kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Puasa dan perang investor di bursa

oleh Satrio Utomo - Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Twitter: @RencanaTrading


Rabu, 24 Juni 2015 / 10:00 WIB
Puasa dan perang investor di bursa

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Di pasar modal, harga merupakan hasil peperangan. Peperangan pihak yang bullish, yakni mereka yang menganggap ke depan kondisi bisa lebih baik dan harga akan bergerak naik, sehingga mau melakukan posisi beli. Si bullish ini melawan pihak yang bearish, mereka yang menganggap ke depan kondisi bisa lebih buruk dan harga akan bergerak turun, sehingga mereka melakukan posisi jual.

Pergerakan harga pada sebuah grafik adalah rekam jejak peperangan itu. Harga akan bergerak naik ketika si bullish -mereka yang melakukan posisi beli- memenangkan pertarungan. Ketika harga bergerak turun, berarti si bearish - mereka yang melakukan posisi jual- lebih dominan dibandingkan yang bullish.

Di bulan Ramadan tidak sekadar menahan lapar dan dahaga sejak Subuh hingga Magrib. Mereka juga harus menahan nafsu-nafsu lain. Penduduk Indonesia tidak hanya umat Islam. Bagi seluruh penduduk Indonesia, dengan berbagai macam suku, agama, dan ras, bulan puasa juga merupakan bulan peperangan. Di bulan puasa ini, penduduk Indonesia selalu harus berperang melawan berbagai lawan.

Pertama, perang melawan inflasi. Kenaikan harga barang adalah momok setiap memasuki bulan Ramadhan. Dalam studi inflasi Bank Indonesia (BI) tahun 2008-2013, lonjakan permintaan selama Ramadhan memicu harga dari berbagai barang, terutama kebutuhan pangan, mudah sekali bergerak naik. Daging, cabai, beras, dan bawang merah, adalah beberapa kebutuhan yang sering kali mengalami kenaikan harga tajam selama Ramadan.

Di periode tersebut, BI mencatat, inflasi bulanan sebesar 0,56%, dengan inflasi tertinggi terjadi tahun 2010, yakni 0,57%. Sedangkan terendah di 2009, yakni deflasi 0,31%.

Terkait dengan perang melawan inflasi ini, keluarnya Perpres No 71 Tahun 2015 kemarin, sepertinya menjadi harapan. Pemerintah yang bertahun-tahun lemah menghadapi spekulan, mulai melakukan pendekatan baru dalam menanggulangi inflasi.

Pemodal ingin melihat bagaimana pelaksanaan peraturan ini. Apakah sesuai dengan maksud peraturan ini, atau malah menjadi medan peperangan antara pedagang (baca: spekulan) melawan pemerintah. Tapi kita bisa berharap, spekulan tidak lagi mudah mempermainkan harga seperti yang sudah-sudah.

Kedua, perang melawan importir nakal. Indonesia itu negara besar dengan lebih dari 250 juta penduduk. Jumlah penduduk sebesar itu memerlukan pasokan barang, terutama bahan pangan yang tidak sedikit. Lucunya, setelah 70 tahun merdeka, kemampuan Indonesia mencukupi kebutuhan pangan masih minim. Selain beberapa kebutuhan pokok seperti kedelai, jagung dan singkong kekurangan suplai dan impor, seringkali spekulan atau pedagang menahan barang sehingga langka.

Masyarakat masih sering berhadapan dengan pergerakan harga yang liar akibat hilangnya barang dari pasar Di sini, seringkali importir nakal menjadi pahlawan kesiangan. Mereka memanfaatkan kekhawatiran pasar akan kekurangan barang dengan menawarkan keran impor. Padahal belum tentu semuanya diselesaikan dengan cara impor, karena produksi dalam negeri bisa ditingkatkan, bisa dioptimalkan.

Belajar dari pengalaman ketika perang beras di Januari-Maret kemarin, ternyata bisa diselesaikan tanpa impor. Kelangkaan hanya akibat salah pengelolaan permintaan dan penawaran sehingga bisa diselesaikan dengan barang yang ada di pasar. Namun, rayuan dan bujukan impor akan terus membahana. Seperti masalah kekurangan suplai alat berat.

Gosokan para importir nakal ini terkadang membuat pelaku pasar modal waspada. Maklum, permasalahan terbesar ekonomi kita adalah defisit neraca perdagangan. Setiap mendengar kata impor, sedangkan pasokan dalam negeri sebenarnya mencukupi, berarti neraca perdagangan kita sedang dalam ancaman..

Ketiga, perang menumbuhkan omzet ritel. Ramadan adalah puncak omzet ritel. Menyimak pernyataan dari Danny Kojongian, Direktur Komunikasi dan Humas PT Matahari Putra Prima Tbk beberapa waktu lalu pada sebuah media online, momentum Ramadan dan Lebaran yang memiliki jangka waktu siklus 45 hari, bisa mencapai 30% dari total omzet tahunan dari perusahaan tersebut. Artinya, para penjual ritel pasti sadar, ini bulan melakukan penjualan sebesar-besarnya.

Mereka berusaha melakukan berbagai cara meningkatkan penjualan. Ini membuat angka pertumbuhan penjualan ritel selama Ramadan 2015 ini sangat penting. Pemodal bisa melihat angka ini sebagai prediksi kondisi sektor ritel dan kekuatan daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi hingga akhir tahun. Jika angka pertumbuhan penjualan ritel selama puasa dan Lebaran ini tidak terlalu bagus, siap-siap data ekonomi yang buruk pada bulan-bulan berikutnya.

Keempat, perang melawan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ramadan tahun ini berbeda dengan biasanya. Setelah bertahun-tahun berlangsung pada ekonomi yang sedang tumbuh, Ramadan kali ini berlangsung pada ekonomi yang sedang melambat.

Memang beberapa tahun lalu, kita pernah merasakan Lebaran buruk, baik ketika crash pasar modal di 2008 dan kenaikan harga BBM sebelum Puasa. Namun, dengan posisi start buruk Tim Ekonomi Pemerintahan Jokowi memunculkan pertanyaan besar: apa yang akan terjadi pada pemerintahan Jokowi jika pertumbuhan ekonomi kuartal II 2015 ternyata buruk? Apakah hanya Tim Ekonomi yang kemudian harus lengser? Ataukah ada insiden Kudatuli babak kedua?

Pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal II 2015 yang diumumkan di sekitar Lebaran, menjadikan hati saya menjadi khawatir. Galau.

Di bulan puasa kita harus mengurangi prasangka buruk. Tapi karena merasa kondisi sudah sedemikian buruk, saya belakangan hanya menyarankan investor melakukan posisi trading, dengan hanya melihat faktor teknikal dari pergerakan harga. Maklum, kondisi dalam negeri dan luar negeri yang buruk, akibat krisis utang Yunani dan persiapan The Fed mulai melakukan kenaikan suku bunga. Belum lagi bubble Bursa Shanghai yang siap meletus setiap saat.

Satu hal yang menjadi pedoman memprediksi pergerakan harga selain analisis teknikal yaitu harga saham adalah fungsi saat ini dari kondisi mendatang. Kalau kondisi saat ini jelek belum tentu harga turun, selama pasar melihat ke depan kondisi akan lebih baik. Ketika kondisi jelek tapi harga tidak mencetak level terendah yang baru, disitu saat diawalinya sebuah reli. sebuah bullish market. Happy trading.

Semoga berkah.



TERBARU

×