kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Memberi yang sejati

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 14 Januari 2016 / 16:29 WIB
Memberi yang sejati

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: tri.adi

Salah satu elemen kepribadian yang paling mendasar sekaligus juga ikut mengarahkan perilaku manusia adalah motif. Ada juga yang secara populer menyebutnya sebagai kebutuhan (need) ataupun motivasi. Pada dasarnya motif merupakan dorongan yang terpendam di dalam diri manusia, entah di alam sadar (consciousness) ataupun alam bawah sadar (sub-consciousness), yang memiliki daya pengaruh besar terhadap kemunculan sebuah perilaku.

Pakar psikologi Abraham Maslow mengenalkan, bahwa manusia pada dasarnya memiliki lima jenis dorongan kebutuhan. Dari yang terendah hingga yang tertinggi, urutan kebutuhan itu adalah: (1) fisiologis, (2) rasa aman, (3) kasih sayang, (4) harga diri, dan (5) aktualisasi diri. Sementara, pakar lainnya, David McClelland, menjelaskan, tiga dorongan yang lazim muncul dalam diri seseorang yakni dorongan untuk meraih: (1) prestasi, (2) relasi sosial, (3) kekuasaan.

Motif manusia seperti halnya motor penggerak sebuah mesin, yang derajat energi dan tingkat kecepatannya berbeda-beda. Ada yang bergerak kalem dan datar seperti permukaan sungai yang tenang, namun ada pula yang penuh gemuruh dan kecamuk laksana magma gunung berapi. Dorongan manusia bisa bergerak mengalir biasa saja, juga bisa meledak tak terkendali. Jika ia bergerak biasa belaka, maka progres yang didapatkan tentu akan normal pula. Tapi, jika ia meledak tak terkendali, maka pencapaian yang diperoleh bisa jadi akan menghantam sana-sini tanpa peduli.

Lagi-lagi, cerita keserakahan dan korupsi yang melanda negeri ini (termasuk di dalamnya isu persekongkolan jahat) adalah sekadar contoh bagaimana dorongan manusia bisa bergerak tak terkendali. Bahkan, nyaris tidak masuk akal. Korupsi praktis tak ada urusannya dengan tingkat kecukupan ekonomi seseorang. Justru dari sisi tertentu, seolah-olah kedua hal tersebut berkorelasi secara linier. Lihat saja, semakin tinggi derajat kemapanan ekonomi seseorang, maka semakin besar pula uang korupsi yang dijarahnya, begitu sebaliknya.

Para arif bijaksana sering menganalogikan dorongan materialistik manusia, misal uang, kekuasaan, dan popularitas, dengan air laut. Artinya, tak pernah merasa tercukupkan. Saat seseorang mencoba memuaskan dahaga dengan air laut, alih-alih merasakan kesegaran, justru yang bersangkutan bertambah dahaga. Dorongan semacam ini hanya bisa meminta dan mendapatkan. Semakin memperoleh apa yang diminta, semakin ia ingin meminta lagi dan lagi. Semakin mendapatkan apa yang diburu, semakin ia ingin mendapatkan lagi dan lagi. Singkat kata, keinginan ini tak pernah mengenal kata cukup dan berkesudahan.


Tindakan memberi
Jenny Santi, dalam bukunya The Giving Way to Happiness: Stories and Science Behind the Life-Changing Power of Giving (2015), mengungkapkan hasil studi yang menarik. Intinya, kepuasan terdalam hidup seseorang atau lazim disebut juga kebahagiaan tidak terletak pada kesanggupan kita untuk meminta dan mendapatkan. Justru kepada keikhlasan untuk memberi dan melepaskan. Menurut Santi, tindakan memberi tak hanya mendatangkan manfaat bagi orang yang diberi, juga menghadirkan kegembiraan bagi sang pemberi.

Tindakan memberi, baik dalam bentuk uang, keahlian, waktu, perhatian, maupun cinta, telah membantu semua orang dari segala rentang usia menemukan tujuan, gairah, dan suka cita hidup mereka. Bahkan, tidak jarang jawaban atas segala persoalan yang melingkupi hidup seseorang terletak pada tindakan memberi.

Studi menunjukkan, altruisme (kebaikan hati) ternyata tak hanya sanggup mengatasi kehendak mementingkan diri sendiri. Tapi, juga bisa mengaktivasi syaraf-syaraf kegembiraan di otak. Sama halnya kegembiraan yang diperoleh lewat pemenuhan kebutuhan instinktif manusia, misalnya, makan dan seks. Kebaikan hati juga bisa menjadi cara yang sehat untuk menghadapi kekurangan pribadi, sekaligus juga sarana pemulihan diri yang efektif.

Secara nakal, seorang sahabat pernah bertanya nyinyir: Bagaimana dengan Robin Hood yang juga suka memberi. Hanya, ia memberi dari hasil rampasan yang didapatkannya. Sekalipun yang ia rampas adalah orang-orang kaya dan yang ia beri orang-orang miskin?. Tiba-tiba, saya teringat dengan pesan yang disampaikan oleh guru saya. Katanya, tindakan kita bisa menjadi sebuah berkat (blessing) ataupun sebaliknya bencana (disaster) bagi orang-orang di sekitar kita.

Dan, yang membedakan apakah tindakan dan hasil karya kita akan menjadi blessing ataupun disaster adalah nilai-nilai yang mendasarinya. Pastikan bahwa kita melandasi setiap niat dan tindakan dengan nilai-nilai kehidupan yang mulia, yang tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun terutama bagi sesama dan segenap makhluk di sekitar kita.

Dengan demikian, tindakan memberi hanya menjadi berkat bagi sesama, jika itu diambil dari kepemilikan kita sendiri. Tapi, jika itu adalah hasil pencurian ataupun perampokan dari orang lain (apalagi dari masyarakat, rakyat, dan negara), jelas namanya bukan memberi (giving). Mungkin lebih tepat disebut mencuci (laundering) hasil jarahan.



TERBARU

×