Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati
Membicarakan Warren Buffett, investor paling sukses sejagat, tidak bisa lepas dari nama Philip Arthur Fisher (1907-2004). Bahkan, Buffett sendiri kerap mendeskripsikan dirinya sebagai "85% Benjamin Graham dan 15% Philip Fisher.”
Kita tahu Graham adalah bapak strategi investasi jangka panjang yang disebut “Value Investing.” Itu adalah strategi yang mencari saham bagus dengan harga murah. Lalu siapa Fisher? Seperti apa strategi investasinya?
Fisher adalah investor saham yang juga penulis buku terkenal “Common Stocks and Uncommon Profits.” Dia mengelola perusahaan investasi, dan rajin membeli saham-saham perusahaan inovatif yang didukung research and development (R&D). Padahal, saat itu nama Silicon Valley belum dikenal orang.
Dari pilihan sahamnya, strategi investasi Fisher mendapat istilah “Growth Investing.” Strategi ini berupaya mencari saham perusahaan yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi. Investor akan menikmati keuntungan besar, saat perusahaan berhasil merealisasi potensi pertumbuhannya.
Satu contoh koleksi Fisher adalah saham perusahaan kecil pembuat radio yang dibeli tahun 1955. Saat itu, ia dikritik karena terlalu spekulatif. Belakangan, perusahaan itu tumbuh gila-gilaan. Namanya Motorola.
Sama seperti value investing, strategi growth investing membutuhkan waktu untuk menganalisis fundamental perusahaan, yakni potensi pertumbuhannya, serta kesabaran dalam memegang saham. Fisher, misalnya, tidak pernah menjual saham Motorola, hingga ia meninggal.
Dalam bukunya, Fisher memberi panduan kualitatif untuk memilih saham perusahaan yang dikelola dengan baik dan memiliki prospek pertumbuhan. Misalnya, apakah perusahaan memiliki produk atau jasa dengan potensi pasar yang cukup besar untuk mampu menumbuhkan penjualan selama beberapa tahun? Apakah manajemen perusahaan memiliki determinasi untuk mengembangkan produk baru untuk mendorong pertumbuhan penjualan? Seberapa efektif dan efisien R&D perusahaan?
Meski sangat memperhatikan potensi pertumbuhan, Fisher tidak melupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham. Besaran profit margin (persentase laba bersih yang dihasilkan dari penjualan) perlu juga diperhatikan. Semakin besar profit margin, semakin bagus. Profit margin 25%, misalnya, berarti setiap penjualan senilai Rp 100 penjualan, mendatangkan laba bersih Rp 25. Profit margin ditentukan oleh kemampuan perusahaan menjual atau meminimalkan biaya.
Apa yang sedang dilakukan perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan profit margin? Fisher menekankan bahwa yang penting bukan profit margin di masa lalu, tetapi masa mendatang. Mengapa? Inflasi akan meningkatkan biaya, sedang kompetitor akan terus menekan penjualan perusahaan. Maka, investor harus memperhatikan strategi perusahaan untuk menekan biaya dan meningkatkan profit margin secara jangka panjang.
Ada panduan lebih sederhana untuk mencari saham bertumbuh, yakni melihat pertumbuhan laba bersihnya per saham (earnings per share atau EPS), secara historis maupun ekspektasi. Untuk data historis lebih mudah ditemukan, misalnya dari website www.reuters.com.
Saham bertumbuh harus memenuhi kriteria pertumbuhan laba bersih minimal per tahun tertentu, tergantung ukurannya.
Perusahaan kecil pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lebih pesat dibanding perusahaan besar. Sebagai rule of thumb, untuk saham di BEI kita bisa menggunakan pertumbuhan laba bersih per tahun, selama 5 tahun terakhir, sebesar 25% untuk perusahaan besar, 30% per tahun untuk perusahaan kecil dan 35% untuk perusahaan kecil.
Dengan kriteria ini kita, misalnya, bisa mengategorikan ASII (pertumbuhan EPS 37%/tahun), SMGR (25%), JSMR (24%), INTP (43%), BMRI (35%), INDF (35%), BSDE (47%) sebagai saham bertumbuh.
Namun kriteria yang lebih baik adalah ekspektasi pertumbuhan EPS. Perusahaan yang bertumbuh cepat di masa lalu, belum tentu bisa mempertahankan pertumbuhan tersebut di masa mendatang. Contoh saham EXCL yang EPS-nya bertumbuh 29% per tahun secara historis. Apakah EXCL mampu bertumbuh secepat ini di masa mendatang di tengah ketatnya persaingan industri telekomunikasi menjadi tanda tanya besar. Jadi, perlu waktu ekstra untuk mengestimasi potensi pertumbuhan di masa mendatang.
Yang menarik adalah, bagi growth investor, tidak tabu untuk membeli saham dengan price earnings ratio (PER) tinggi. Syaratnya adalah perusahaan tersebut memang memiliki potensi pertumbuhan besar untuk menjustifikasi harganya yang tinggi. Ini berbeda dengan strategi value investing yang biasanya menguber saham dengan PER rendah.
Saham bertumbuh (growth stock) bagus untuk melengkapi saham bernilai (value stock) di portofolio Anda. Ada kepuasan tersendiri jika bisa menemukan saham bertumbuh yang harganya super miring karena perusahaannya belum terkenal. Selamat berburu.