kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kuat dan lentur

oleh Ekuslie Goestiandi - Pemerhati manajemen dan kepemimpinan


Kamis, 17 September 2015 / 15:20 WIB
Kuat dan lentur

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Hari-hari belakangan ini, kondisi ekonomi negara kita layaknya sebuah misteri. Seolah-olah tak ada yang bisa menganalisis dan meramalkan, berapa angka pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, ataupun Indeks Harga Saham Gabungan akan menuju? Semuanya seolah serba tak pasti. Oleh karenanya, begitu sulit (jika tidak ingin dikatakan mustahil) untuk diprediksi. Jargon populer uncertainty is the new certainty seperti menemukan kebenaran yang nyata dalam situasi seperti sekarang.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, persoalan ketidakpastian tak hanya terjadi baru-baru ini. Sejak beberapa tahun silam dunia usaha sudah dilingkupi dengan suasana ketidakpastian. Hanya, bulan-bulan terakhir ini kondisi ketidakpastian seakan longsor dengan curamnya, dan membuat orang kehilangan kepercayaan diri untuk memikirkan, menganalisis, dan membuat perkiraan atas kondisi di hari-hari mendatang.

Melalui analisis wacana, kita bisa melihat ada beberapa kosakata yang lazim diucapkan oleh para pelaku usaha dalam beberapa tahun terakhir, semisal: wait and see, gejolak ekonomi, ataupun menanti respons pasar. Istilah cautious optimism yakni optimisme penuh kehati-hatian yang sejak beberapa tahun lalu begitu populer (karena sering diucapkan oleh para petinggi negara dan pengamat ekonomi dunia dalam konteks pemulihan ekonomi di Eropa khususnya Yunani) juga tak jarang muncul dalam sesi dialog ekonomi dan bisnis.

Bila dicermati, kosakata di atas mencerminkan sikap pelaku usaha yang tak pernah sepenuhnya optimistis, tapi sekaligus juga tidak sudi pesimistis terhadap kondisi yang ada. Tidaklah keliru jika dikatakan saat ini kita hidup dalam suasana VUCA, yaitu volatile (mudah berubah), uncertain (tak menentu), complex (kompleks), dan ambigous (tak jelas). Istilah yang awalnya digunakan oleh Pentagon, Departemen Pertahan Amerika Serikat (AS), untuk menggambarkan situasi geopolitik dunia tersebut, saat ini juga berlaku bagi konteks ekonomi dan bisnis.

Sebagai entitas yang terkoneksi dengan komunitas global dan regional, tentunya Indonesia tak bisa lepas dari pengaruh eksternal. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kondisi ekonomi di AS ataupun China akan ikut mempengaruhi kondisi ekonomi negara lainnya pula termasuk Indonesia. Performa ekonomi AS yang membaik dan membuat bank sentralnya mengambil ancang-ancang meningkatkan suku bunga, telah menimbulkan guncangan di bursa efek Jakarta.

Sama halnya pula kebijakan China yang mendevaluasi mata uang negaranya, yuan, demi peningkatan daya saing ekspor, juga ikut menyeret nilai tukar rupiah. Itulah risiko hidup sebagai bagian dari sebuah komunitas mondial yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sedemikian dahsyat pengaruh eksternal, seorang rekan bertanya setengah seloroh, masih adakah peluang bagi kita untuk hidup di atas kaki sendiri?

 

Tipe manusia

Seorang psikolog AS Julian B. Rotter pada tahun 1954 mengembangkan teori psikologi kepribadian yang sangat ternama, yang dikenal juga teori locus of control. Menurut Rotter, ada tipe manusia yang menganggap hidupnya (sikap, perilaku, dan juga keputusannya) ditentukan oleh pihak luar, yang disebutnya sebagai external locus of control. Orang-orang seperti ini merasa tak berdaya dikepung oleh lingkungan di sekitarnya, dan menyerahkan segenap arus hidupnya kepada pihak-pihak di luar dirinya.

Sebaliknya, ada juga tipe manusia yang menganggap hidupnya ditentukan oleh dirinya sendiri, dan disebut pula sebagai internal locus of control. Orang-orang semacam ini yakin bahwa dia memiliki hak dan tanggungjawab untuk mengelola arah hidupnya sendiri. Ahli perilaku organisasi Stephen Covey menyebut manusia dengan external locus of control sebagai insan reaktif, dan manusia internal locus of control sebagai insan proaktif.

Manakah yang lebih baik di antara dua pilihan kepribadian di atas? Untuk menjelaskannya, perkenankan saya menggunakan perumpaan di bawah ini. Sudah diketahui bersama, karena posisi geografisnya yang berada pada tiga lempeng benua (Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina), Jepang menjadi negeri yang sangat rawan gempa bumi. Ini adalah fakta geografis yang melingkupi kehidupan warna negeri matahari terbit. Praktis tak bisa mereka hindari!

Alih-alih meratapi dan mengecam takdir geografis tersebut, ahli bangunan di Jepang justru mengembangkan filosofi konstruksi yang memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan dengan suasana rawan bencana, yaitu bangunan yang kuat sekaligus lentur. Fondasi yang tertancap kuat ke dalam dan tiang yang lentur menghadapi goncangan, membuat bangunan-bangunan di sana siap dan antisipatif menghadapi risiko gempa bumi yang bisa muncul setiap saat.

Sesungguhnya, ini mirip sekali dengan kehidupan pohon bambu yang banyak kita jumpai di bumi pertiwi. Pohon bambu memiliki akar yang tertancap kuat di dalam perut bumi, sekaligus juga batang yang menjulang tinggi ke angkasa. Saat ditiup angin yang kencang sekalipun, pohon bambu hanya akan bergoyang-goyang sejenak untuk tegak kembali. Akarnya tetap kuat dan batangnya juga utuh tak terpatahkan.

Menghadapi goncangan, kita memang harus kuat di dalam sekaligus juga lentur menyesuaikan diri ke luar.



TERBARU

×