kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Infrastruktur untuk masa depan

oleh Bely Utarja - Center for Infrastructure Development, Prasetiya Mulya Business School


Senin, 27 Agustus 2012 / 00:00 WIB
Infrastruktur untuk masa depan

Reporter: Bely Utarja | Editor: djumyati

Kata “infrastruktur” mengacu pada banyak hal dari berbagai disiplin ilmu. Ilmu ekonomi, manajemen, keuangan, hukum, politik, sosial, lingkungan hidup, bahkan budaya, memiliki cara pandangnya sendiri. Namun, umumnya, semua sepakat bahwa ketersediaan infrastruktur dapat menjaga dan mendorong pertumbuhan.

Jalan, rel kereta api, pelabuhan, bandara, dan jaringan telekomunikasi memberikan akses konektivitas yang mempersempit jarak dan waktu. Pembangkit listrik, jaringan listrik, dan jaringan air bersih menyediakan sumber daya dan fasilitas dasar yang diperlukan. Infrastruktur pun dapat menjadi basis bagi tumbuh dan beroperasinya infrastruktur lain. Misalkan, telekomunikasi untuk internet untuk world wide web dan akhirnya untuk jaringan virtual sosial. Infrastruktur terakhir ini pada gilirannya membuka kesempatan untuk tumbuhnya model-model bisnis ataupun komunitas baru.

Tata kelola juga dapat dipandang sebagai suatu infrastruktur untuk munculnya berbagai keputusan demi pencapaian tujuan suatu sistem organisasi. Hasil-hasil penelitian dan institusi-institusi pendidikan pun merupakan infrastruktur dalam menumbuhkan inovasi-inovasi baru. Pendek kata, infrastruktur adalah tulang punggung yang akan menentukan tingkat kehidupan dan daya saing suatu negara.

Dengan alasan itulah, di tengah ancaman resesi dunia saat ini, baik negara maju maupun berkembang tetap berusaha melakukan investasi infrastruktur. Keterbatasan dana tidak menyurutkan langkah pemerintah negara-negara tersebut, tetapi justru menjadi pemicu kebijakan dan inovasi dalam menarik pembiayaan dari pasar finansial. Manfaat yang lebih besar dibanding biaya dijadikan dasar untuk justifikasi pembangunan dan pembiayaan.

Namun demikian, pembangunan dan operasionalisasi infrastruktur, terutama yang berskala besar, bukanlah tanpa risiko. Kompleksitas infrastruktur menyebabkan faktor risiko tidak hanya muncul dari hal teknis, tetapi juga dari hukum, sosial, ekonomi, lingkungan hidup, dan bahkan politik. Hal ini menuntut pendekatan multidisiplin yang komprehensif terhadap perencanaan dan penyusunan langkah-langkah kontinjensi, terkait dengan pembangunan dan operasionalisasi infrastruktur. Panjangnya siklus infrastruktur pun menambah kompleksitas tersebut karena adanya faktor-faktor risiko yang belum teridentifikasi saat ini.

Pengurangan risiko

Boleh jadi, kelembaman pembangunan infrastruktur di Indonesia mengindikasikan perlunya penguatan perencanaan yang komprehensif ini. Permasalahan legal dan sosial banyak menghadang pelaksanaan konstruksi, apalagi bila melibatkan pembebasan lahan yang cukup luas. Munculnya teknologi yang lebih ramah lingkungan dan murah di masa mendatang dapat mengancam kelangsungan operasionalisasi pembangkit-pembangkit berenergi fosil yang ada. Pembangunan jalan alternatif dapat menurunkan jumlah kendaraan yang melalui jalan tol.

Perubahan peraturan perundangan bisa mengubah proyeksi pendapatan pihak swasta yang terlibat dalam pembiayaan infrastruktur melalui skema kerjasama dengan pemerintah. Perubahan konstelasi perdagangan dunia bisa mempengaruhi trafik melalui suatu pelabuhan. Kecenderungan infrastruktur untuk tumbuh dari suatu sistem menjadi jaringan dan akhirnya menjadi kumpulan jaringan, menyebabkan faktor-faktor risiko bisa muncul dari tempat yang jauh dan tidak terduga. Hal itu hampir sama dengan kolapsnya perbankan di banyak negara akibat transmisi kejadian risiko yang bersumber dari kombinasi kegagalan bayar subprime mortgage dan jatuhnya nilai perumahan di Amerika Serikat.

Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa risiko dapat muncul dari titik yang paling awal, identifikasi proyek. Hal ini terjadi di banyak negara, termasuk negara maju. Optimisme pemrakarsa dapat menimbulkan bias positif terhadap manfaat proyek serta bias negatif terhadap biaya dan risiko proyek. Konsultan yang mendapatkan imbalan berdasarkan keberhasilan penetapan proyek dalam daftar prioritas akan berusaha membuat proyek tersebut menjadi lebih tampak layak.

Kelemahan dalam tata kelola identifikasi dan perencanaan proyek semacam ini dapat menimbulkan risiko-risiko pada saat pembangunan maupun operasionalisasi. Pilihan politik untuk maju terus untuk menyelesaikan proyek infrastruktur dalam keadaan ini akan menimbulkan peningkatan biaya yang sangat besar.

Pengurangan risiko dari suatu proyek infrastruktur dapat dikurangi dengan pendekatan perencanaan yang komprehensif dan tata kelola perencanaan yang baik. Hal ini sangat relevan bagi Indonesia mengingat pemerintah memiliki rencana besar infrastruktur untuk menguatkan konektivitas nasional sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi utama di keenam koridor ekonomi Indonesia terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global.

Indikasi nilai investasi infrastruktur dalam rangka Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ini pada bulan Juli 2012 mencapai Rp 2.452 triliun dari 1.249 proyek. PPP Book Bappenas 2012 memuat 58 proyek infrastruktur dengan nilai US$ 51,2 miliar. Sifat irreversible dan path dependence dari pengembangan infrastruktur membuat implementasi pembangunan tersebut merupakan suatu pertaruhan yang besar. Wajah ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia selama beberapa dekade ke depan akan sangat dipengaruhi oleh infrastruktur-infrastruktur ini.

Wajah tersebut akan ditentukan oleh filosofi pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, sistem irigasi persawahan di Bali memiliki filosofi Tri Hita Karana, harmoni hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia lain. Sementara, Filosofi jalan raya pos Daendels adalah ketahanan kekuasaan Hindia-Belanda di Pulau Jawa dengan biaya rakyat pulau tersebut.           



TERBARU

×