kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Ted Leonsis, Aol Groupon dan NHL

oleh Jennie M. Xue, - Kolumnis serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, tinggal di California


Rabu, 10 Februari 2016 / 16:24 WIB
Ted Leonsis, Aol Groupon dan NHL

Reporter: Jennie M. Xue, | Editor: hendrika.yunaprita

Pengalaman menjadi guru terbaik untuk perubahan. Seperti yang dialami oleh Mantan Chief Executive Officer (CEO) America Online (AOL) internet provider di era Web 1.0 Ted Leonsis pada masa kemunduran AOL setelah merger dengan Time Warner. Keruntuhan kerajaan AOL sesungguhnya mengundang tanda tanya: bagaimana bisa?

Dalam beberapa wawancara, Leonsis menyampaikan bahwa penyebab utama keruntuhan AOL pasca merger adalah perbedaan kultur antara AOL dan Time Warner. Ide untuk merger itu sendiri benar, menurut Leonsis. Namun, pelaksanaannya kurang tepat. Ide konvergensi sangat jenius, sayang eksekusinya tidak sesuai dengan kultur.

Padahal, valuasi AOL saat itu adalah US$ 350 miliar. Merger secara legal dilakukan pada 10 Januari 2000. Culture determines the future. Kultur menentukan masa depan, demikian pelajaran yang paling berharga. Kultur dalam perusahaan maupun kultur eksternal menentukan bagaimana masa depan bisnis.

Membangun kultur yang produktif dan kondusif terhadap inovasi merupakan pekerjaan rumah bagi setiap manajer dan tim, dan ternyata bahkan perusahaan sebesar Time Warner sekalipun gagal mengambil inti sari spirit AOL yang membawanya kepada sukses di awal berdiri.

Dengan berbekal kegagalan AOL, Ted Leonsis kini memimpin Groupon bersama dengan pendirinya Andrew Mason. Gelembung dotcom yang pecah tahun 2001 merupakan pelajaran berharga bagi industri dotcom dan terutama Leonsis.

Valuasi Groupon ketika IPO di November 2012 mencapai US$ 17 miliar, sedangkan kini hanya US$ 3 miliar. Tidak seberapa besar penurunannya, dibandingkan dengan AOL yang bervaluasi awal US$ 350 miliar. Groupon kini fokus pada pasar tertentu dan membatasi diri agar tidak terlalu besar terlalu cepat.

Gebrakan Leonsis terbaru adalah mendirikan Monumental Sports and Entertainment, yang memegang saham terbesar National Hockey League's Washington Capitals (NHL), National Basketball Association's Washington Wizards (NBA), the Women's National Basketball Association's Washington Mystics (WNBA) dan stadium olah raga Verizon Center di Washington, D.C.

Selain bisnis olah raga, ia juga berbisnis film. Satu film yang diproduserinya melalui SnagLim adalah Nanking dokumenter berdasarkan buku The Rape of Nanking yang ditulis oleh almarhumah Iris Chang. Film ini memenangkan 2009 News and Documentary Emmy Award.

Leonsis dikenal sebagai pemimpin yang ringan tangan, alias bersedia membantu secara fisik dengan tangan sendiri. Dalam buku memoarnya The Business of Happiness, ia menyarankan tiap orang berbahagia (alias mempunyai positivitas tinggi), karena positivitas merupakan motor untuk sukses. Jadi, bukan karena seseorang sukses baru menjadi bahagia. Hipotesis ini sejalan dengan pemikiran Martin Seligman, Shawn Achor, dan pakar Psikologi Positif lain. Prinsip ini merupakan basis dalam kultur organisasi-organisasi yang didirikannya.

Salah satu bukti kesungguhan Leonsis dalam menjalankan hidup dan bisnis dengan prinsip positivitas adalah ketika seorang tunawisma menghabiskan malam hari di luar stadium Verizon Center. Berempati, Leonsis mempekerjakannya sebagai staf dapur paruh waktu. Tunawisma ini dibayar standar upah, serta diberikan tempat tinggal dan kaki prostetik. Sebagai staf, ia diberi akses untuk menonton pertandingan Capitals. Pria tunawisma ini sebagai balas budi berjanji untuk tetap hidup sehat tanpa alkohol.

Leonsis mempunyai prinsip hidup yang mempengaruhi bisnisnya, di mana ia juga mempunyai scorecard bagi gol-gol pribadinya. Memiliki keluarga yang berbahagia dan perusahaan yang go public merupakan gol-gol penting dalam hidupnya.
Sepak terjang Leonsis sangat menarik untuk dijadikan studi kasus kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin perusahaan dotcom terbesar di dunia terpuruk, dan bangkit secara gemilang.

Kini ia bukan hanya seorang teknokrat, namun juga seorang pebisnis yang mempunyai interes dalam bidang olah raga, perfilman, dan berbagai dotcom lainnya.

Sebagai pribadi dan pemimpin, ia percaya akan kekuatan kultur sebagai jiwa organisasi. Dengan kultur yang tepat, masa depan bisa diraih. Kultur itu berbasis positivitas dan empati. Dan scorecard merupakan basis refleksi masa depan berdasarkan evaluasi masa lampau.

Semangatnya dalam berkontribusi bagi publik, tampak jelas dengan pilihan-pilihan topik film yang diproduksinya. Kesiapannya membantu dengan empati yang tulus, dan kesungguhan bangkit setelah gagal.



TERBARU

×