kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Sleeping Beauty

oleh Lukas Setia Atmaja - Chairman Department of Finance Prasetiya Mulya Business School


Senin, 11 April 2011 / 20:33 WIB
Sleeping Beauty

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati

Seorang pembaca buku investasi saya menanyakan tentang untung-rugi investasi pada obligasi. Saya balas bertanya, masih ingat film animasi Walt Disney "Sleeping Beauty" yang beredar di tahun 1960-an?

Alkisah, Putri Aurora tertusuk jarum pintal dan tertidur oleh kutukan penyihir. Tiga peri baik hati segera menyihir semua penduduk negeri agar tertidur juga. Konon, Aurora baru bangun jika dicium oleh Pangeran Phillip yang dicintainya. Film yang dibuat dalam waktu delapan tahun ini menjadi tambang emas bagi Walt Disney. Dengan anggaran hanya US$ 6 juta, film ini meraup pendapatan kotor US$ 52 juta.

Tahun 1993, Walt Disney menerbitkan surat utang senilai US$ 300 juta. Yang unik, obligasi ini jatuh tempo dalam waktu 100 tahun! Obligasi perusahaan umumnya jatuh tempo berkisar 5-10 tahun. Obligasi ini langsung dijuluki "Sleeping Beauty Bond". Bayangkan, kita berpisah dengan uang kita selama 100 tahun.

Apa yang kita peroleh? Hanya bunga tetap 7,55% per tahun. Istilah bunga tetap berarti selama obligasi belum jatuh tempo dan penerbit obligasi tidak default alias bangkrut, kita dipastikan menerima bunga 7,55%.

Risikonya? Banyak. Misalnya, risiko turunnya harga obligasi sebelum obligasi jatuh tempo akibat perubahan suku bunga pasar (interest rate risk), risiko uang kita yang kita pinjamkan tidak kembali (default risk) dan risiko kesulitan menjual obligasi tersebut kepada investor lain sebelum obligasi jatuh tempo (liquidity risk).

Hebatnya, obligasi "Sleeping Beauty" laris manis. "Masyarakat rupanya percaya si tikus lucu masih akan bernyanyi dan menari hingga 100 tahun," demikian kesimpulan Tom Deegan, Direktur Komunikasi Disney.

Alan Greenspan, Direktur Federal Reserve, bahkan mengatakan bahwa Sleeping Beauty Bond adalah indikator bahwa tingkat inflasi jangka panjang di Amerika akan menurun. Maklumlah, jika kita membeli obligasi ini, kita tentu berdoa agar tingkat inflasi tidak pernah melebihi bunga obligasi yang kita terima. Dan doa itu berlangsung selama 100 tahun! Jika inflasi melebihi bunga obligasi, artinya kita sedang berinvestasi untuk tambah miskin karena uang kita bertambah, tetapi harga barang dan jasa naik lebih tinggi.

 

Jika tingkat inflasi melonjak, bunga di pasar pasti akan naik untuk mengompensasi kenaikan inflasi tersebut. Bunga obligasi "Sleeping Beauty" sebesar 7,55% tentunya menjadi kurang menarik. Bisakah kita menjual obligasi ini kepada orang lain? Tentu, tapi harganya sudah turun. Ini yang dimaksud dengan interest rate risk di atas.

Misalnya, sehari setelah membeli obligasi ini di pasar perdana, suku bunga pasar naik sebesar 1%. Harga pasar obligasi ini akan turun 12,25%! Sebaliknya, jika suku bunga pasar turun 1%, harga pasar obligasi ini akan naik 12,25%. Semakin panjang usia obligasi, semakin besar fluktuasi harga obligasi di pasar sekunder, semakin tinggi interest rate risk.

Kita juga harus berdoa perusahaan ini masih eksis hingga masa jatuh tempo obligasi. Kalau tidak, siapa yang akan membayar uang yang kita pinjamkan ke perusahaan, sebesar nilai nominal obligasi?

Hingga saat ini, 18 tahun setelah Sleeping Beauty Bond diluncurkan, Walt Disney masih eksis. Kinerja perusahaan ini masih bagus, sahamnya memberikan imbal hasil sekitar 14% per tahun. Inovasi tanpa henti membuatnya bisa bertahan di industri hiburan. Obligasi Sleeping Beauty juga mudah dijual di pasar sekunder sehingga risiko likuiditas masih terkendali.

Lantas, dengan penghasilan dari bunga tetap dan menanggung risiko, mengapa investor masih menyukai obligasi? Bukankah investasi di saham lebih menarik karena meskipun berisiko, tetapi menjanjikan imbal hasil lebih tinggi?

Jawabannya, tingkat risiko investasi obligasi yang secara rata-rata lebih rendah daripada saham. Misalnya, pada saat perusahaan bangkrut, pemegang obligasi kemungkinan masih menerima kembali sebagian uangnya tetapi tidak untuk pemegang saham. Keberanian menanggung risiko (risk profile) serta siklus hidup masing-masing investor juga berbeda.

Saya selalu menyarankan untuk melakukan diversifikasi dana pada obligasi maupun saham. Obligasi bisa menjadi penyelamat saat bursa saham crash. Di Indonesia, kita bisa berinvestasi pada obligasi melalui ORI, sukuk maupun reksadana penghasilan tetap. Yang terakhir ini pernah menjadi primadona pada 2004, saat bursa saham bearish. Namun ketika bunga meroket pada Agustus 2005, terjadi penarikan (redemption) besar-besaran reksadana penghasilan tetap akibat rontoknya harga obligasi.

Rupanya saat menjual reksadana ini, perusahaan pengelola dana kurang mengedukasi pasar. Ada investor yang tak sadar obligasi punya risiko cukup mengerikan. Mereka-pun panik saat diterjang bunga naik.



TERBARU

×