kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kualitas diri atau reputasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 03 Desember 2015 / 15:41 WIB
Kualitas diri atau reputasi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi berupa pilkada serentak di seluruh Indonesia. Persisnya, pada 9 Desember 2015. Setiap kali ada pemilihan umum, entah itu di tingkat nasional ataupun daerah, kita selalu rajin berharap prosesnya berjalan dengan jujur, adil, dan akuntabel. Kita juga berdoa, agar semua bersaing dengan sehat, dan seluruh rangkaian kegiatan berjalan dengan terang benderang.

Namun, kenyataan seringkali menunjukkan bahwa harapan tinggal harapan, dan masih jauh panggang dari api. Kalau sudah terjadi hal-hal yang tak semestinya, satu jawaban saja sudah bisa menghadirkan sikap maklum dari banyak orang. Dan, jawaban yang dimaksud itu berbunyi: Ya, ongkos politik di Indonesia memang mahal!.

Mahalnya ongkos politik pada akhirnya menyemarakkan praktik pemburuan rente. Dengan peran dan akses politik yang dimiliki, seseorang bisa memperoleh bahkan menguasai sumber daya yang ada, entah itu kekuasaan ataupun uang. Isu papa minta saham yang ramai akhir-akhir ini hanyalah segelintir contoh yang mempertautkan akses politik dengan kekuasaan untuk mengambil keputusan strategis. Tentu, dengan embel-embel imbalan uang atau saham di belakangnya, yang nanti akan digunakan kembali untuk membiayai ongkos politik berikutnya.

Ongkos politik itu tak hanya ditujukan kepada pribadi-pribadi, juga komunitas dan organisasi politik yang melingkupinya. Nurcholis Madjid yang pernah berniat menjadi presiden di republik tercinta, akhirnya harus menyadari realitas sosial yang tak mengenakkan ini. Kata beliau, untuk menjadi presiden di republik ini, selain visi dan misi, seseorang harus mempunyai gizi. Apalagi yang dimaksud dengan gizi, kalau bukan urusan logistik dan keuangan?

Honore de Balzac (17991850), pemikir sekaligus penulis novel terkenal Prancis, pernah berujar, behind every great fortune, there is a crime. Mirip dengan kesimpulan yang diambil oleh Mario Puzo dalam novel klasik The God Father, bahwa behind a big business, there is always a big crime!

Walaupun belum tentu benar, pernyataan insinuatif tersebut menunjukkan kedekatan antara kekuasaan, uang, dan kejahatan. Tak perlu menyebutkan contoh, kita semua pasti mahfum bagaimana kekuasaan dimanfaatkan dengan penuh kejahatan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya uang.


Bukan rezeki
Di dalam dunia korporasi, praksis good corporate governance (GCG) menjadi salah-satu tuntutan utama dalam mengoperasikan bisnis. Tujuannya jelas, untuk memastikan keberlangsungan suatu usaha dengan cara yang etis dan bermartabat, sekalipun beroperasi di lingkungan yang rawan kejahatan dan kriminalitas. Jelas tidak mudah, namun inilah pilihan yang tak dapat dihindari oleh dunia usaha, khususnya perusahaan yang sudah mendaftarkan dirinya di lantai bursa sebagai perusahaan terbuka.

Sayang, wacana dan praksis GCG hingga saat ini belum begitu kuat bergaung di lingkungan lembaga sosial dan politik. Di dalam institusi-insitusi seperti ini, GCG tak lebih dari sekadar imbauan dan harapan, tapi belum menjadi sebuah tuntutan dan persyaratan. Lembaga politik khususnya selalu dianggap sebagai institusi yang cair, yang memberikan keleluasaan kepada pelakunya untuk melakukan negosiasi dan kompromi, tanpa merasa perlu untuk mengacu kepada aturan yang tegas serta batasan yang jelas.

Toh, lepas dari ada tidaknya tuntutan dan persyaratan secara formal, GCG pada dasarnya adalah pantulan karakter etis dari sebuah organisasi. Karakter etis yang ditunjukkan sebuah organisasi (juga seorang pribadi), pada gilirannya akan menciptakan kualitas diri yang disebut reputasi. Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika Serikat, pernah berkata, character is like a tree and reputation is like a shadow. The shadow is what we think of it, and the tree is the real thing.

Guru saya pernah mengatakan, reputasi bukanlah bagian dari rezeki. Seseorang bisa seketika tertimpa rezeki, entah itu dalam bentuk uang dan barang, namun tak pernah dalam bentuk reputasi. Seseorang bisa begitu beruntung mendapatkan lotere, yang tiba-tiba mengantarnya menjadi seorang miliarder. Sama halnya pula seseorang bisa mendadak memperoleh perabot mewah karena memenangkan undian. Tapi, sebuah reputasi tak bisa diperoleh dengan sekejap, seketika, dan secara mendadak. Reputasi dibangun dengan ketekunan menunjukkan kualitas-kualitas etis manusia, yakni berkata benar dan bertindak jujur.

Sekali orang mengerti bahwa perkataan kita banyak mengandung ketidakbenaran dan tindakan kita sarat dengan ketidakjujuran, seketika itu pula reputasi kita akan rest in peace. Alias, hilang tak berjejak.



TERBARU

×