kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Superhero buyback

oleh Lukas Setia Atmaja - Center For Finance and Investment Research Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 09 September 2015 / 10:00 WIB
Superhero buyback

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: tri.adi

Rontoknya harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) menggoda beberapa perusahaan melakukan pembelian kembali sahamnya dengan tujuan menahan kejatuhan harga saham. Saat tsunami finansial menghantam pasar finansial global, benarkah buyback saham merupakan superhero bagi investor saat harga saham sedang panas-dingin?

Pada kondisi normal, umumnya buyback dilakukan jika korporasi memiliki kelebihan arus kas. Uang yang berlebih ini sebaiknya dikembalikan kepada pemegang saham melalui mekanisme buyback maupun pembagian dividen. Jika tidak, dikhawatirkan manajemen akan menggunakan uang ini untuk investasi yang tidak menciptakan nilai ekonomi bahkan menurunkan nilai perusahaan.

Di Amerika Serikat (AS), buyback saham sempat popular sebagai pengganti pembayaran dividen tunai selama lebih dari tiga dekade. Pertimbangannya, lebih pada pajak yang harus dibayar oleh para investor saham. Maklum, di sana pajak atas pembayaran dividen tunai lebih tinggi daripada pajak atas profit dari kenaikan harga saham (capital gain). Akibatnya perusahaan makin pelit membayar dividen.

Ketika pasar saham sedang terjun bebas, korporasi tergoda melakukan buyback saham. Sebagai contoh, dua pekan setelah market crash di Wall Street pada Oktober 1987, sekitar 600 korporasi AS mengumumkan rencana buyback senilai US$ 44 miliar.

Warren Buffett sempat melakukan ini saat pasar saham Amerika gonjang ganjing akibat krisis utang Eropa tahun 2011. Saat itu, dia mengumumkan akan membeli kembali saham perusahaannya, Berkshire Hathaway.

Ada dua alasan bagi korporasi melakukan aksi yang cukup berisiko ini. Pertama, buyback akan meningkatkan permintaan untuk saham yang harganya sedang tertekan. Ingat, harga saham yang turun akibat penawaran saham lebih tinggi daripada permintaannya.

Kedua, buyback memberikan sinyal kepada para investor bahwa manajemen tetap yakin dengan prospek korporasi sehingga menganggap harga saham saat ini undervalued alias harga pasar saham berada di bawah nilai saham. Sinyal ini dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan investor pada korporasi di saat kondisi pasar modal yang sedang babak belur.

Seberapa efektif buyback saham dalam mengdongkrak harga saham yang jatuh? Untuk bisa mengerem kejatuhan harga, jumlah dana buyback harus cukup signifikan untuk menyerap banjir suplai saham.

Saat pasar panik, tidak hanya investor yang melakukan transaksi jual, tetapi juga para spekulan yang melakukan shortselling. Ini merupakan transaksi jual tanpa memiliki saham tersebut. Spekulan meminjam saham orang lain untuk dijual, dengan janji mengembalikan saham tersebut di kemudian hari.

Tindakan tersebut akan memperparah penurunan harga saham. Dana korporasi untuk program buyback akan semakin menyusut, sementara itu shortseller akan kembali berspekulasi pada market crash berikutnya.

Itu sebabnya saat krisis terjadi di bursa saham, biasanya pemerintah cenderung mengeluarkan kebijakan melarang praktik shortselling. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris saat krisis tahun 2008 silam. Shortselling untuk saham sektor keuangan sempat diharamkan.

Jika manajemen korporasi yakin, bahwa fundamental korporasinya kuat dan steril dari dampak krisis finansial, mengapa harus khawatir terhadap penurunan harga saham yang dipicu oleh kepanikan sesaat?

Mengapa harus menghambur-hamburkan arus kas berharga untuk sesuatu yang bersifat jangka pendek? Harga saham akan terus naik dan turun dalam kurun waktu yang panjang, dengan atau tanpa buyback.

Agar efektif, aksi buyback membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tidak semua emiten yang terdaftar di BEI saat ini memiliki free cash flow.

Kalaupun ada korporasi yang memiliki kelebihan uang, buyback belum tentu pilihan terbaik, karena korporasi bisa melakukan akuisisi atau pengembangan usaha. Membiayai buyback dengan utang baru juga kurang bijaksana karena suku bunga saat ini sedang tinggi-tingginya dan kondisi pereekonomian dunia sangat tidak pasti.

Memaksakan diri berutang demi melakukan buyback hanya akan meningkatkan rasio utang dan risiko finansial korporasi. Kita bisa belajar dari kegagalan Eastman Kodak Co., yang melakukan buyback senilai US$ 1,8 milyar dengan menggunakan utang.

Setelah dua tahun, buyback menyebabkan harga saham Kodak turun hingga 54%. Laba tergerus dan utang meningkat hingga tiga kali lipat.

Lalu, apakah benar saat ini saham sudah undervalued? Buyback saham bisa mengangkat harga saham, jika pelaku percaya bahwa saham perusahaan tersebut undervalued.

Pada kasus Bershire Hathaway di tahun 2011, pasar percaya pada Warren Buffet bahwa saham Bershire sudah undervalued. Setelah pengumuman buyback, saham Hathaway rebound.

Namun tidak semua aksi buyback saham bernasib baik seperti itu. Saat Hewlett Packard (HP) melakukan aksi yang sama, harga saham perusahaan ini malah turun, karena pasar membacanya sebagai indikasi manajemen HP tidak mempunyai kesempatan investasi yang bagus. Kalaupun benar saham undervalued, berapa banyak saham yang harus di-buyback oleh korporasi, mengingat akan ada potensi gempa-gempa susulan di bursa saham?



TERBARU

×