kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Perusahaan pun butuh teori

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 25 Juni 2015 / 13:30 WIB
Perusahaan pun butuh teori

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Judul di atas mungkin terdengar nyentrik. Biasanya yang harus berkutat dengan urusan teori adalah para cendekia di kampus. Kaum akademisi ini membutuhkan bahkan kalau perlu menemukan teori-teori ilmiah untuk menjustifikasi segenap konsep yang mereka ajarkan kepada para siswa. Teori ini nantinya akan menjadi jangkar untuk menerangkan pengetahuan sekaligus mempertanggung-jawabkan derajat keabsahan ilmu yang mereka bagikan. Namun sekali lagi, benarkah perusahaan benar-benar membutuhkan teori? Bukankah teori biasanya ada di menara gading, sementara urusan korporasi ada di pinggir jalan dan lebih membutuhkan penyelesaian secara praktis?

Jangan heran, jika kita sering mendengar ada dikotomi antara academic smart milik kaum cerdik pandai di universitas dan street smart yang seringkali ditunjukkan oleh para praktisi dunia usaha. Baru-baru ini, seorang profesor strategi bisnis dari SLSt. Louiss Olin Business School, Washington University, ZTodd Zenger, menuangkan satu artikel yang sangat bernas bertajuk: What Is the Theory of Your Firm? (HBR, Juni 2013). Zenger menegaskan, untuk bertahan secara jangka-panjang dan bertumbuh secara berkelanjutan, perusahaan tak hanya cukup merumuskan strateginya. Lebih dari strategi, perusahaan harus merumuskan teorinya.

Strategi berfokus pada upaya peningkatan daya-saing (competitive advantage) perusahaan dalam sebuah medan persaingan, sementara teori-korporasi membuka peluang perusahaan untuk terus bertumbuh (growth) di berbagai medan kompetisi tanpa batas. Ibaratnya, strategi adalah penentuan cara kita bermain di dalam sebuah arena pertandingan yang sudah dibatasi sedari awal, sementara teori korporasi adalah perumusan cakrawala pandangan yang memungkinkan perusahaan untuk melihat secara tanpa batas ke berbagai arena pertandingan. Berbeda dengan strategi, teori memampukan sebuah perusahaan melangkah ke arena kompetisi yang baru sama sekali namun dengan langkah yang lebih terukur.


Tiga sudut cakrawala
Bagi Zenger, teori korporasi yang baik mesti merangkum tiga sudut cakrawala pandang(strategic-sight), yakni (1) cakrawala pandang ke depan (foresight); (2) cakrawala pandang ke dalam (insight) serta (3) cakrawala pandang ke samping (cross-sight). Foresight adalah daya terawang perusahaan terhadap kemungkinan dinamika di masa depan sementara insight merupakan pemahaman perusahaan terhadap kemampuan yang dimilikinya di dalam organisasi. Yang tak kalah pentingnya, cross-sight adalah kesanggupan perusahaan untuk melihat dan memanfaatkan kondisi di sekelilingnya demi meningkatkan kemampuan organisasi untuk mencapai foresight-nya.

Zenger menegaskan, lanskap bisnis saat ini menuntut perusahaan tak hanya dengan strategi namun juga teori. Sekarang pemegang saham dan investor tak lagi sekadar menuntut posisi pasar (market position)yang kuat dalam arena persaingan. Mengapa? Karena pasar saham sudah dipenuhi begitu banyak perusahaan berposisi pasar yang kuat namun saat bersamaan harga sahamnya bergerak lamban dan tak mendatangkan nilai tambah (value creation).

Perusahaan ritel raksasa, Walmart adalah salah satu contoh perusahaan dengan posisi pasar yang kuat namun harga sahamnya tak bergerak banyak sepanjang 12 tahun-13 tahun terakhir. Publik mengakui kinerja perusahaan yang didirikan Sam Walton kinclong hingga saat ini. Persoalannya, belum melihat ada langkah besar yang bisa membawa bisnis Walmart terbang lebih tinggi dan tinggi lagi. Untuk melahirkan langkah terobosan tersebut maka dibutuhkan sebuah teori korporasi.

Salah satu contoh terbesar teori korporasi diperlihatkan oleh Steve Jobs, pendiri Apple. Pada 10 Agustus 2011, Apple berhasil melewati ExxonMobil secara nilai kapitalisasi pasar. Jobs menjadikan Apple sebagai korporasi paling mahal di dunia. Padahal, perusahaan tersebut hampir bangkrut pada 1997. Warisan terbesar Jobs bukan sekadar produk Apple yang fashionable ataupun gaya kepemimpinannya yang unik melainkan teori korporasi yang diciptakannya. Tiga elemen teori korporasi teridentifikasi dengan baik dalam perusahaan berlogo apel coak itu. Jauh-jauh hari, Jobs telah merumuskan foresight bahwa komputer dan perangkat digital lainnya akan menjadi barang konsumsi publik pada suatu saat nanti. Oleh karenanya, konsumen pasti akan sangat mempedulikan urusan cita rasa, selera, dan model dari produk yang dibelinya.

Dari penerawangan itu, Jobs menemukan insight bahwa hal terpenting bagi Apple adalah kemampuan desain. Jobs tak ragu berinvestasi secara besar-besaran untuk urusan penelitian dan pengembangan di bidang desain. Yang terakhir, kemampuan cross-sight Jobs dengan memanfaatkan teknologi Graphical User Interface (GUI) yang dikembangkan Xerox. Teknologi GUI ini ditemukan dan dikembangkan Xerox, namun Jobs kemudian berhasil memanfaatkannya secara luas dan menghasilkan nilai tambah. Jika teori gravitasi yang ditemukan Sir Isaac Newton mampu melahirkan terobosan konsep dan pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan alam maka teori korporasi yang dirumuskan Jobs juga telah melahirkan terobosan strategi value creation di dunia usaha. Kata psikolog ternama, Kurt Lewin, There is nothing so practical as a good theory. So, sudahkah kita merumuskan teori korporasi di dalam perusahaan masing-masing?

 



TERBARU

×