kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Resolusi: Pede aja lagi!

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 07 Januari 2016 / 10:50 WIB
Resolusi: Pede aja lagi!

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Setiap kali memasuki awal tahun yang baru, banyak orang (secara terbuka ataupun diam-diam) merumuskan resolusinya masing-masing. Resolusi yang dimaksud umumnya berupa pencapaian yang ingin diraih di tahun yang akan datang. Yang masih karyawan biasa, ingin berubah menjadi manajer. Yang gajinya masih pas-pasan, ingin mengubah koceknya menjadi lebih tebal. Yang masih jomblo, ingin naik kelas menjadi pacar seseorang. Intinya, orang ingin berubah ke arah yang lebih baik, positif, dan membanggakan.

Dengan berbekal jargon kampanye Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, Change, we can!, orang dengan antusias menggenggam resolusinya masing-masing untuk mengawali tahun yang baru. Tapi, apa yang terjadi saat akhir tahun menjelang? Sejujurnya, tak banyak dari kita yang juga dengan antusias menagih hasil resolusi yang sudah dideklarasikan di awal tahun. Boro-boro menagih hasil, boleh jadi kita bahkan sudah lupa utang resolusi yang kita rumuskan di awal tahun.

Padahal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan resolusi sebagai putusan/kebulatan pendapat berupa permintaan/tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang) atau sebuah pernyataan tertulis yang biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Dalam konteks ini, resolusi bisa dimaknai sebagai kebulatan tekad seseorang yang dibangun di atas niat (nawaitu) yang kuat. Dengan kata lain, resolusi merupakan solid personal plan alias rencana pribadi yang sungguh-sungguh mantap.

Jika rencana tersebut begitu solid, mengapa pula sebuah resolusi jarang tercapai baik? Bahkan juga sering terabaikan? Dalam buku klasiknya, Execution: The Discipline of Getting Things Done (2002), guru manajemen Ram Charan dan Larry Bossidy mengatakan, seringkali sebuah agenda (bisnis) tak terwujud baik, bukan karena ketiadaan visi, strategi, ataupun rencana kerja yang baik. Namun, semata-mata karena eksekusi yang buruk, yang tidak menunjukkan komitmen yang tinggi juga tidak decisive.

Karena itu, jika sudah menetapkan resolusisekalipun dirumuskan dengan pemikiran yang matangtak berarti keberhasilan akan datang dengan sendirinya. Rencana yang matang tanpa disertai komitmen eksekusi yang kuat, ibarat kendaraan bermotor berkapasitas besar tapi tanpa bahan bakar. Komitmen laksana energi yang akan mengubah sebuah mimpi menjadi kenyataan.


Mengubah dunia
Ilustrasi tentang komitmen terlukis secara heroik dalam cerita tentara bernama Pheidippides, yang berlari dari arena pertempuran di Kota Marathon ke Athena tahun 490 SM, untuk mengabarkan warta kemenangan pasukan Yunani atas Persia. Sesampai di Athena, Pheidippides jatuh tersungkur dan meninggal dunia seketika setelah ia berhasil mengabarkan berita kemenangan kepada warga Yunani. Dan, jarak lari sepanjang 42,195 kilometer itulah yang menjadi acuan panjang lintasan lari maraton saat ini, untuk menghormati Pheidippides yang telah membayar komitmennya, bahkan dengan nyawanya sendiri.

Sementara tentang decisiveness, menarik untuk belajar dari kisah anyar sang juragan Facebook, Mark Zuckerberg. Awal Desember 2015, saat istrinya Priscilla Chan melahirkan putri pertama, Maxima. Mark mengumumkan donasi filantropis sebesar 99% dari nilai saham miliknya di Facebook (setara US$ 45 miliar) kepada Chan Zuckerberg Initiative. Chan Zuckerberg Initiative dibangun Mark dan Priscilla untuk mendanai proyek-proyek kemanusiaan di bidang kesehatan, pendidikan, dan pengembangan masyarakat di seluruh dunia.

Saat inisiatif ini diumumkan (tentunya berikut nilai donasi yang mereka berikan), sebagian orang berdecak kagum. Tapi, tak sedikit pula yang bertanya masygul sembari memendam rasa curiga. Salah satu kecurigaan terbesar adalah Mark sedang menghindari pajak, dengan mengonversi kekayaan bisnisnya tersebut ke dalam bentuk santunan sosial. Mana yang benar? Waktulah yang nanti akan membuktikan.

Namun yang jelas, Mark tahu bahwa dia mempunyai cita-cita untuk mengubah dunia (change the world). Ia memiliki mimpi untuk memperbaiki mutu pendidikan, pengobatan, dan fasilitas sosial yang lebih baik, sehingga tercipta peradaban manusia yang lebih baik pula. Mungkin banyak di antara kita bertanya penuh ragu, apakah mungkin seorang manusia mengubah dunia, sedang untuk mengubah diri sendiri dan lingkungan terdekat saja begitu sulit? Itulah kelebihan seorang Mark yang tinggal dan besar di Silicon Valley, sentra perkembangan teknologi dunia.

Di Silicon Valley, kota yang telah melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi digital, semisal Apple, Google, Intel, juga Facebook, mengubah dunia tak hanya sebuah jargon sloganistik semata. Di lembah mimpi tersebut, mengubah dunia adalah sebuah keyakinan. Mengubah dunia adalah sebuah kekuatan yang decisive, yang membuat seseorang berani dan mantap untuk melangkah! Jadi, kalau Anda sudah mempunyai resolusi, segeralah ayunkan langkah. Kata anak muda sekarang: Pede aja lagi!



TERBARU

×