kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menimbang-nimbang investasi pada IHSG

oleh Satrio Utomo - Kepala Riset Universal Broker Indonesia


Rabu, 18 November 2015 / 10:50 WIB
Menimbang-nimbang investasi pada IHSG

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Kita sudah memasuki pertengahan November 2015. Banyak hal terjadi dan berlalu. Satu hal yang pasti, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih turun, dibandingkan penutupan tahun 2014.

Posisi IHSG pada Jumat kemarin di 4.472,84. Dibandingkan penutupan tahun lalu di 5.226,95, IHSG turun 754,11 poin, setara -14,43%. Benarkah IHSG selalu bergerak turun di tahun ini?

Tidak juga. Di awal tahun, IHSG sempat naik hingga mencapai titik tertinggi di 5.524,04, naik 297,09 poin atau 5,68% pada pekan pertama April, sebelum kembali bergerak turun. Setelah April, pemodal asing terus melakukan posisi jual, seiring berbagai berita buruk menjelang kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).

Kalau kita tarik ke belakang, konsolidasi di kisaran lebar, 4.000-5.250 sebenarnya tak hanya berlangsung tahun ini. Memang, pada 2014, IHSG terlihat bergerak naik 22,29% dibandingkan penutupan di 2013. Tapi, sejak konsolidasi pada 2013, IHSG belum bisa keluar dari kisaran konsolidasi 4.000 – 5.250. Tiga tahun terakhir, IHSG jalan di tempat.

Konsolidasi bukan sesuatu yang baru. IHSG pernah melakukan konsolidasi antara 250 hingga 700 dalam periode 1988-2003, selama 15 tahun. Apakah kita langsung memvonis, konsolidasi saat ini akan berkelanjutan, hingga 2 tahun- 3 tahun ke depan? Sulit dibilang sekarang. Paling tidak, saya sulit mengatakan secara terbuka. Mengapa?

Satu, semua indikasi masih gelap. Posisi teknikal IHSG ditengah-tengah. Dibilang buruk, tidak bisa, ketika koreksi, IHSG tidak ke level terendah baru di bawah support 3.837. Dibilang bagus juga belum, karena hingga Jumat sore lalu, IHSG belum mampu membuat titik tertinggi baru di atas resistance 5.015. Ke depan semua masih 50:50.

Dua, ketika pergerakan harga serasa jalan ditempat, sulit menarik orang berinvestasi. Tujuan setiap orang sederhana: untung. Bayangkan kondisi saat IHSG flat di 250–700 selama 15 tahun, maukah Anda berinvestasi jika jalan di tempat 3-5 tahun mendatang Seringkali jawabannya tidak.

Memikat orang berinvestasi di Bursa Efek Indonesia, tidak semata-mata mendorong membeli saham. Cara paling efektif, ""memaksa" perusahaan terbuka membagikan saham ke seluruh karyawan. Jika karyawan ingin menjual saham tersebut, dia harus membuka akun di perusahaan sekuritas. Bayangkan, emiten bigcaps seperti BBRI, ASII, atau BBCA membagi 1 lot saham ke setiap karyawan, berapa jumlah investor baru yang bisa dicetak?

Namun, cara pemaksaan kurang menantang. Yang menarik perhatian, menganggap investor reksadana saham sebagai investor saham. Reksadana boleh dikatakan anak tiri investasi saham di Indonesia.

Mengingat metode penghitungan investor perseorangan Indonesia terikat pada jumlah rekening efek yang ada pada PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pemegang reksadana saham ini tidak bisa masuk sebagai investor saham.

Padahal kalau kita menggali lebih dalam, investor reksadana saham juga memperhatikan pergerakan IHSG. Reksadana saham yang bagus, memiliki beta terhadap IHSG 1,2 – 1,5. Artinya, setiap kenaikan 1% pada IHSG, pemilik reksadana saham semakin kaya 1,2%-1,5%. Begitu juga sebaliknya.

Beberapa waktu lalu, seorang investor bertanya, bagaimana bisa tetap berinvestasi di reksadana, tapi tak merasakan return negatif saat IHSG turun? Jawaban saya sederhana, jangan pandang reksadana sebagai investasi, tapi sebagai posisi trading. Reksadana adalah instrumen investasi. Investasi berarti Anda posisi beli saat ini, untuk mengharapkan hasil positif di jangka panjang. Warren Buffett adalah investor. Dia berinvestasi pada saham Coca Cola sejak 1967 dan terus hold hingga tahun ini. Bisakah Anda melakukannya?

Sangat sulit. Karakter dari sebagian besar orang Indonesia adalah untung cepat dan banyak serta tidak mau rugi. Investasi kok rugi? Mendingan buat makan-makan saja. Itu sebabnya, saya menyarankan trading reksadana saham. Ada beberapa alasan yang membuat saya menyarankan hal itu:

• Anda hanya perlu memprediksi IHSG. Prediksi IHSG enggak sesulit prediksi saham lah. Eh, ini bukan prediksi pergerakan hari per hari, tapi jangka yang lebih lama, 3 bulan-6 bulan. Anda hanya perlu memprediksi tren jangka menengah IHSG dan mengambil keuntungan dari situ. Bisa?

• Membeli reksadana saham saat ini bisa dilakukan online. Memang, di proses awal, kita harus bertemu agen penjual. Setelah itu, kita bisa melakukan melalui internet, bahkan melalu smartphone. Bisa?

• Nilai aktiva bersih (NAB) reksadana terakhir atau NAB kemarin, bisa diakses melalui beberapa website. Artinya, perkiraan subscribe atau redeem bisa diperkirakan. Anda hanya perlu kode reksadana yang Anda minati, kode (ticker) ini biasanya bisa diperoleh dari agen penjal. Dengan ticker ini, Anda juga bisa memperoleh data beta reksadana saham. akan saya jelaskan lebih jauh melalui blog saya. Tapi, bukan sesuatu yang tidak mungkin Anda lakukan sendiri.

• Hambatan terakhir, fee. Beberapa reksadana saham mengenakan fee 1%-2% untuk subscribe (beli) dan 1%-2% untuk redeem (jual). Total fee 4% ini membuat kita mustahil melakukan trading reksadana. Tapi, tidak semua reksadana memiliki fee tinggi. Reksadana saham yang mengenakan fee 1% untuk subscribe dan redeem sudah banyak.

Trading reksadana saham bisa menambah jumlah investor saham, apalagi kalau portofolio reksadana saham masuk KSEI. Kalau terbiasa trading reksadana saham, investor akan tertarik trading saham. Bakal lebih mudah untuk menjaring pemodal baru untuk trading saham.

Eh, mau trading future index IHSG? Saya sudah baca aturan baru future index LQ-45 yang akan kembali meluncur. Sepertinya jauh lebih menarik dibanding dulu. Cuma, future index tidak syariah dan risikonya terlalu tinggi bagi pemodal pemula. Mendingan trading reksadana saham. Happy trading, semoga barokah.



TERBARU

×