kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

It takes two to tango

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert-Prasetiya Business School


Selasa, 05 April 2016 / 19:23 WIB
It takes two to tango

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Direktur Utama PT. Agung Podomoro Land Tbk (APLN) Ariesman Widjaja ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada anggota DPRD DKI Jakarta. Uang suap diberikan terkait pembahasan rancangan peraturan daera (raperda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil DKI Jakarta tahun 2015-2035 dan Raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis kawasan pantai Jakarta Utara.

Pemegang saham APLN boleh deg-degan dengan aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . Reputasi APLN sebagai perusahaan yang baik, tercoreng. Pelaku pasar akan segera menganalisis dampak negatif aksi KPK ini terhadap nilai saham APLN. Diperkirakan harga saham APLN akan tergerus.

Hal yang berarti sama terjadi saat, misalnya, Tesco, yang terbongkar melakukan manipulasi laporan keuangan. Harga saham perusahaan yang juga dimiliki oleh Warren Buffett ini langsung terjun bebas. Warren Buffett-mengakui, dia telah membuat kesalahan karena tidak segera menjual, saham Tesco setelah kasus terungkap.

Investor saham bisa berharap, tindakan KPK ini bukan yang terakhir. Akhir-akhir ini lembaga anti korupsi tersebut rajin mengejar para pelaku penyuapan, tidak hanya oknum penerima suap. Maka bertambah satu variabel ketidakpastian bagi investor saham: korupsi yang dibongkar oleh KPK.

Kita tentu salut dan mendukung upaya KPK menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Sudah seharusnya manajemen perusahaan menjalankan bisnis mereka secara profesional, taat hukum dan beretika.

Menyuap untuk memperoleh keuntungan besar dalam berbisnis adalah tindakan curang yang tidak akan membuat perusahaan panjang umur (sustain). Bisnis yang dijalankan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang buruk, hanya menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tindakan KPK bisa menjadi wake up call bagi para pelaku bisnis agar mereka lebih memperhatikan good corporate governance (GCG). Semoga mereka sadar, hal-hal yang terlanjur dianggap “normal” seperti menyuap dalam berbisnis adalah sebuah pelanggaran serius.

Korupsi sendiri masih menjadi masalah besar di Indonesia. Menurut Corruption Perceptions Index (PCI) tahun 2015 yang dilansir Transparency International, Indonesia menduduki peringkat ke-88, kalah jauh dibandingkan Singapura (peringkat 8) maupun Malaysia (54) dan Thailand (76).

Jika sektor publik di suatu negara kurang bersih, maka sulit diharapkan tata kelola perusahaan akan baik. Ingat pepatah popular “It takes two to tango”? Dibutuhkan dua orang untuk melakukan sebuah perbuatan negatif. Jika ada oknum penerima suap, pasti ada oknum penyuap. Apabila pejabat pemerintah atau institusi publik tidak bersih, sulit bagi perusahaan menjalankan bisnis mereka dengan cara bersih.

Ambil contoh TeliaSonera, sebuah perusahaan yang 37% sahamnya milik Pemerintah Swedia yang menduduki ranking 3 di PCI-2015. Perusahaan ini ditengarai menggelontorkan jutaan dollar uang suap untuk melancarkan bisnisnya di Uzbekistan (peringkat 153 di PCI-2015). Swedia tidak sendirian.

Menurut Transparency International, perusahaan multinasional dari separuh negara anggota The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) diduga melakukan suap untuk melancarkan bisnis mereka di negara yang peringkat korupsinya relatif buruk.

Saat berkotbah tentang pentingnya good corporate governance, saya sering ditanya para eksekutif perusahaan, “Jika kami tidak menyuap, kami tidak akan menang tender karena pesaing semuanya menyuap. Cepat atau lambat perusahaan kami akan mati. Bagaimana nasib karyawan dan keluarganya?”

Maka logika yang mereka pakai adalah demi kelanggengan bisnis, menyuap untuk menang tender adalah “dosa putih”, pelanggaran demi tujuan yang mulia. Tentu saja saya tidak setuju. Tujuan mulia harus dicapai dengan cara mulia. Jika terbiasa dengan cara-cara tidak etis, perusahaan anda akan mati saat lingkungan bisnis sudah lebih bersih dari korupsi.

Bagi investor saham berwawasan jangka panjang, dalam memilih saham, aspek GCG sama pentingnya dengan aspek finansial, seperti profitabilitas, solvabilitas dan sebagainya. Percuma kita menyimpan saham perusahaan tersebut, jika suatu ketika perusahaan bangkrut karena kecerobohan manajemen. Ambil contoh Lehman Brothers yang bangkrut di usia 158 tahun karena manajemen mengabaikan prinsip GCG.

Kita bisa mencermati apakah perusahaan yang akan kita beli menjalankan prinsip-prinsip GCG seperti: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas (baca: mematuhi hukum), independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Jika perusahaan tersebut mempunyai catatan jelek dalam satu dari lima hal tersebut, lupakan sahamnya.

Dengan menghindari saham perusahaan yang buruk tata kelolanya, investor bisa berpartisipasi menciptakan Indonesia yang lebih bersih, baik di tataran publik maupun korporasi.

Seperti pepatah “It takes two to tango” dalam konotasi positif, public governance dan corporate governance perlu diperkuat secara simultan, karena keduanya saling mempengaruhi.



TERBARU

×