kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Menjemput problem

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 23 Juli 2015 / 11:49 WIB
Menjemput problem

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

 Saya pusing banget...nget... nget... ngett! Problem kok datang silih berganti tak henti-henti, demikian keluh seorang sahabat sambil menggaruk kencang kepalanya, dengan rambut yang mengembang tak jelas arah. Saya yakin, para pembaca pun pernah melihat teman yang berperilaku seperti itu. Atau, jangan-jangan, kita sendiri yang bertingkah laku seperti itu. Jangankan menghadapinya, mendengar kata problem saja orang sudah alergi dan badannya langsung menggigil.

Memang, sikap seperti itu tidak dapat disalahkan juga, karena demikianlah esensi pengertian masalah menurut kamus-kamus bergengsi. Oxford Dictionary, misalnya, mengartikan problem sebagai a matter or situation regarded as unwelcome or harmful and needing to be dealt with and overcome. Sementara itu, kamus Merriam Webster mendefinisikan problem sebagai something that is difficult to deal with; something that is a source of trouble, worry, etc. Intinya, problem adalah hal-hal yang terkait dengan kesulitan, tidak menyenangkan, biang kerok, dan sebagainya.

Toyota Production System (TPS), sebagai salah satu sistem manajemen produksi yang paling terkenal dalam kajian manajemen, sekaligus terbukti mendatangkan produktivitas organisasi yang unggul, memiliki definisi problem yang berbeda. Di dalam Toyota Production System, problem didefinisikan sebagai suatu keadaan yang bersifat netral, tidak menyulitkan, dan juga tidak memudahkan serta tidak menyenangkan pun tidak menyakitkan. Masalah semata-mata diartikan sebagai sebuah gap atawa kesenjangan antara yang ideal dan aktual; antara harapan dan kenyataan; antara Das Sollen dan Das Sein.

Dengan perspektif seperti itu, tafsir seseorang terhadap problem sangat tergantung dari sudut pandang yang diambilnya. Ini mirip dengan makna kata krisis, yang dalam bahasa China disebut juga wei jie. Kata wei mengandung arti bahaya (danger), sementara jie berarti peluang (opportunity). Bagi orang-orang yang tidak suka tantangan, problem ataupun krisis akan dianggap sebagai bahaya yang mengancam, menyulitkan, menakutkan. Oleh karenanya harus dihindari. Sebaliknya, bagi mereka yang suka tantangan, problem akan dilihat sebagai sebuah peluang yang menyenangkan dan menggairahkan. Dengan demikian, alih-alih dihindari, problem semestinya dihadapi, bahkan jika perlu dijemput dengan penuh senyuman.

Tidaklah mengherankan, jika seorang industrialis Amerika abad 20 yang terkenal, Henry Kaiser, mengatakan bahwa problems are only opportunities in work clothes. Artinya, problem adalah peluang dalam wujud kerjaan. Dengan demikian, tafsir kita terhadap problem sangat tergantung kepada sudut pandang atau paradigma yang ada di benak. Secara psikologis, jika kita mempunyai paradigma yang positif terhadap sesuatu, sikap dan perilaku kita terhadapnya juga akan positif, yakni mendekat, merengkuh, ataupun merangkulnya. Sebaliknya, jika kita memiliki paradigma yang negatif terhadap sesuatu, sikap dan perilaku kita pun akan negatif, yakni menghindari, menjauhi, atau menolaknya.


Manfaat problem
Layaknya manusia, organisasi-organisasi yang progresif akan melihat problem sebagai peluang, persisnya peluang untuk perbaikan(opportunity of improvement). Khazanah manajemen organisasi Jepang bahkan sedari dulu mengenal kata kaizen, yang bermakna continual improvement (perbaikan tanpa henti). Mengapa tanpa henti? Sebab, mereka menyadari bahwa sepanjang perusahaan eksis, problem akan selalu ada. Oleh karena itu, peluang perbaikan pun senantiasa terbuka. Bukannya dihindari, problem justru akan selalu diburu agar agenda perbaikan dapat bergulir secara bersinambungan.

Kesinambungan perbaikan inilah yang menjadi kunci peningkatan daya saing perusahaan-perusahaan yang progresif. Sebaliknya, jika kita memiliki paradigma dan sikap yang negatif terhadap problem, kita akan menjauhi dan menghindarinya. Padahal, sudah menjadi hukum alam, bahwa problem tak pernah akan pergi, kecuali dengan sungguh-sungguh dihadapi. Karena itulah, dalam dunia manajemen, kita diajarkan teknik-teknik penyelesaian problem (problem-solving), bukannya penghindaran problem (problem-avoiding).

Terlepas dari kenyataan paradigmatis bahwa kehadiran problem dalam hidup adalah sebuah keniscayaan, kecakapan kita menghadapi dan mengatasi problem juga membawa manfaat pragmatis. Ada dua manfaat yang bisa dituai dari penyelesaian sebuah problem, yakni manfaat penanggulangan (kuratif) dan manfaat pencegahan (preventif). Dengan meminum obat, seseorang secara kuratif bisa menanggulangi sakit demam yang dideritanya. Namun, dengan pola konsumsi, aktivitas, dan istirahat yang teratur, seseorang secara preventif bisa menghindarkan dirinya sendiri dari penyakit dan hidup secara sehat sejahtera. Lantaran bisa mencegah kita melakukan kesalahan ataupun kekeliruan yang tak perlu, proses problem-solving juga dianggap sebagai bagian dari pembelajaran hidup (life-learning).

Jadi, alih-alih menghindari problem, kita semestinya secara aktif menjemputnya. Saat menjemput masalah tersebut, kita sesungguhnya sedang menyongsong proses pembelajaran itu sendiri. Bukankah filsuf arif Lucius Seneca (4 SM/65 M) jauh-jauh hari sudah berujar: As long as you live, keep learning how to live.

 



TERBARU

×