kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Purpose dan passion

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 26 April 2016 / 17:10 WIB
Purpose dan passion

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Saat berbicara tentang daya saing sebuah negara, mau tidak mau kita akan berdiskusi mengenai produktivitas masyarakatnya. Sebagai negara yang ngebet meningkatkan level competitiveness, belakangan komunitas bisnis dan pelaku industri kita rajin menyuarakan wacana produktivitas.

Maklum saja, kita sekarang sedang hidup dan bersaing di kampung global tanpa sekat, yang memungkinkan arus uang dan pekerja lalu-lalang lintas negara dengan leluasa. Yang terakhir dan baru diberlakukan pada akhir 2015 tentu saja adalah MEA atawa Masyarakat Ekonomi ASEAN. Begitu vitalnya urusan produktivitas, wacana ini juga tak luput dari perhatian berbagai kalangan saat pemerintah menerapkan regulasi pengupahan pekerja.

Tentu, sudah banyak buku yang menuangkan definisi dan formula produktivitas. Paling lazim, produktivitas dirumuskan sebagai satuan yang membandingkan antara output (keluaran) dan input (masukan) suatu proses bisnis. Mengacu kepada formula tersebut, beberapa rasio yang seringkali digunakan sebagai indikator produktivitas antara lain volume produksi/bulan, angka penjualan/area, atau nilai keuntungan perusahaan/karyawan.

Terlepas dari statistika perhitungan produktivitas yang cukup rumit (dan oleh karenanya acapkali menimbulkan perdebatan), guru saya mempunyai pemaknaan yang menarik tentang produktivitas, khususnya pekerja yang produktif.

Begini katanya, pekerja yang produktif adalah pekerja yang setiap Jumat malam menyesal karena besoknya libur, dan setiap Minggu malam tak sabar menunggu datangnya hari Senin. Menarik bukan? Dan yang jelas, ini berkebalikan dengan kebanyakan orang yang justru tak sabar menunggu datangnya hari Jumat serta galau menyongsong kehadiran hari Senin.

Pekerja produktif dalam definisi ilustratif di atas adalah mereka yang bekerja melampaui batas-batas perhitungan transaksional dan kontrak formal. Ia bekerja tak semata-mata dengan perhitungan imbalan penghasilan yang diterimanya, ataupun sekadar mengikuti job-description-nya secara formal.

Ia juga bukan sosok yang bekerja dengan kegelisahan, yang selama waktu kerja rajin menoleh ke arah jam tangan untuk mencari tahu berapa lama lagi waktunya untuk pulang.

Abundant organization

Pekerja seperti ini dalam kajian manajemen kontemporer, seringkali disebut sebagai pegawai yang actively-engaged, yakni secara aktif terlibat dan terikat kepada pekerjaan dan perusahaannya. Pertanyaannya, adakah pekerja seperti ini?

Dalam bukunya The Why of Work (2010), pakar manajemen sumber daya manusia Dave Ulrich dan Wendy Ulrich mendorong para pemimpin membangun organisasi yang mampu menghadirkan makna (meaning) dalam diri setiap pekerjanya. Mereka menyebut organisasi seperti ini sebagai abundant organization.

Di dalam abundant-organization, lingkungan dan budaya organisasi memampukan karyawan mewujudkan aspirasi sekaligus mengerahkan segenap energi untuk menghasilkan kinerja terbaik bagi organisasi. Para pemimpin di dalam organisasi ini menyadari bahwa ada dua elemen utama yang harus dibangun di dalam diri pekerjanya, agar mereka bisa actively-engaged dalam berkarya.

Pertama, purpose atawa tujuan, yang menjelaskan mengapa seseorang bekerja (why of work). Memahami mengapa kita bekerja (why) adalah jauh lebih penting daripada memikirkan bagaimana kita bekerja (how). Filsuf besar asal Jerman Nietzsche pernah berujar, He who has a WHY to live can bear with almost any HOW. Orang yang mengerti alasan mengapa ia melakukan sesuatu akan sanggup menanggung segala akibat yang muncul darinya.

Jadi, seseorang perlu menemukan dulu alasan mengapa ia perlu mengerjakan sesuatu, sebelum sibuk memikirkan bagaimana melakukannya.

Nah, jika berhasil menemukan jawaban atas mengapa melakukan sesuatu, maka itu adalah awal yang baik untuk menemukan elemen kedua, yakni passion. Tak mudah mengartikan kata passion.

Namun, ketika kita melihat ada orang yang sanggup melakukan hal-hal heroik saat sedang jatuh cinta, bolehlah kita menyebutnya passion. Saat kasmaran, passion memampukan orang untuk menyeberangi lautan api dan melintasi hutan belantara.

Di dalam dunia kerja, passion adalah tenaga pendorong yang memaksimalkan potensi dan kinerja seseorang. Passion memacu orang untuk memberikan yang terbaik dari dirinya, terlepas apa pun profesi dan pekerjaannya. Martin Luther King jr, tokoh HAM Amerika Serikat pernah bertutur, bahkan jika profesi kita hanyalah tukang sapu, kita tetap harus bekerja sebagaimana halnya Michelangelo melukis, Beethoven menggubah komposisi, atau Shakespeare menulis soneta.

Purpose dan passion mencegah kita untuk bekerja pas bandrol. Karena tanpa keduanya, orang akan gampang melakukan kompromi dan bersikap medioker. Sebuah kondisi yang sangat kontra-produktif.



TERBARU

×