kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Warisan ke atau dari?

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 09 Juli 2015 / 14:32 WIB
Warisan ke atau dari?

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Banyak orang yang menjual gagasan perubahan ketika masuk ke gelanggang persaingan tampuk kepemimpinan. Saat kampanye presiden, Barrack Obama menyerukan kalimat Change. Yes, we can! . Kita juga tentu masih ingat saat Jokowi mendeklarasikan Revolusi Mental sebagai janji kepemimpinannya.

Secara alamiah, memang demikianlah tuntutan sekaligus hasrat seorang pemimpin, yakni ingin melakukan perubahan. Terkadang semangat perubahan itu dibungkus dengan jargon semacam: transformasi, reformasi, ataupun revolusi.

Jika ditelisik lebih jauh, itikad melakukan perubahan ini sesungguhnya bersumber dari keinginan sekaligus juga panggilan manusiawi seseorang untuk meninggalkan warisan atawa to leave a legacy. Dalam bukunya, The 8th Habit (2004), mendiang Stephen Covey bahkan mengatakan, secara asali manusia memiliki empat panggilan: to live (hidup), to learn (belajar), to love (mencintai), dan terakhir to leave a legacy (meninggalkan warisan).

Niat untuk meninggalkan warisan itulah yang seringkali membuat seseorang khususnya para pemimpin berlomba-lomba melakukan perubahan. Kalau bisa, secepat dan sebanyak mungkin, supaya khalayak semakin mahfum akan warisan-warisan yang ditinggalkannya. Semakin cepat perubahan itu dilakukan, kian berkibarlah nama baik sang pemimpin. Sama halnya pula, semakin banyak perubahan yang bisa dilihat orang, semakin kerenlah reputasi yang bersangkutan.

Apalagi, jauh-jauh hari kita selalu diingatkan oleh kalimat bijak berbunyi harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan karya-karyanya. Akibatnya, tanpa disadari orang berlomba-lomba untuk meninggalkan warisan. Jelas, semua ini hal yang wajar juga baik adanya.

Persoalan muncul, saat kita melihat apa yang diwariskan seseorang ternyata tak berlangsung lama. Bahkan, tak jarang sebuah agenda perubahan yang digulirkan hanya berusia seumur jagung. Sering terjadi, saat seorang pemimpin beringsut dari kursi kepemimpinannya, agenda transformasi yang dipeloporinya pun seketika itu juga hilang dari peredaran dan digantikan dengan agenda baru. Ganti pemimpin, ganti agenda; ganti pemimpin, ganti warisan yang ingin ditinggalkan.

Bahasa sederhananya, tidak ada sustainability atau keberlanjutan. Padahal, seringkali sebuah agenda perubahan yang strategis membutuhkan waktu realisasi yang panjang, dan tidak bisa diubah-ubah dalam kurun waktu yang singkat.

 

Suatu tugas

Sesungguhnya, meninggalkan warisan adalah suatu tugas, tuntutan, dan bahkan panggilan yang sangat mulia dari seorang pemimpin. Warisan itu menunjukkan jejak sumbangsih yang diberikan oleh seorang pemimpin kepada lingkungan atau masyarakat di sekitarnya.

Namun, ada dua pola pikir yang mendasari seorang pemimpin saat ingin meninggalkan warisan. Yang satu berpikir tentang legacy from (warisan dari), dan yang lainnya berpikir mengenai legacy for (warisan untuk). Mereka yang berpikir dalam kerangka legacy from akan mengutamakan keharuman nama dan prestasi pribadi, sementara yang berpikir menurut sudut pandang legacy for lebih mendahulukan kepentingan dan kontribusi kepada lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks legacy from, sang pemimpin tak akan menggubris, apakah langkah perubahan yang dilakukannya akan berjalan sinambung dan membawa kemaslahatan kepada masyarakat secara jangka panjang. Yang penting, namanya tercatat dalam sebuah prasasti publikasi. Adapun dalam konteks legacy for, sang pemimpin bahkan sudi bekerja dalam diam, karena ingin memastikan bahwa langkah perubahan yang dilakukannya memang akan berjalan langgeng sesuai kepentingan dan kebutuhan lingkungan atau masyarakat luas.

Saya teringat dengan konsep kepemimpinan level lima Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001). Collins mengatakan, pemimpin dalam derajatnya yang tertinggi (tingkat lima) adalah seseorang yang berhasil memadukan kerendahan hati pribadi (personal humility) dengan tekad profesional yang kuat (professional will). Bagi mereka, yang penting kelangsungan dan kejayaan organisasi, bukan sekadar prestasi dan keharuman nama pribadi.

Ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh mantan chief executive officer (CEO) raksasa General Electric yang legendaris, Jack Welch, bahwa before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others.

Tapi, bukankah ini juga bisa dibaca, before you are a leader, success is all about legacy from yourself. But, when you become a leader, success is all about legacy for others.




×