kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Memahami aksi rights issue

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert-Prasetiya Business School


Kamis, 17 Maret 2016 / 17:45 WIB
Memahami aksi rights issue

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: mesti.sinaga

Anak Usaha Astra Siap Rights Issue. Demikian headline Harian KONTAN pada Sabtu (12/3) lalu.

Selama ini, selalu ada pertanyaan mengenai rights issue masuk ke mailbox saya. Maklumlah aksi korporasi ini memang penting dan sering dilakukan oleh perusahaan publik.

Apakah rights issue madu atau racun bagi investor? Mari kita review kembali pengetahuan kita tentang right issue.

Semua bermula dari kebutuhan dasar sebuah korporasi agar bertumbuh. Untuk bertumbuh, mereka membutuhkan dana. Ada tiga sumber pendanaan korporasi.

Ketiganya adalah laba bersih yang tidak dibagikan kepada pemegang saham (laba ditahan), berutang (ke bank atau menerbitkan obligasi) dan menambah modal ekuitas.

Bagi perusahaan publik, cara menambah modal ekuitas bisa melalui sistematika dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMEDT).

Jika menambah modal dengan HMETD, perusahaan memberikan hak kepada seluruh pemegang saham saat ini untuk membeli saham baru secara proporsional.

Misalnya saja, Abeng adalah pemegang 50% saham, maka ia berhak membeli 50% dari saham baru yang ditawarkan. Proses ini seringkali disebut rights issue atau rights offering.

Jika menambah modal tanpa HMETD, perusahaan menawarkan saham barunya kepada publik. Cara ini sering disebut private placement.

Menambah modal ekuitas perlu persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK) dan pemegang saham perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Mengapa harga saham biasanya turun pasca aksi rights issue? Karena pada proses rights issue, satu unit saham baru biasanya dijual di bawah harga pasar.

Misalnya, harga pelaksanaan rights issue sebesar Rp 1.500, padahal harga pasar saham adalah sebesar Rp 2.000 per unit. Jika ada tambahan saham baru tetapi uang yang masuk ke perusahan di bawah harga pasar, nilai dan harga per saham otomatis turun.

Mengapa saham baru tidak ditawarkan di atas harga pasar? Jawabannya mudah, siapa yang mau beli?

Supaya lebih jelas, taruh kata sebuah perusahaan memiliki 1.000 unit beredar dengan harga pasar sebesar  Rp 1.000. Maka kapitalisasi pasarnya adalah Rp 1 juta.

Aseng memiliki 500 saham atau 50% kepemilikan. Maka total kekayaan Aseng adalah Rp 500.000. Lalu perusahaan menerbitkan 1.000 unit saham baru melalui rights issue dengan harga diskon, Rp 800 per saham. Artinya bakal ada tambahan Rp 800.000 ke aset perusahaan, tapi jumlah saham perusahaan yang beredar menjadi 2.000.

Jika Aseng tidak membeli saham baru ini maka kepemilikannya di perusahaan tersebut akan menurun menjadi 25% (dari 500 dibagi 2.000 saham). Harga per saham akan otomatis turun menjadi Rp 900 (dari Rp 1.000.000 ditambah Rp 800.000 kemudian dibagi 2.000 saham).

Aseng juga akan mengalami dilusi kekayaan sebesar Rp 50.000, karena total nilai sahamnya kini hanya Rp 450.000 (dari 500 saham dikalikan Rp 900).

Agar tidak rugi akibat dilusi, pemegang saham harus membeli saham baru itu secara proporsional. Bila Aseng membeli 50% dari saham baru yang ditawarkan, yaitu 500 unit, maka ia tetap memiliki 50% saham perusahaan (dari 1.000 dibagi 2.000 saham).

Kekayaan Aseng tak berkurang, karena ia kini memiliki 1.000 unit saham bernilai Rp 900.000. Angka ini setara dengan kekayaannya semula, yakni Rp 500.000 ditambah dana baru sebesar Rp 400.000 untuk membeli 500 saham baru melalui rights issue.

Bagaimana jika pemegang saham tidak memiliki dana untuk membeli saham baru? Atau bagaimana jika ia tidak bersedia menambah persentase kepemilikannya di perusahaan tersebut?

Ada mekanisme pengalihan hak. Atau dengan kata lain HMETD bisa dijual kepada investor lain yang berminat menjadi pemegang saham.

Hal ini, misalnya, pernah dilakukan pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas saat rights issue Bank Mandiri pada awal tahun 2011 silam.

Dalam hal ini, uang dari penjualan HMETD diharapkan bisa menutupi efek dilusi nilai saham, tapi pemegang saham harus siap menghadapi konsekuensi penurunan persentase kepemilikan. Pada rights issue Bank Mandiri, pemerintah sengaja menurunkan kepemilikan dari 67% menjadi 60%.

Investor ritel lebih khawatir penurunan kekayaan daripada penurunan persentase kepemilikan. Tapi bagi pemegang saham mayoritas atau pengendali, penurunan persentase kepemilikan menjadi isu yang amat penting. Mereka ingin memastikan bahwa pasca rights issue, kepemilikan masih di atas 50%.

Investor ritel sebaiknya mencermati tujuan rights issue sebuah korporasi. Jika investor ritel merasa tidak nyaman dengan aksi tersebut, sebaiknya tidak melaksanakan hak mereka untuk membeli saham baru.

Hak yang investor miliki bisa dijual, untuk mengurangi kerugian yang terjadi akibat penurunan harga saham pasca rights issue.

Jangan menganggap enteng rights issue. Aksi korporasi ini bisa membikin harga saham terjungkal. Misalnya, pertengahan tahun 2010 lalu, harga saham PT Bumi Resources, Tbk (BUMI) turun tajam gara-gara rencana rights issue.

Ternyata sebagian investor Grup Bakrie tersebut galau, karena harus menyuntikkan dana baru guna menghindari dilusi. Mereka mempertanyakan efektifitas penggunaan dana dari rights issue. Sebagian investor kurang setuju dengan aksi korproasi ini. Lantas melepas saham BUMI mereka.



TERBARU

×