baik langsung maupun yang membeli reksadana saham pun mulai dihinggapi rasa penyesalan tidak cepat keluar dari pasar.

Sehubungan dengan penyesalan dalam berinvestasi saham sesungguhnya tidak terjadi hanya pada periode bearish. Dalam keadaan pasar sedang bullish pun, fenomena ini kerap terjadi seperti pengakuan seorang kawan dekat saya di fakultas lain di Universitas Indonesia. Masuk ke pasar saham pada saat yang tepat yaitu belasan tahun lalu ketika IHSG masih tidak jauh dari angka 400. Sekitar belasan bulan kemudian portofolio sahamnya melonjak 100%.

Mendengar pencapaian return yang luar biasa ini, kawan-kawannya banyak yang tergiur untuk mengikuti jejaknya. "Hampir setiap hari ada saja rekan pengajar yang datang atau menelepon saya meminta tip dan nasihat praktis untuk sukses berinvestasi saham," tuturnya.

Suatu hari dikumpulkanlah teman-temannya ini. Salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam pertemuan itu adalah, "Apa kesan dan pesan Bapak sebagai investor saham untuk kami yang tertarik dan baru akan memulai?" Dia pun bercerita panjang lebar dan menjawab pertanyaan itu dengan jujur berdasarkan pengalaman pribadinya.

"Bermain saham itu penuh penyesalan. Menjual saham yang sudah untung, kita menyesal karena harganya terus naik sesudah kita menjualnya. Tidak menjualnya juga kadang menimbulkan penyesalan jika kemudian ternyata harga saham itu merosot lagi. Itu baru soal keputusan jual. Keputusan beli pun sama dan ini sering saya alami. Beberapa kali saya sudah berencana untuk membeli saham tertentu pada pagi hari tetapi karena pagi itu saya harus mengajar atau menguji, saya menjadi tidak sempat melakukannya.

Ketika sudah sempat di sekitar jam makan siang, saya hanya bisa gigit jari mengetahui harga saham yang saya incar itu sudah naik belasan persen hanya dalam beberapa jam. Saya pun tidak jadi membelinya dan cuma bisa sedih meratapi nasib yang kurang beruntung. Untuk itu, hanya ada satu pesan saya bagi yang ingin menjadi investor saham. Bapak/ibu harus siap dan bersedia mengalami banyak penyesalan," ceritanya.

Sejatinya, tidak ada yang aneh atau baru dalam kisah nyata di atas karena literatur behavioral finance (BF) sudah menuliskan fenomena ini sejak dulu. BF menyebutnya sebagai bias penyesalan (regret bias), salah satu dari sekian banyak bias yang sudah diidentifikasi BF. Ada dua macam penyesalan yang biasa dialami investor saham. Yang pertama disebut error of commission atau penyesalan yang timbul akibat investor mengambil aksi tertentu (action) yang ternyata salah. Yang kedua adalah error of omission yaitu penyesalan karena investor tidak mengambil aksi tersebut (inaction).

Contohnya adalah ketika seorang investor ditawari pemesanan saham saat initial public offering (IPO). Dalam kondisi ini, dia mempunyai dua pilihan yaitu ikut memesan saham atau tidak ikut. Kemungkinan yang akan terjadi juga ada dua, yaitu IPO sukses dan harga saham melejit atau IPO gagal dan harga saham merosot.

Tidak akan ada penyesalan investor jika dia jadi memesan saham dan IPO sukses atau dia tidak jadi memesan dan IPO gagal. Penyesalan baru akan timbul dalam kasus investor tadi jadi memesan saham tetapi IPO gagal (harga jatuh).

Contoh kasus penyesalan ini di Bursa Efek Indonesia adalah saat IPO Garuda Indonesia (GIAA) di awal 2011. Tidak seperti biasanya, siapa pun yang memesan akan mendapat 100% sesuai dengan pesanannya dan harus membeli pada harga IPO Rp 750 plus komisi 1%.

Yang terjadi, sejak saham diperdagangkan di bursa pada hari pertama hingga saat ini, harganya tidak pernah di atas Rp 700. Dalam kondisi seperti ini, semua investor yang ikut memesan dalam hatinya pasti akan berkata, "Mestinya saya tidak ikut memesan saham itu." Inilah yang disebut error of commission yaitu penyesalan sudah bertransaksi atau membeli tetapi ternyata keputusan ini salah.

Rasa menyesal juga akan muncul jika investor tidak jadi memesan saham tetapi IPO sukses (harga melonjak). Misalkan Anda memutuskan tidak ikut membeli saat ditawari IPO saham Wijaya Karya Beton (WTON) pada harga Rp 590 awal tahun lalu.

Anda tentu akan sangat menyesali tindakan bodoh telah melewatkan kesempatan emas ini karena harga WTON tidak pernah berada di bawah Rp 700 sejak pertama kali diperdagangkan. BF menyebutkan penyesalan yang bersumber dari tidak jadi bertransaksi ini sebagai error of omission.

BF mengatakan, kadar penyesalan dalam error of commission lebih kuat daripada dalam error of omission. Error of commission itu lebih terasa karena ada transaksi. Sayangnya, hampir tidak ada buku investasi, artikel surat kabar dan pelatihan strategi memilih saham dari investor lihai yang mengingatkan dan memberikan pesan ini untuk investor pemula. Selain berbekal dana, pengetahuan dan keterampilan, investor mesti siap untuk menyesal.

Tip dari saya, jangan terlalu sering memelototi pergerakan harga saham, cukup beberapa kali dalam seminggu atau sebulan. Mengikuti pasar saham terus menerus akan membuat Anda bertransaksi lebih sering yang berakibat tingginya biaya transaksi dan juga banyaknya penyesalan.



TERBARU

×