kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Pilih KPR konvensional atau syariah?

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Keuangan


Rabu, 25 November 2015 / 10:10 WIB
Pilih KPR konvensional atau syariah?

Reporter: Budi Frensidy | Editor: tri.adi

Dengan maraknya bank syariah, kita punya dua opsi untuk KPR, yaitu KPR syariah dari bank syariah dan KPR konvensional dari bank lainnya. Mana yang sebaiknya dipilih?

Ada dua perbedaan utama antara kedua jenis KPR itu. Pertama, KPR konvensional memakai konsep bunga mengambang, setelah berakhirnya periode bunga tetap yang biasanya berlaku hanya satu atau dua tahun pertama. Jarang ada bank memberi bunga tetap lebih dari dua tahun di KPR konvensional.

Maksudnya adalah, selama satu atau dua tahun pertama, bunga KPR tidak akan berubah dari yang disepakati dalam perjanjian kredit. Namun, setelah periode itu berakhir, nasabah harus siap bunga KPR-nya dinaikkan signifikan meskipun inflasi stabil apalagi jika inflasi meningkat.

Sedihnya lagi, kenaikan ini dapat terjadi lebih dari satu kali dalam setahun. Sebaliknya, nasabah harus menerima jika bunga KPR-nya yang tinggi tak akan diturunkan saat sebaliknya yaitu inflasi turun.


Jebakan bunga
Hubungan antara nasabah dan bank memang tidak seimbang atau asimetris terutama untuk nasabah KPR. Bunga mengambang adalah praktik semena-mena bank terhadap nasabahnya karena tidak menyebutkan acuan yang digunakan.

Mestinya OJK mengharuskan semua bank yang memberikan KPR menuliskan acuan untuk bunga mengambang, apakah BI rate, bunga deposito 6 bulan (atau 1 tahun) yang berlaku di bank itu, atau referensi lain. Dalam catatan saya, baru ada satu-dua bank swasta nasional yang sudah fair untuk bunga mengambang KPR-nya yaitu sebesar BI rate + 3,5%, misalnya. Selain tidak ada acuan, periode evaluasi bunga KPR sepenuhnya tergantung bank, dan bisa saja setahun dua kali dinaikkan.

Konsep bunga, apalagi bunga mengambang yang tidak fair, tidak ada dalam KPR syariah. Dalam KPR syariah, debitur sebenarnya tak berutang sejumlah uang tetapi membeli rumah pada harga tertentu dan pembayarannya dilakukan dengan angsuran tetap selama beberapa tahun. Implikasinya, besar angsuran adalah tetap dalam KPR syariah dan didasarkan atas imbal hasil yang diminta bank. Imbal hasil ini sejatinya adalah "bunga" di mata debitur meski konsep syariah tidak mengenal kata ini karena bunga berkonotasi riba. Besaran imbal hasil ini dalam KPR syariah adalah tetap, tidak mengambang seperti KPR konvensional.

Perbedaan kedua adalah mengenai opsi pelunasan lebih cepat. KPR konvensional membuka kesempatan bagi debitur untuk menghemat biaya bunga dengan melunasinya sebelum jatuh tempo, meski ada denda pelunasan yang harus ditanggung. Sebaliknya, kesempatan menghemat biaya bunga ini umumnya tak ada di KPR syariah. Jika ada KPR syariah yang menawarkan opsi pelunasan lebih cepat secara fair seperti KPR konvensional, maka KPR syariah adalah pilihan yang lebih baik.

Jika opsi ini tak tersedia di KPR syariah, kedua jenis KPR punya keunggulan dan kelemahan masing-masing alias skor 1-1. Dilihat dari aspek fairness, KPR syariah mengungguli KPR konvensional. Tapi KPR konvensional punya kelebihan yang tak dimiliki KPR syariah yaitu opsi pelunasan lebih cepat yang bisa menghemat biaya bunga. Mana yang sebaiknya dipilih tergantung apakah Anda berencana melunasi utang lebih cepat atau tidak.

Jika Anda tak berencana melunasinya sebelum jatuh tempo, saya menyarankan Anda mengambil KPR syariah di saat inflasi rendah yang menyebabkan imbal hasil KPR ikut rendah. "Bunga" KPR syariah ini logikanya memang lebih tinggi 1,5%-2%, tetapi Anda aman karena tak akan menjadi mangsa bank saat periode bunga tetap berakhir. Mengambil KPR syariah saat inflasi dan "bunga" sedang tinggi kurang menguntungkan karena mengakibatkan angsuran tinggi sejak awal hingga akhir periode. Untuk konkretnya, saya akan menggunakan satu kasus nyata berikut.

Pada awal 2013, karena inflasi 2011 dan 2012 begitu rendah, banyak bank konvensional menawarkan KPR berbunga hanya 7,5% p.a. untuk dua tahun pertama. Di saat yang sama, KPR syariah mengenakan 9% p.a. Misalkan Anda ingin mengambil KPR Rp 500 juta untuk 10 tahun. Dengan KPR konvensional, angsurannya adalah Rp 5,94 juta per bulan selama 24 bulan pertama dan menjadi Rp 6,33 juta dengan KPR syariah selama 10 tahun.

Sepertinya KPR konvensional lebih menguntungkan. Kenyataannya, itu hanya untuk 24 bulan pertama. Setelah itu, bunga KPR konvensional naik menjadi 13,5% p.a. di awal 2015 sehingga angsuran bulanan menjadi Rp 7,3 juta untuk delapan tahun tersisa.

Padahal bunga KPR baru bank itu hanya 10,5%. Bunga KPR baru yang 13,5% ini sekali dinaikkan akan sulit turun di kemudian hari karena kekuasaan ada di bank. Sementara itu, angsuran bulanan KPR syariah tetap Rp 6,33 juta hingga jatuh tempo. Inilah yang disebut jebakan bunga mengambang KPR.

Sekarang, misalkan Anda tidak menerima kenaikan angsuran Anda menjadi Rp 7,3 juta, dari sebelumnya hanya Rp 5,94 juta. Katakan Anda mempunyai uang yang cukup dari menjual aset lain untuk melunasi KPR ini. Berapakah yang Anda harus bayarkan jika diasumsikan tak ada denda pelunasan lebih cepat, meski kenyataannya selalu ada, untuk KPR konvensional? Berapa dana yang diperlukan jika sebelumnya Anda mengambil KPR syariah?

Anda memerlukan Rp 427,5 juta untuk melunasi KPR konvensional dan jumlahnya menjadi Rp 608 juta (96 x Rp 6,33 juta) untuk KPR syariah yang tidak memberikan opsi pelunasan lebih cepat.

Kesimpulannya, bunga mengambang KPR konvensional sangat merugikan nasabah. Sementara KPR syariah yang memberikan opsi pelunasan lebih cepat, jika ada, sangat menguntungkan debitur.

 



TERBARU

×