kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Lebih dahsyat efek harga minyak ketimbang bom

oleh Satrio Utomo - Kepala Riset Universal Broker Indonesia


Rabu, 20 Januari 2016 / 10:10 WIB
Lebih dahsyat efek harga minyak ketimbang bom

Reporter: Satrio Utomo | Editor: tri.adi

Bom meledak di Sarinah. Tadinya, saya berpikir membuat tulisan berbau nasionalis, karena komentar pasar atas bom cenderung ngawur: IHSG turun 1,7% karena bom Sarinah. Enggak liat, malam sebelumnya indeks Dow Jones Industrial (DJI) turun lebih dari 2% dan IHSG kebal terhadap aksi bom?

Kalau IHSG naik setelah ada peristiwa bom, apakah memberikan sentimen positif ke IHSG? Tentu tidak. Kejadian bom sebenarnya "dinanti" pasar, karena memberikan diskon besar satu hari (one day great sale). Kalau ada bom, pelaku pasar melakukan posisi beli, bukan jual

Sejatinya, kejatuhan harga minyak global lebih mengerikan dibandingkan bom Sarinah. Pada Jumat (15/1). DJI kembali terkoreksi 2,39%. Penyebabnya masih sama seperti sepekan terakhir: harga minyak WTI turun dan harga penutupan di bawah US$ 30 per barel, level harga yang sudah diprediksi sejak Agustus tahun lalu. Koreksi harga minyak menyebabkan DJI turun lebih dari 1.400 poin sejak awal 2016.

Sentimen negatif dari bursa global inilah, yang membuat IHSG gagal take off di Januari ini. IHSG yang sempat melanjutkan tren naik pada 3 hari pergerakan pertama di 2016 terhempas. Dana asing yang juga net buy selama 3 hari perdagangan, akhirnya berbalik menjadi net sell.

Kalau melihat harga minyak WTI US$ 29-US$ 30 per barel, sudah di level support. Jika gagal bertahan, potensi koreksi terlihat hingga US$ 17,5-US$ 20. Potensi koreksi DJI saat ini hingga level psikologis, 15.000.

Tenang, potensi koreksi IHSG tidak seseram DJI. Minimnya pemodal asing, menjadikan pasar didominasi pemodal lokal, yang masih optimistis, pertumbuhan ekonomi bisa di atas 5%, seperti 10 tahun terakhir. Itu sebabnya, potensi koreksi IHSG hanya 4.200-4.300. Minimal.. IHSG masih bertahan di atas level psikologis 4.000.

Meski saya optimistis, itu penuh keraguan. Saya sebenarnya sangat tertarik dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Rakernas PDIP lalu: Pembekuan Petral. Tapi, terkait bahan bakar minyak (BBM) subsidi, Presiden Jokowi belum tegas dan berani. Kalau sudah tegas, dan sudah berani ini yang terjadi

Satu, disparitas harga BBM luar negeri dan dalam negeri tidak selebar sekarang. Dua, harga BBM subsidi lebih transparan, tidak seenaknya seperti sekarang. Tiga, merangkul masyarakat (terutama pedagang) agar sadar harga. Maksudnya, harga barang dan jasa bisa bergerak lebih wajar dan tidak semena-mena.

Empat, perekonomian lebih efisien. Masyarakat harus diajarkan, agar memperoleh uang lebih banyak, hanya bisa dengan bekerja lebih keras. Bukan dengan praktik riba, menahan harga, menzalimi petani, menciptakan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan,

Pembangunan tak hanya dilakukan presiden atau pucuk pimpinan negeri,, berupa paket kebijakan sebulan sekali itu. Pembangunan juga oleh orang-orang di lapis kedua (setingkat menteri), ketiga (gubernur) dan seterusnya.

Pasar modal masih didera sentimen negatif luar negeri, koreksi global dan harga minyak. Celakanya, pasar juga didera masalah internal, seperti fraksi harga tidak ramah terhadap investor ritel dalam negeri, investor asing cenderung wait and see akibat ekonomi belum pasti. Lalu ada tekanan di saham-saham komoditas, tingginya biaya yang tidak perlu dan belum jelasnya lintas arus modal pasca berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Level presiden sudah bagus. Level menteri? Anda pernah melihat Menteri Keuangan tertarik pasar modal? Otoritas Jasa Keuangan? Bursa Efek Indonesia? Mana fraksi harga yang katanya mau kembali merangkul investor ritel? Saya tidak yakin.

Satu hal yang ingin saya tekankan, sentimen global terkait harga minyak, belum tentu memberikan sentimen negatif bagi Indonesia,. Penurunan harga minyak memang mengurangi pendapatan pemerintah. Namun, jika diikuti penurunan harga BBM, pengaruh terhadap peningkatan ketersediaan dana masyarakat untuk konsumsi, bisa meningkatkan aktivitas perekonomian.

Masalahnya, penetapan harga BBM responsif terhadap harga minyak? Memangnya pemerintah transparan mengambil untung dari penurunan harga BBM global? Memang masyarakat yang saat ini tidak ikut menurunkan harga saat harga BBM turun, siap juga tidak menurunkan harga, ketika harga BBM naik mengikuti harga minyak dunia?

Sentimen negatif bursa global, memberikan warning, kondisi tidak sebagus yang kita harapkan. Namun sejauh ini, saya masih tetap optimistis, meski sulit, karena yang berniat besar membangun, baru sebatas presiden.

Semoga revolusi ini tidak berhenti di tengah jalan



TERBARU

×